Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Covid-19 dan Climate Change

7 Agustus 2020   13:22 Diperbarui: 7 Agustus 2020   13:34 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia dan Climate Change

"Manusia selalu ingin beranjak ke puncak rantai makanan dan alam selalu menemukan jalannya"

Mungkin, kutipan di atas adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi bumi kita sekarang. Bumi kita beranjak dari yang awalnya berbahaya untuk dihuni hingga akhirnya bersahabat untuk dihuni berkat adanya GHGs (Greenhouse gases).

Tanpa GHGs, bumi kita akan mendingin. Dengan GHGs, foton dan kalornya dapat terperangkap di atmosfer. Dengan GHGs yang seimbang, bumi tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Namun, ketidakseimbangan GHGs dapat menyebabkan malapetaka pula bagi bumi. Bumi dapat mengalami kekeringan hingga akhirnya ludes terbakar.[1]

Seperti yang kita tahu, manusia dengan keegoisan gennya memulai 'keserakahannya' pada revolusi industri 1760 di mana terjadi pemanfaatan bahan bakar fosil besar-besaran. Sejak itulah, konsumsi bahan bakar dunia terus meningkat.

Sekarang, kita dapat menemui peninggalan berarti revolusi industri 1760 dari nasi goreng dan steak yang biasa kita makan, serta kendaraan yang kita kendarai untuk membelinya.[1] Emisi dari penggorengan nasi goreng (baik menggunakan gas maupun arang), kotoran sapi, dan pembakaran bensin dari kegiatan yang disebutkan tadi mengandung karbon yang nantinya akan membentuk CH4, CO, dan CO2.

Ketiga senyawa ini termasuk GHGs (Greenhouse gases) yang nantinya akan menyebabkan global warming apabila dihasilkan dalam jumlah masif. Ironisnya, itu yang terjadi sekarang. Meskipun bukan satu-satunya penyebab climate change, global warming memberikan sumbangsih cukup besar untuk climate change.

[2] Lalu, pertanyaannya, apakah ini semua salah manusia?

Manusia mungkin tidak sepenuhnya salah akan kejadian ini. Alih-alih menjadi penyebab utama terjadinya climate change, manusia dapat menjadi penyebab utama climate change dapat dicegah pula.

Jika hal ini terjadi, tentu akan dibuktikan bahwa manusia sekarang (Homo sapiens) adalah spesies yang bijak. Jika hal ini terjadi, peralihan evolusioner penggunaan energi dari otot ke otak oleh manusia tidak sia-sia.[2]

Pandemi COVID-19 dan Climate Change

Pandemi COVID-19 yang sedang dunia alami kali ini tidak serta merta memberikan efek negatif bagi masyarakat. Salah satu yang terbukti memperoleh keuntungan adalah sektor belanja online.

Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad Ramli menyatakan bahwa terjadi peningkatan transaksi online sebanyak 4x atau 400% pada masa pandemi ini.

[3] Selain itu, pandemi ini seakan-akan merupakan jawaban dari panggilan alam yang menginginkan untuk beristirahat sejenak. Alam menang atas manusia yang jelas-jelas terlihat tidak siap atas panggilan pandemi ini. Imbasnya, kegiatan industri berhenti dan kegiatan transportasi pun terbatas.

Dengan terjadinya dua kegiatan ini, polusi terhapuskan untuk sementara, Himalaya tiba-tiba dapat terlihat oleh orang-orang di perkotaan India yang penuh asap, dan kanal air kumuh di Venice, Italia seakan-akan merasakan adanya flushing secara tiba-tiba.

Fenomena ini sejalan dengan argumen dari Gernot Wagner, seorang climate economist dari Universitas New York, yang menyatakan bahwa pandemi COVID-19 adalah seperti climate change dengan kecepatan melengkung yang artinya sangat cepat.[4,5,6]

Data telah berbicara bahwa memang pandemi COVID-19 ini memberikan napas tambahan untuk bumi. Menurut data dari International Energy Agency, belum pernah ada pengeluaran kadar CO2 yang minus dari dua gigaton dari seluruh peristiwa besar yang sempat mengguncang bumi selama abad ke-20 terakhir. Artinya, bumi menghemat output CO2 sebesar dua gigaton selama masa pandemi COVID-19 ini.

Selain itu, data juga menunjukkan bahwa permintaan pasokan listrik turun sekitar 42% di Hubei, China.

Bukti dari pernyataan di atas dapat dilihat dari data transportasi. Seismometer menunjukkan adanya penurunan ground displacement di Barcelona (Spanyol), Brussels (Belgia), dan Vienna (Austria) setelah lockdown diberlakukan.

Hal ini diperkuat dengan data penurunan kemacetan sebesar 59% di Mumbai (India) dan 28% di London (Inggris). Data perjalanan udara juga menunjukkan kegagalan dalam output CO2 sebesar sepuluh juta ton.

Tidak heran lagi jika pandemi COVID-19 ini telah menjadi masa penghematan CO2 terbesar sejak abad ke-20.[6] Namun, apakah semudah itu untuk membuat kita tenang saja? Jawabannya sudah pasti tidak.

Climate Change Lebih Lambat daripada Penyakit Menular

Pendekatan yang kita gunakan sekarang untuk menangani lonjakan CO2 adalah virus. Tentunya, kita tidak dapat terus-menerus menahan virus ini ada, membiarkan jutaan manusia menjadi pengangguran, dan mendesak laju perekonomian.

Usaha yang dilakukan untuk menangani climate change sudah pasti harus jauh lebih besar daripada usaha untuk sekadar membawa perindustrian tutup untuk sementara waktu.

Terlebih lagi, sangat mengerikan apabila terjadi lonjakan CO2 yang dikeluarkan guna membayar utang rehat selama pandemi tepat setelah pandemi ini berakhir.

Negara-negara perlu mengadakan pertemuan untuk membahas janji ini, green promises atau terjemahan kasarnya janji hijau, demi kebaikan bersama.[5,6]

Langkah Jangka Panjang

Jika kita berjalan-jalan di Seoul (Korea Selatan) pada tahun 2022 untuk menonton konser, misalnya, kita mungkin akan melihat seluruh gedung publik di-'tenagai' matahari. Jalanan akan dipenuhi rumah susun yang di-'tenagai' matahari pula.

[7] Bagaimana tidak, menurut data yang dilansir oleh Value Champion, negara yang dijuluki negeri ginseng ini sekarang, 2020, sudah menempati peringkat ke-3 terbaik se-Asia dari aspek energi, udara, air, GHGs (Greenhouse gases), limbah, tempat terbuka hijau, dan transportasi. Secara rata-rata, Korea Selatan setara dengan Australia dengan nilai 5,4.

Jika tidak ingin menilai dengan negara maju seperti Korea Selatan dan Australia, kita bisa melihat negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara. Singapura, Filipina, dan Malaysia berturut-turut menempati peringkat ke-2,7, dan 8 terbaik se-Asia.

Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke-9. Namun, alangkah baiknya jika kita tidak menggunakan kompetisi untuk peduli dengan bumi. Kepedulian atas bumi adalah kewajiban kita semua. Bumi seharusnya gratis dan milik kita semua.

Akan tetapi, tidak ada salahnya juga apabila menerapkan reward and punishment demi kebaikan bersama.[8]

OLEH: Radea Renoza

Referensi

  1. The Climate Reality Project. How do we know humans are causing climate change? [Internet]. Washington DC: The Climate Reality Project; 2019 Feb 01 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://www.climaterealityproject.org/blog/how-do-we-know-humans-are-causing-climate-change-0
  2. Denchak M. Global climate change: what you need to know [Internet]. New York: Natural Resources Defense Council; 2017 Feb 23 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://www.nrdc.org/stories/global-climate-change-what-you-need-know
  3. Grehenson G. Transaksi penjualan online naik 400 persen di masa pandemi Covid-19 [Internet]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2020 May 22 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://ugm.ac.id/id/berita/19452-transaksi-penjualan-online-naik-400-persen-di-masa-pandemi-covid-19
  4. Tharoor I. The pandemic could be a call to action on climate change [Internet]. Washington DC: Washington Post; 2020 Apr 24 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://www.washingtonpost.com/world/2020/04/24/pandemic-could-be-call-action-climate-change/
  5. Simon M. How is the coronavirus pandemic affecting climate change [Internet]. San Francisco: Wired; 2020 Apr 21 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://www.wired.com/story/coronavirus-pandemic-climate-change/
  6. Lombrana LM, Warren H. A pandemic that cleared skies and halted cities isn't slowing global warming [Internet]. New York: Bloomberg; 2020 May 8 [updated not stated; cited 2020 Jul 28]. Available from: https://www.bloomberg.com/graphics/2020-how-coronavirus-impacts-climate-change/
  7. Broom D. Seoul is putting solar panels on all public buildings and 1 million homes [Internet]. Cologny: World Economic Forum; 2019 Nov 12 [updated not stated; cited 2020 Jul 29]. Available from: https://www.weforum.org/agenda/2019/11/solar-power-seoul-south-korea/
  8. Hofmann W. Top 5 most environmentally friendly countries in asia-pacific [Internet]. India: Value Champion India; 2019 Apr 04 [updated not stated; cited 2020 Jul 29]. Available from: https://www.valuechampion.in/personal-finance/top-5-most-environmentally-friendly-countries-asia-pacific

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun