Berkurangnya interaksi sosial, rutinitas sehari-hari yang berubah drastis, dan situasi yang membuat tidak bisa ke luar rumah dikaitkan erat dengan kebosanan, frustrasi, dan rasa terisolasi dari orang-orang lain. Hal ini dapat menyebabkan distress yang cukup bermasalah.
- Persediaan kebutuhan dasar yang tidak memadai
Tidak adanya kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti makanan, air, dan masker yang memadai, dapat membuat orang frustrasi. Kejadian ini juga dikaitkan dengan ansietas dan kemarahan hingga 4--6 bulan setelah karantina usai.
- Informasi yang tidak memuaskan
Informasi-informasi terkait kejadian penyakit, guideline yang tidak jelas, serta pesan yang berbeda-beda membuat orang-orang bingung dan frustrasi. Buruknya transparansi dari pihak berwenang juga dilaporkan berkaitan dengan gejala stres pasca trauma.
- Masalah keuangan
Keuangan rentan menjadi masalah serius saat masa karantina---kehilangan pekerjaan atau pendapatan yang berkurang tanpa perencanaan kedepannya. Hal ini dapat menjadi faktor risiko seseorang untuk terkena penyakit kejiwaan serta masalah terkait manajemen amarah dan ansietas. Tunjangan yang tidak memadai juga turut menjadi stresor tersendiri.
- Stigma
Para ODP, PDP, dan tenaga kesehatan yang menerima status sebagai suspek COVID-19 merasakan adanya perbedaan perlakuan dari orang-orang di sekitar mereka, seperti dikucilkan, diperlakukan dengan rasa takut dan curiga, serta dikritik. [1]
Bagaimana Cara Menghindar dari Bayang-bayang Masalah Kejiwaan?
Seseorang dapat terhindar dari masalah psikologis jika memiliki resiliensi yang baik. "Resiliensi adalah kemampuan dan kecenderungan orang untuk bangkit kembali," jelas Gina.
"Resiliensi menunjukkan bahwa setiap orang punya kapasitas masing-masing untuk mencari celah dalam menghadapi tantangan serta seberapa baik kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan tantangan baru di hidup."
Resiliensi tidak terbentuk dengan serta-merta. Hal ini membutuhkan waktu, latihan, dan stres untuk terbentuk dengan baik. Informasi ini kemudian membawa kita ke pertanyaan berikutnya: bagaimana membentuk resiliensi?Â
Gina menyatakan bahwa ada tiga cara utama yang dapat membantu kita membentuk resiliensi, yaitu (1) menjaga ketahanan fisik dan mental dengan membiasakan pola hidup yang sehat; (2) menetapkan tujuan seraya mengembangkan empati dan menghargai perbedaan cara menghadapi pandemi; dan (3) membina hubungan serta komunikasi yang asertif.
Situasi Kesehatan Jiwa selama Masa Pandemi di Indonesia
Dalam rangka merespons pandemi Covid-19 ini, Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengadakan survei deteksi dini masalah psikologis di lamannya. 2364 orang dari seluruh penjuru Indonesia telah melakukan swaperiksa untuk menyaring gejala cemas, depresi, dan trauma psikologis.Â
Hasilnya adalah: (1) 69% responden mengalami masalah psikologis, dan 31% tidak mengalami masalah psikologis; (2) sebaran masalah psikologis tersebut adalah 68% cemas, 67% depresi, dan 77% trauma psikologis; (3) di antara orang yang depresi, 49% berpikir tentang kematian. [2]