Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berkaca dari Dua Garis Biru, Pentingkah Pendidikan Seksual?

31 Juli 2019   18:30 Diperbarui: 1 Agustus 2019   06:32 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dara dan Bima dari film Dua Garis Biru merupakan sebuah potret realita yang masih dianggap tabu di Indonesia. Kehamilan di luar nikah, terlebih di bangku SMA, dianggap sebagai aib luar biasa di Indonesia. Akan tetapi, meskipun menurut data BKKBN tingkat seks pranikah dan kehamilan di luar nikah yang masih tinggi, belum ada upaya edukasi seksual yang menyeluruh, mudah diakses, dan mudah dipahami.

Uniknya, film Dua Garis Biru yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai dampak seks bebas malah mendapatkan reaksi keras dari beberapa pihak, yang menolak penayangannya hanya berdasarkan teaser yang beredar karena film tersebut dianggap mempromosikan seks bebas.

Kisah cinta Dara dan Bima, tanpa kejadian kehamilan, sebenarnya mudah dijumpai di manapun sebab pada nyatanya, pacaran adalah hal yang tidak jarang kita temui di berbagai daerah di Indonesia. Kita dapat dengan mudah menemukan sepasang kekasih sedang bermesraan di sudut kedai kopi, pusat perbelanjaan, kantor, sekolah -- di mana saja.

Usia orang yang berpacaran pun bervariasi, mulai dari orang dewasa, dewasa muda, sampai remaja yang sedang mengalami masa pubertas. Bahkan, kita juga dapat menjumpai sejumlah cerita atau kiriman yang viral di media sosial mengenai anak kecil yang walaupun duduk di bangku SD sudah berani 'menembak' dan pacaran.

Tidak, narasi ini tidak akan berujung kepada tagar IndonesiaTanpaPacaran. Akan tetapi, coba bayangkan, tanpa tuntunan dari orangtua yang tepat, tanpa pendidikan seksual yang komprehensif, tanpa penjabaran risiko kehamilan dan infeksi menular seksual yang mengintai saat melakukan hubungan seksual, dan tanpa-tanpa lainnya seputar edukasi seksual, sepasang kekasih sangat mungkin melakukan hubungan seksual karena penasaran ataupun hasrat biologis yang dapat berujung seperti kisah Dara dan Bima.

Faktanya, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017, 59% wanita dan 74% pria berhubungan seksual pertama kali di rentang umur 15-19 tahun.

Pendidikan seksual yang komprehensif, atau comprehensive sexuality education (CSE), memiliki peran penting bagi seseorang untuk mencegah berbagai risiko--HIV/AIDS, infeksi menular seksual lainnya, kehamilan yang tidak direncanakan, kekerasan berdasarkan gender, dan ketidaksetaraan gender--yang nyatanya terjadi saat ini.

Banyak orang di Indonesia yang beranjak dewasa dengan diiringi pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mengenai seksualitas---norma yang menganggap tabu, rasa canggung yang kerap muncul, orangtua dan orang-orang sekitar yang enggan menjawab, serta kondisi-kondisi lainnya yang membuat mereka tidak memiliki pendidikan seksual yang mumpuni. Oleh karena itu, UNESCO meluncurkan panduan CSE untuk mencapai pemahaman yang setara dalam pelaksanaan CSE dan menghasilkan output yang diharapkan.

Pendidikan seksual yang komprehensif merupakan proses pembelajaran sesuai kurikulum mengenai seksualitas dalam berbagai aspek--kognitif, emosional, fisik, dan sosial. CSE bertujuan untuk mencetak generasi unggul yang memiliki ilmu, keterampilan, sifat, dan nilai-nilai yang bertujuan untuk membuat mereka sadar mengenai kesehatan, kesejahteraan, dan harga diri mereka, menjalin hubungan seksual dan sosial berbasis respek, mengerti bagaimana pilihan yang mereka buat akan mempengaruhi kondisi diri mereka dan orang-orang sekitar, serta paham mengenai hak asasi yang melindungi mereka.

Menariknya, CSE tidak hanya membahas pengetahuan tentang reproduksi, risiko, dan penyakit, tetapi juga memperhatikan faktor sosioekonomi, ras, status HIV, disabilitas, orientasi seksual, dan identitas gender.

Pada panduan CSE, disebutkan beberapa isu yang penting untuk digarisbawahi dan diperhatikan pada kesehatan reproduksi anak dan orang muda. Pubertas, sebagai isu awal, adalah saat di mana perempuan dan laki-laki mulai mengeksplorasi perasaan seksual dan perubahan pada tubuhnya. Masalah, kebingungan, dan kesalahpahaman marak terjadi pada periode ini sehingga patut diberikan pengetahuan dan arahan yang komprehensif.

Kehamilan juga masih menjadi isu kunci karena menurut data WHO di tahun 2014, tingkat kelahiran perempuan di usia 15-19 adalah 49 diantara 1000 orang, dengan pernikahan dini sebagai faktor utama. Padahal, kehamilan di usia belia dapat menyebabkan komplikasi dan membuat perempuan putus sekolah. Informasi mengenai kontrasepsi yang sulit diakses membuat orang enggan menggunakan kondom yang dapat menjadi proteksi dual, yang selanjutnya dapat berujung menjadi isu selanjutnya: aborsi yang tidak aman.

Praktik aborsi yang ilegal dan menyulitkan di Indonesia membuat banyak perempuan beralih pada prosedur ilegal yang tidak jelas standarnya, yang tidak aman dan beresiko tinggi. Isu kekerasan seperti hubungan seksual yang dipaksa (dialami 120 juta wanita di dunia), kekerasan seksual pada anak (dialami 20% perempuan dan 5-10% laki-laki), pernikahan paksa, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender juga digarisbawahi. HIV/AIDS, menurut data WHO di tahun 2017, merupakan penyebab kematian ke-9 di golongan usia 10-19 tahun di dunia---membuatnya menjadi isu yang masih harus diperjuangkan dan dibahas lebih lanjut. Infeksi menular seksual pun menjadi sorotan karena data dan pelayanan yang kurang.

Selain masalah-masalah seputar kesehatan reproduksi, panduan CSE juga mengatur isu-isu kunci lainnya seperti: pengaruh teknologi informasi terhadap perilaku seksual (akses pornografi, cyberbully, sexting), buruknya kesehatan mental, serta pemakaian alkohol, narkotika, dan rokok. Kelompok-kelompok rentan yang juga menjadi sasaran spesifik CSE adalah: anak muda dengan HIV,  anak muda yang hidup dalam kemiskinan, anak muda dengan disabilitas, LGBT, dan pengungsi.

Karena CSE merupakan proses pembelajaran yang menyeluruh, kurikulum dan konsep kuncinya meliputi banyak hal:

  • Hubungan Membahas keluarga, pertemanan, cinta, hubungan romantis, toleransi dan saling menghargai, serta komitmen jangka panjang dan parenting;
  • Nilai, hak, kultur, dan seksualitas Membahas nilai dan seksualitas, hak-hak asasi manusia yang meliputi seksualitas, serta kultur, masyarakat, dan seksualitas;
  • Pemahaman gender Membahas konstruksi sosial mengenai gender dan norma yang mengiringi, kesetaraan gender, stereotip, dan bias yang melingkupi gender, serta kekerasan berbasis gender;
  • Kekerasan dan rasa aman  Membahas kekerasan, persetujuan, privasi, dan integritas, serta penggunaan teknologi informasi yang aman dan bertanggung jawab;
  • Kemampuan yang penting untuk kesehatan dan kesejahteraan Membahas norma dan pengaruh pergaulan pada perilaku seksual, penentuan keputusan, kemampuan komunikasi, menolak, dan negosiasi, literasi media dan seksualitas, serta menghubungi bantuan dan support;
  • Tubuh manusia dan perkembangannya   Membahas anatomi dan fisiologi sistem reproduksi, pubertas, serta body image;
  • Seksualitas dan perilaku seksual Membahas seks, seksualitas, dan siklus kehidupan seks, serta perilaku dan respons seksual;
  • Kesehatan seksual dan reproduksi Membahas kehamilan dan pencegahannya, stigma, pelayanan, tatalaksana, dan support bagi HIV/AIDS, serta pemahaman dan pencegahan mengenai risiko IMS.

Sudah saatnya Indonesia turut mengimplementasikan pendidikan seksual yang komprehensif untuk mencetak generasi penerus yang memiliki skill set yang dibutuhkan. Orang tua patut tahu bahwa memberikan pendidikan seksual bagi anaknya tidak sama dengan mengizinkan anaknya berhubungan seksual sebelum menikah. Mengedukasi pendidikan seksual secara komprehensif memberikan anaknya pengetahuan lebih untuk membuat dirinya sehat dan sejahtera. Buktinya, pada tahun 2016, implikasi implementasi pendidikan seksual yang komprehensif adalah:

  • Penundaan dalam melakukan hubungan seksual untuk pertama kali;
  • Penurunan frekuensi hubungan seksual;
  • Penurunan jumlah pasangan seks;
  • Turunnya hubungan seksual yang berisiko;
  • Peningkatan pemakaian kondom;
  • Peningkatan penggunaan kontrasepsi.

Yuk, Indonesia, tunggu apalagi?

Referensi:
International technical guidance on sexuality education: an evidence-informed approach. France: UNESCO; 2018.
Survei demografi dan kesehatan : kesehatan reproduksi remaja. Jakarta: BKKBN; 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun