Dua puluh tahun sudah lewat. Ya, reformasi tahun 1998 telah berlalu selama dua puluh tahun. Waktu yang tidak sebentar. Banyak progress yang telah kita lakukan, contohlah kebebasan pers. Tiga puluh tahun yang lalu, sebut saja, menentang presiden! Pekan setelahnya sudah masuk daftar orang hilang. Hingga sekarang, masih banyak aktivis-aktivis yang kritis di zaman orde baru yang belum diketahui nasib akhirnya. Diasingkankah? Mati tanpa diketahui keluarga sendiri? Mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Lucunya, kondisi kuno, atau "kaku" zaman itu masih terjadi sekarang. Mengutip The Washington Post, Freedom House menerbitkan penilaiannya tentang kemerdekaan negara-negara di dunia dalam "Freedom in the World" 2018. Di Timur Tengah, hanya ada satu negara Arab yang dianggap merdeka, Tunisia. Yordania, Maroko, dan Kuwait terhitung "merdeka sebagian". Sisa negara lainnya tergolong "belum merdeka".
Kondisi ini cukup mengherankan, mengingat 2011 lalu ada masa "Arab Spring", yaitu masa pemberontakan negara-negara Arab dari belenggu diktator dan penguasa yang telah bertahta puluhan tahun lamanya. Sebelas dua belas dengan zaman orde baru kita, dulu.
Kolumnis The Washington Post yang saya kutip, Jamal Khashoggi, menceritakan tentang kawannya, seorang penulis Saudi. Penulis ini mendapatkan hukuman lima tahun penjara karena dianggap mengeluarkan pernyataan yang menentang pemerintahan Arab Saudi.
Tidak hanya di Arab Saudi, aksi-aksi mengekang pers terjadi pula di belahan Arab lainnya. Lucunya, peristiwa ini jadi dianggap biasa, bahkan bagi masyarakat internasional. Contoh, pemerintah Mesir menutup sebuah perusahaan koran (26/9). Aksi ini tidak mendapat ancaman yang berarti dari pihak manapun, malah gugatan sejenak yang diikuti oleh hening, Khashoggi menulis.
Jamal Khashoggi adalah seorang jurnalis senior Saudi. Sebut saja ia telah merasakan asam garam kehidupan yang sesungguhnya.
Khashoggi lahir dari keluarga besar dan berpengaruh di Arab Saudi. Kakeknya, asli Turki, merupakan dokter pribadi pendiri kerajaan Arab Saudi, raja Abdulaziz al Saud. Pamannya merupakan milyarder Saudi di awal 1980-an. Alumnus jurnalistik Indiana State University ini mendedikasikan sisa hidupnya pada dunia pers.
Karirnya di dunia berita cukup panjang. Ia merupakan koresponden dan telah menjadi reporter untuk berbagai media Timur Tengah, antara lain al Sharq al Awsat, al Majalla, dan al Madina. Puncaknya, ia menjadi pemimpin redaksi koran Arab News dan nantinya al Watan, yang nantinya menjadi sarana kaum-kaum progresif Arab Saudi untuk berekspresi.
Setelah dipecat di al Watan pada tahun 2003, Khashoggi diangkat menjadi penasihat media pangeran Saudi, Turki bin Faisal. Pada 2007, ia diangkat lagi menjadi pemimpin redaksi al Watan hingga akhir 2010 dipecat kembali karena dianggap sering "melempar bola panas" di komunitas Saudi. Terbukti, Jamal Khashoggi bukan orang yang takut mengekspresikan buah pikirannya.
September 2017 lalu Khashoggi melarikan diri dari Arab Saudi. Ia merasa kamanannya terancam, terutama setelah Putra Mahkota Muhammad bin Salman mulai "menyentil" para aktivis yang bertentangan dengan pemerintahan Saudi. Khashoggi merasa waktunya untuk ditangkap tidak lama lagi, karena itu ia kabur ke Amerika Serikat.
Jarak tidak membatasi Khashoggi dalam berkarya. Di Arab Saudi, ia menjadi kolumnis media Amerika Serikat, The Washington Post. Opini-opininya makin panas, mengkritisi kebijakan-kebijakan Arab Saudi selama ini, misal, peran Saudi dalam perang di Yaman, embargo Qatar, hingga penahanan aktivis wanita Saudi.
Merasa jauh di AS, Khashoggi pun pindah ke Turki. Ia menganggap Turki negara yang cukup aman. Khashoggi sendiri memiliki teman-teman "strategis" di Turki, termasuk penasihat-penasihat presiden Turki, Erdogan. Di Turki Khashoggi tetap mengobarkan semangat dan opini-opininya di berbagai media.
Ironisnya, tulisan Jamal Khashoggi yang saya kutip di atas, terbit di The Washington Post pada 17 Oktober kemarin, merupakan karya terakhirnya. Sang penulis mengalami nasib naas pada hari Selasa, 2 Oktober 2018 lalu. Ia datang ke konsulat Arab Saudi di Turki bermaksud untuk mengurus administrasi pernikahan. Khashoggi berniat menikahi tunangannya, Hatice Cengiz.
Jamal Khashoggi memasuki konsulat Arab Saudi pukul satu siang, sendirian. Cengiz menunggu di luar. Namun, hingga larut malam, Khashoggi tidak keluar dari bangunan konsulat. Ia juga tidak dapat dihubungi. Ia tidak terlihat, seolah "hilang".
Dengan mudah kecurigaan datang ke pemerintah Arab Saudi, terutama sang Putra Mahkota. Berbagai bukti yang mematahkan justifikasi Arab Saudi bahwa dugaan tersebut tidak benar dan tidak berdasar muncul ke permukaan satu per satu.
Hingga sekarang, komunitas internasional mengapkir Arab Saudi atas aksi ini. Bayangkan masa Orde Baru di Indonesia tiga puluh tahun yang lalu, ketika masyarakat tidak dapat berekspresi secara bebas, demokrasi semu, pers terbelenggu, masih ada sekarang ini. Aktivis-aktivis hilang, tetap terukir dan makin bertambah banyak daftar namanya. Sungguh suatu keyakinan yang jauh ketinggalan zaman, kuno, dan kaku. Pemerintah Indonesia sepertinya perlu menceritakan pengalamannya hingga melewati masa-masa kelam hingga dua puluh tahun pasca reformasi.
-Rosa Syahruzad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H