b. Terdapat penyanggahan dari aparat meskipun tidak sesuai fakta. Juru bicara kepolisian daerah Papua kemudian berwenang merilis pernyataan bahwa pihak kepolisian telah menaati peraturan yang ada.
c. Pihak aparat secara sah diberikan kebebasan (adanya impunitas)
d. Pihak aparat hanya dikenakan sanksi disiplin seperti pemecatan atau mutasi ke luar Papua tanpa diadili
e. Proses penyelidikan yang tidak maksimal dan tidak memenuhi kriteria independen (tidak terikat dengan institusi terduga), imparsial, dan efektif. Adanya kekuasaan yang dimiliki badan mekanisme disipliner internal kepolisian seringkali melepaskan keterlibatan eksternal bahkan dalam kasus pelanggaran HAM sekalipun, sehingga tidak ada penyelidikan kriminal independent. Selain itu, menurut Undang-Undang Militer Indonesia, seorang tentara hanya bisa diadili oleh pengadilan militer meskipun ia melakukan tindak pidana, termasuk di antaranya adalah pelanggaran HAM.
f. Terbatasnya mandat Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman. Mereka hanya berwenang menerima pengaduan, mengadakan investigasi, dan mengirimkan laporan serta temuan mereka pada kepolisian yang kemudian meneruskannya pada Propam untuk penyelidikan lebih lanjut. Temuan mereka tidak dapat diajukan langsung ke jaksa penuntut umum. Dalam pelaksanaannya, seringkali kasus pelanggaran HAM telah diselidiki oleh Komnas HAM namun tidak dilanjuti oleh Kejaksaan Agung atau tidak diproses di pengadilan, sehingga keluarga korban tidak tahu menahu soal perkembangan penyelidikan kasus.
g. Minimnya autopsi jenazah korban sehingga tidak terbukti secara jelas sebab dari kematiannya
h. Pihak aparat sering mencari kambing hitam untuk disalahkan, ditangkap, dan dikenai hukum pidana
i. Pihak aparat hanya sekadar melaksanakan tradisi Ganti Kepala, di mana kematian harus diganti oleh uang atau babi. Selebihnya, tidak ada pelaksanaan penyelidikan pembunuhan.
Kekerasan "Dilembagakan" Melalui Struktur Militer dan Polisi
Kekerasan dalam aparat merupakan bentuk kejahatan yang dibalut oleh kepatuhan. Keterlibatan dalam kekerasan aparat terjadi di bawah instruksi eksplisit dari pihak yang berwenang atau secara implisit disponsori oleh lingkungan, di mana praktik kekerasan (dalam bentuk pelatihan) yang merajalela akan berhubungan langsung dengan suasana akademi militer atau kepolisian.
Proses indoktrinasi dan sosialisasi terkait pematuhan perintah datang dari atasan yang merangkul doktrin bahwasanya tujuan utama aparatur negara, yakni perlindungan keamanan negara dari segala ancaman dan tak jarang doktrin ini berbunyi "NKRI harga mati". Dengan demikian, aparatur negara tak hanya mampu mengilhami doktrin, namun juga ikut serta menyebarluaskan doktrin.