Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mental Health 2.0

30 Oktober 2020   20:11 Diperbarui: 30 Oktober 2020   20:38 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Are you okay?"

Pertanyaan di atas mungkin terlihat sepele. Akan tetapi, apakah kalian benar baik-baik saja?

Kita seringkali dibohongi oleh otak kita. Otak kita, bisa dibilang, adalah pembohong ulung bagi kita. Jadi, siapa yang disalahkan ketika kita dibohongi? Tentu kita juga bersalah. Namun, jangan takut.

Manusia adalah mesin pendeteksi kebohongan yang buruk. Seakan-akan, percaya adalah bagian dari insting natural manusia. Bahkan, meskipun ada seseorang yang melakukan kebohongan kepada kita sebanyak 50% kali dari seluruh tingkah lakunya, kita akan memiliki peluang untuk tetap memercayainya sebanyak >0,5.

Selain setting-an awal manusia yang cenderung mempercayai satu sama lain, kemalasan kognitif dan kelemahan psikologis juga merupakan alasan kenapa kita sering dibohongi. Secara kognitif, kita cenderung mempercayai apa yang menguntungkan bagi kita sehingga terkadang kita malas menggali informasi mengenai kebenaran suatu fakta.

Secara psikologis, kita cenderung terpengaruh oleh hal-hal yang seakan-akan menguntungkan bagi kita, seperti diskon toko. Cara untuk meminimalisasi kebohongan adalah berpikir kritis dan meningkatkan healthy skepticism.[1]

Groupthink dan Mass Psychogenic Illness

"Tingkatan benci paling tinggi adalah membenci tanpa mengetahui penyebabnya. Dan, tidak peduli."

Pernahkah kalian mengalami kondisi di mana satu peer-group kalian mengalami panik secara bersamaan dan mungkin penyebabnya adalah hal yang "little-or-no" / sedikit atau tidak sama sekali serius?

Fenomena ini dapat dikatakan sebagai sebuah hasil dari groupthink. Groupthink adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah kelompok orang berunding dan menghasilkan sebuah opini yang sesuai dengan konsensus kelompok, bukan melalui sebuah "kajian ilmiah yang kritis". Dalam tingkatan ekstrem, histeria massa atau yang di dunia kedokteran dikenal sebagai mass psychogenic illness adalah contoh dari hasil groupthink.[2]

Mass psychogenic illness adalah masalah serius. Ini bisa timbul karena adanya pemimpin persuasif yang menonjol, yang bisa meyakinkan anggotanya dengan setiap pernyataannya meskipun bisa saja termasuk logical fallacy.

Sebuah titik besar, dapat menimbulkan sebuah garis panjang.[2] Contoh kasus yang terjadi adalah ketika pada 1962, di Tanzania, seorang gadis kecil tiba-tiba tertawa di asramanya dan tidak berhenti-berhenti. Ketawa dari gadis ini kemudian menghasilkan sebuah fenomena "laughing epidemic" di sekolahnya. Bahkan, hal ini memaksa sekolahnya diliburkan.[3]

Contoh kasus lainnya adalah ketika bumi kita nyaris mengalami kepunahan. Hal ini terjadi pada 3 Juni 1980, ketika adanya alarm palsu serangan nuklir dari Rusia yang ditujukan kepada Amerika Serikat. Setelah ditelusuri, alarm palsu ini berasal dari malfungsi sensor komputer sistem pertahanan Amerika Serikat. Untung saja, pada saat itu, Amerika Serikat tidak gegabah dan melakukan serangan balik nuklir ke Rusia. Jika iya, sudah pasti punah kita sekarang.[4]

Mass psychogenic illness, dalam beberapa kasus, ditemukan pula dapat "menular" melalui media sosial. Pada tahun 2006, seorang remaja di Portugal datang ke rumah sakit dengan keluhan pusing, ruam, dan kesulitan bernafas. Dokter tidak menemukan penyebab fisik dari gejala yang dialami pasien.

Menariknya, beberapa penelitian menemukan adanya fakta menarik di mana ada persamaan antara gejala remaja ini dan gejala seorang tokoh dalam opera sabun yang populer pada masa itu.

Kasus terbaru ada pada tahun 2012 ketika ada seorang perempuan yang mendapati memiliki gejala sama seperti gejala sindrom Tourette, seperti sentakan tak terkendali di bagian tubuhnya. Dia mendokumentasikan gejalanya ini dengan video dan diunggah ke YouTube. Video perempuan ini viral dan beberapa orang mulai merasakan hal yang sama seperti yang dialami perempuan ini. Ternyata, perempuan ini mengaku mulai mengalami gejala mirip sindrom Tourette ini setelah membaca sebuah cerita seseorang di Facebook.[3]

Meskipun banyak kasus sempat dihubung-hubungkan dengan mass psychogenic illness, korelasi antara kedua hal ini masih sangat diperdebatkan. Meskipun demikian, pernyataan barusan menuntun kita ke suatu kalimat bijak bahwa menjaga kesehatan mental kita sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik dan setiap hal yang kita persepsikan akan mempengaruhi kesejahteraan kita. Penting untuk setiap dari kita tetap berpikir kritis dan menjaga healthy skepticism agar kita tidak terjerumus ke epidemi gila yang tak jarang mematikan: histeria massa / mass hysteria / mass psychogenic illness.[3]

Kesehatan Mental di Era Digital

Pernah merasa lelah walau tidak melakukan hal apapun?

Ya, di sisi lain, wajar jika kadang kita merasakan hal tersebut, terutama pada era yang sangat kaya akan informasi seperti pada detik ini. Ketika merasakan lelah secara emosional, kita dapat merasakan kelelahan yang berlebihan baik secara mental maupun fisik. Umumnya pada saat ini, rasa overwhelmed dapat menjadi salah satu faktor penyebabnya, di mana seseorang merasa terbebani oleh berbagai faktor dalam hidupnya. Mungkin karena terjadi penyerapan informasi yang terlalu banyak yang tidak jelas fungsinya. Mungkin karena mereka tidak benar-benar menyeimbangkan self-care dengan tuntutan hidup. Mungkin karena anggapan bahwa mereka tidak memiliki sama sekali kendali atas hidup mereka. [5,6]

Terdapat hal yang dapat dan tidak dapat kita kendalikan dalam hidup. Kita seringkali ingin mengontrol lingkungan kita. Hal ini merupakan bentuk dari keinginan untuk memegang kendali atas apa yang tak dapat seseorang kendalikan yang dapat berujung pada anxiety. Khawatir tentang hal-hal yang tidak dapat kendalikanmisalnya keadaan ekonomi atau perilaku orang lainakan menguras kesehatan mental yang seharusnya sangat dibutuhkan dalam kondisi terbaiknya. Semakin mencoba mengendalikan sesuatu di sekitar, semakin tinggi tingkat kekhawatiran seseorang. Hal ini merupakan lingkaran setan untuk diputuskan anxiety mencoba mendapatkan kendali gagal anxiety repeat. [6]

Take care of yourself. Mental health is one's priority.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu melakukan penyesuaian, sebuah hubungan harmonis dengan lingkungan yang melibatkan kemampuan seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan terpenting dan menghadapi tuntutan, baik secara fisik maupun sosial. Penyesuaian ini melibatkan tiga komponen dasar, termasuk diri sendiri. Untuk dapat melakukan penyesuaian, dibutuhkan pertumbuhan diri yang tentunya melibatkan pengetahuan dan pengalaman.

Dalam proses pertumbuhan diri, tentunya dibutuhkan pemenuhan potensi atau aktualisasi diri, di mana seseorang dapat mencapai potensi optimalnya, terutama dalam kreativitas dan performa seseorang. Konsep pemenuhan potensi atau aktualisasi diri pertama kali menjadi terkenal sebagai bagian dari teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai tingkat akhir perkembangan psikologis yang dapat dicapai ketika semua kebutuhan dasar dan mental pada dasar piramida telah terpenuhi.  Kebutuhan dasar meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman, sedangkan kebutuhan psikologis atau mental meliputi kebutuhan sosial berupa rasa kepemilikan dan rasa cinta serta kebutuhan akan penghargaan. [7,8]

Oleh karena itu, dalam mencapai fungsi diri yang lebih baik dan optimal, kebutuhan psikologis dan kesehatan mental merupakan bagian dari prioritas utama. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, sudah menjadi hal wajar bagi seseorang untuk merasakan gejolak psikologis. Untuk menangani hal tersebut, dapat dilakukan pendekatan melalui berbagai cara, salah satunya berkaitan dengan kebutuhan psikologis seperti pada piramida Maslow. [7,8]

Boost your self-esteem

Self-esteem dapat menjadi faktor resilience bagi seseorang yang mengalami gejala depresi atau anxiety. Caranya dapat dilakukan dengan self-care termasuk mengontrol kebutuhan fisiologis dalam pola yang lebih sehat seperti memperbaiki pola makan dan rutin berolahraga, mengubah pikiran negatif tentang diri sendiri dengan pikiran positif yang membangun, meningkatkan produktivitas, serta melakukan atau memberikan hal-hal baik kepada orang lain. Usaha untuk meningkatkan self-esteem tak hanya akan membantu seseorang menjadi merasa lebih baik tentang diri sendiri, namun juga akan meningkatkan kualitas hidup sekaligus memberi energi dan memperkaya hidupnya. [9,10]

Speak to someone close

Berkomunikasi dengan keluarga dan teman dapat menjadi pilihan utama untuk memberikan dukungan dan memfasilitasi penanganan gejala depresi. Namun, perlu diingat bahwa terdapat kemungkinan beberapa anggota keluarga atau teman tidak dapat membantu dan bahkan membuat keadaan memburuk. Berbicara dengan orang lain dapat membantu meredakan emosi negatif. Namun, tentunya, usaha dari seseorang itu sendiri dalam menstabilkan kesehatan mentalnya merupakan hal yang paling penting. [11,12]

OLEH: Radea Renoza dan Rifda Hanun Shalihah

Referensi

  1. Riggio R. How to keep from getting fooled (again) [Internet]. New York: Psychology Today; 2019 May 03 [updated not stated; cited 2020 Oct 22].

  2. Fritscher L, Block D. How mass hysteria is related to groupthink [Internet]. New York: Verywell Mind; 2020 Jul 24 [updated not stated; cited 2020 Oct 22].

  3. Cohut M. Mass hysteria: an epidemic of the mind? [Internet]. Brighton: Medical News Today; 2018 Jul 27 [updated not stated; cited 2020 Oct 22].

  4. Wright D. How could a failed computer chip lead to nuclear war? [Internet]. Boston: Future of Life Institute; 2016 Jun 06 [updated not stated; cited 2020 Oct 22].

  5. Cafasso J. What Is Emotional Exhaustion and How Do You Fix It? [Internet]. Healthline. Healthline Media; 2019 [cited 2020 Oct 25].

  6. Morin A. 2 Psychological Tricks That Will Help You Stop Worrying About Things You Can't Control [Internet]. 2020 [cited 2020Oct25].

  7. Ashleyleia. What Is... Maslow's Hierarchy of Needs [Internet]. Mental Health @ Home. 2020 [cited 2020Oct25].

  8. Mcleod S. Maslow's Hierarchy of Needs [Internet]. Simply Psychology. Simply Psychology; 2020 [cited 2020Oct25].

  9. Henriksen IO, Ranyen I, Indredavik MS, Stenseng F. The role of self-esteem in the development of psychiatric problems: a three-year prospective study in a clinical sample of adolescents. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health. 2017;11(1).  

  10. Building Self Esteem [Internet]. Wellness Recovery Action Plan (WRAP). [cited 2020 Oct 25]. 

  11. Griffiths KM, Crisp DA, Barney L, Reid R. Seeking help for depression from family and friends: A qualitative analysis of perceived advantages and disadvantages. BMC Psychiatry. 2011;11(1).  

  12. Problems [Internet]. Supportline.org.uk. [cited 2020 Oc t25].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun