Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sudahkah Anda Merawat Kesehatan Jiwa pada Masa Pandemi Ini?

29 Mei 2020   14:42 Diperbarui: 31 Mei 2020   05:16 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unicef.org

Masa pandemi COVID-19 dengan segala tetek-bengeknya---isolasi diri, pembelajaran jarak jauh, work from home, you name it---membuat kita harus menyesuaikan gaya hidup kita.

Kita harus beradaptasi dengan kehidupan yang serba daring, mengunduh berbagai aplikasi baru yang menunjang pertemuan di gawai, dan mengisolasi diri di tempat tinggal masing-masing. 

Awalnya, kesempatan karantina ini dianggap menyenangkan---kita merasa mendapatkan waktu untuk 'liburan' dan menghindar dari paparan virus penyebab Covid-19. Berbagai seruan #DiRumahAja dan tata cara physical distancing juga digencarkan untuk membuat kita sadar pentingnya mengurangi aktivitas di luar rumah sebagai upaya menurunkan angka kasus baru Covid-19.

Namun, perubahan gaya hidup yang dialami saat masa karantina memaksa kita untuk berhadapan dengan masalah baru, yaitu masalah psikologis. Tentunya, tidak semua orang tersangkut dalam masalah ini. 

Dalam webinar pertama QualityTine yang bertajuk "Togetherness in Physical Distancing", dr. Gina Anindyajati, SpKJ mengemukakan bahwa perbedaan respons orang terhadap masa karantina dan faktor aktivitas harian yang dilakukan memengaruhi keberadaan masalah psikologis tersebut.

Rajin berolahraga, mencoba pengalaman-pengalaman baru, dan meluangkan waktu bersama keluarga merupakan pengalaman positif yang dapat dirasakan dari masa karantina ini. 

"Namun, ada orang-orang yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan kehidupan di rumah saja. Mereka cenderung merana, ingin pergi keluar rumah, ingin meditasi tetapi tidak bisa konsentrasi. Selain itu, ada juga yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumahan sehingga merasa kewalahan dan tidak bisa membagi waktu dengan baik," ujar Gina.

Apa Saja Hal yang Dapat Membuat Kita Terpuruk di Masa Pandemi Ini?
Berdasarkan studi Brooks dkk, berbagai stresor dapat memicu stres saat masa karantina. stresor yang muncul saat masa karantina antara lain: [1]

  • Durasi masa karantina

Berbagai studi menunjukkan bahwa semakin lama karantina diberlakukan, semakin buruk kesehatan jiwa seseorang---meliputi gejala-gejala stres pasca trauma, perilaku menghindar (avoidance), dan marah.

  • Ketakutan akan terinfeksi

Ketakutan mengenai kesehatan diri mereka dan kemungkinan untuk menularkan infeksi kepada orang-orang terkasih lumrah ditemukan di orang-orang pada masa karantina. Selain itu, rasa takut yang berlebih terhadap gejala penyakit, seperti batuk atau demam, juga dapat dialami.

  • Frustrasi dan rasa bosan

Berkurangnya interaksi sosial, rutinitas sehari-hari yang berubah drastis, dan situasi yang membuat tidak bisa ke luar rumah dikaitkan erat dengan kebosanan, frustrasi, dan rasa terisolasi dari orang-orang lain. Hal ini dapat menyebabkan distress yang cukup bermasalah.

  • Persediaan kebutuhan dasar yang tidak memadai

Tidak adanya kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti makanan, air, dan masker yang memadai, dapat membuat orang frustrasi. Kejadian ini juga dikaitkan dengan ansietas dan kemarahan hingga 4--6 bulan setelah karantina usai.

  • Informasi yang tidak memuaskan

Informasi-informasi terkait kejadian penyakit, guideline yang tidak jelas, serta pesan yang berbeda-beda membuat orang-orang bingung dan frustrasi. Buruknya transparansi dari pihak berwenang juga dilaporkan berkaitan dengan gejala stres pasca trauma.

  • Masalah keuangan

Keuangan rentan menjadi masalah serius saat masa karantina---kehilangan pekerjaan atau pendapatan yang berkurang tanpa perencanaan kedepannya. Hal ini dapat menjadi faktor risiko seseorang untuk terkena penyakit kejiwaan serta masalah terkait manajemen amarah dan ansietas. Tunjangan yang tidak memadai juga turut menjadi stresor tersendiri.

  • Stigma

Para ODP, PDP, dan tenaga kesehatan yang menerima status sebagai suspek COVID-19 merasakan adanya perbedaan perlakuan dari orang-orang di sekitar mereka, seperti dikucilkan, diperlakukan dengan rasa takut dan curiga, serta dikritik. [1]

Bagaimana Cara Menghindar dari Bayang-bayang Masalah Kejiwaan?
Seseorang dapat terhindar dari masalah psikologis jika memiliki resiliensi yang baik. "Resiliensi adalah kemampuan dan kecenderungan orang untuk bangkit kembali," jelas Gina.

"Resiliensi menunjukkan bahwa setiap orang punya kapasitas masing-masing untuk mencari celah dalam menghadapi tantangan serta seberapa baik kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan tantangan baru di hidup."

Resiliensi tidak terbentuk dengan serta-merta. Hal ini membutuhkan waktu, latihan, dan stres untuk terbentuk dengan baik. Informasi ini kemudian membawa kita ke pertanyaan berikutnya: bagaimana membentuk resiliensi? 

Gina menyatakan bahwa ada tiga cara utama yang dapat membantu kita membentuk resiliensi, yaitu (1) menjaga ketahanan fisik dan mental dengan membiasakan pola hidup yang sehat; (2) menetapkan tujuan seraya mengembangkan empati dan menghargai perbedaan cara menghadapi pandemi; dan (3) membina hubungan serta komunikasi yang asertif.

Situasi Kesehatan Jiwa selama Masa Pandemi di Indonesia
Dalam rangka merespons pandemi Covid-19 ini, Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengadakan survei deteksi dini masalah psikologis di lamannya. 2364 orang dari seluruh penjuru Indonesia telah melakukan swaperiksa untuk menyaring gejala cemas, depresi, dan trauma psikologis. 

Hasilnya adalah: (1) 69% responden mengalami masalah psikologis, dan 31% tidak mengalami masalah psikologis; (2) sebaran masalah psikologis tersebut adalah 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis; (3) di antara orang yang depresi, 49% berpikir tentang kematian. [2]

Melihat besarnya persentase masyarakat Indonesia yang mengalami masalah kejiwaan, pemerintah menyediakan layanan call center yang dapat dihubungi untuk konsultasi kejiwaan. Layanan tersebut dapat dihubungi di nomor 119 extension 8.

Fidiansjah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, berharap bahwa layanan tersebut dapat membantu masyarakat terbebas dari masalah kesehatan jiwa yang dapat muncul. [3]

Selain itu, PDSKJI juga membuka layanan pendampingan masalah psikologis secara daring. Anda hanya tinggal mengirim direct message kepada Instagram @pdskji_indonesia mengenai nama, lokasi, dan nomor WhatsApp Anda. Selanjutnya, salah satu psikiater PDSKJI akan menghubungi Anda untuk melakukan konsultasi dan pendampingan tersebut secara daring. [3]

Brooks dalam studinya menyisipkan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa, yaitu: [1]

  • Berikan informasi selengkap-lengkapnya kepada masyarakat;
  • Bagikan bantuan sosial yang mencakup kebutuhan dasar untuk masyarakat yang terdampak;
  • Buatlah layanan call center agar masyarakat dapat mengonsultasikan masalah kejiwaannya;
  • Berikanlah perhatian khusus bagi tenaga kesehatan, baik dari segi kebutuhan APD maupun kesehatan jiwa mereka;
  • Gencarkan seruan bernuansakan altruisme dan gotong-royong di tengah masyarakat. [1]

Serba-serbi Produktivitas di Masa Pandemi
Karena masa karantina ini mengharuskan kita untuk berada di dalam rumah, banyak orang merasa tertekan untuk tetap produktif. Padahal, masa pandemi ini bukanlah waktu yang ideal untuk menjadi produktif bagi kebanyakan orang.

"Menjadi produktif merupakan suatu hal yang susah dilakukan pada hari-hari biasa, apalagi ketika krisis global seperti masa pandemi ini," ujar Chris Bailey, seorang konsultan di bidang produktivitas.

"(Saat mulai karantina) pikiran mengenai banyaknya waktu di rumah (yang dapat digunakan untuk menjadi produktif) adalah hal yang fantastis, tetapi hal itu berubah belakangan ini. Kita berada di rumah karena kita hanya boleh di rumah, dan tingkat konsentrasi kita rendah karena banyak masalah yang harus dihadapi." [4]

Setiap orang memiliki mekanisme coping masing-masing terhadap keadaan ini. Pilihan aktivitas untuk mengisi waktu luang juga beragam.

Hal yang patut diingat adalah kita tidak boleh membandingkan kegiatan kita dengan orang lain saat masa karantina ini---apalagi merasa lebih superior atau inferior daripada orang lain. Perbandingan tersebut tidak akan apple to apple. Semua orang punya cara masing-masing untuk membuat dirinya bahagia.

Yuk, sayangi jiwa kita!

OLEH: Gabrielle Adani

Referensi

  1. Brooks SK, Webster RK, Smith LE, Woodland L, Wessely S, Greenberg N, et al. The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. The Lancet. 2020 Mar;395(10227):912--20.
  2. Masalah psikologis di era pandemi COVID-19 [Internet]. Jakarta: PDSKJI; 2020 [cited 2020 May]. Available from: http://www.pdskji.org/home
  3. Rahma A. Covid-19, Pemerintah Bikin Call Center Konsultasi Kesehatan Jiwa [Internet]. Jakarta: Tempo; 2020 May [cited 2020 May]. Available nasional.tempo.co/amp/1337641/covid-19-pemerintah-bikin-call-center-konsultasi-kesehatan-jiwa
  4. Lorenz T. Stop trying to be productive [Internet]. New York: New York Times; 2020 Apr [cited 2020 May]. Available from: www.nytimes.com/2020/04/01/style/productivity-coronavirus.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun