Merasa jauh di AS, Khashoggi pun pindah ke Turki. Ia menganggap Turki negara yang cukup aman. Khashoggi sendiri memiliki teman-teman "strategis" di Turki, termasuk penasihat-penasihat presiden Turki, Erdogan. Di Turki Khashoggi tetap mengobarkan semangat dan opini-opininya di berbagai media.
Ironisnya, tulisan Jamal Khashoggi yang saya kutip di atas, terbit di The Washington Post pada 17 Oktober kemarin, merupakan karya terakhirnya. Sang penulis mengalami nasib naas pada hari Selasa, 2 Oktober 2018 lalu. Ia datang ke konsulat Arab Saudi di Turki bermaksud untuk mengurus administrasi pernikahan. Khashoggi berniat menikahi tunangannya, Hatice Cengiz.
Jamal Khashoggi memasuki konsulat Arab Saudi pukul satu siang, sendirian. Cengiz menunggu di luar. Namun, hingga larut malam, Khashoggi tidak keluar dari bangunan konsulat. Ia juga tidak dapat dihubungi. Ia tidak terlihat, seolah "hilang".
Dengan mudah kecurigaan datang ke pemerintah Arab Saudi, terutama sang Putra Mahkota. Berbagai bukti yang mematahkan justifikasi Arab Saudi bahwa dugaan tersebut tidak benar dan tidak berdasar muncul ke permukaan satu per satu.
Hingga sekarang, komunitas internasional mengapkir Arab Saudi atas aksi ini. Bayangkan masa Orde Baru di Indonesia tiga puluh tahun yang lalu, ketika masyarakat tidak dapat berekspresi secara bebas, demokrasi semu, pers terbelenggu, masih ada sekarang ini. Aktivis-aktivis hilang, tetap terukir dan makin bertambah banyak daftar namanya. Sungguh suatu keyakinan yang jauh ketinggalan zaman, kuno, dan kaku. Pemerintah Indonesia sepertinya perlu menceritakan pengalamannya hingga melewati masa-masa kelam hingga dua puluh tahun pasca reformasi.
-Rosa Syahruzad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H