Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Langkah "Gila" Dua Presiden

30 Juni 2018   09:44 Diperbarui: 30 Juni 2018   09:55 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya membayangkan pertemuan nan bersejarah ahad lalu pada 2017 -- bahkan awal tahun 2018 mengingat Trump masih mengancam dengan sangat hiperbolis akan menjatuhkan sanksi terberat yang pernah ada kepada Korut di bulan Februari -- menjadi kemustahilan mengingat tensi sangat tinggi terjadi antara Trump dan Kim yang sama-sama pemimpin "gila". 

Korut dengan provokatifnya menyebut persenjataan nuklir mereka dapat mencapai daratan AS pada November 2017 (dengan serangkaian provokasi sejak terpilihnya Trump sebagai presiden pada 2016). Kedua pemimpin "gila" ini kemudian saling melempar serangan kata-kata mengenai tombol nuklir pada Januari 2018 yang sebenarnya kebohongan semata. Tentu saja bohong. Tidak ada tombol nuklir! Peluncuran nuklir tidak menggunakan tombol yang dipegang oleh presiden seorang diri.

Sanksi kepada Korut kembali diberlakukan atas segala yang telah dilakukan oleh satu-satunya sisa negara komunis tertutup di dunia. Memang Korut terkenal sangat tertutup dan bagi saya pribadi di masa lampau hingga sekarang, tidak dapat saya mengerti jalan pikirnya. Sanksi ekonomi, embargo, sanksi politik, memasukkan kembali Korut ke dalam daftar negara pendukung teroris, sanksi dari AS, PBB, dan Uni Eropa, sanksi yang luar biasa banyaknya bahkan didukung mitra utama: Tiongkok dan Rusia. Tentu kehidupan Korut menjadi sangat terisolasi atas segunung sanksi yang diberlakukan. 

Gedung Putih sudah memberikan sanksi sejak 2008 dengan embargo dan pembekuan aset baik individu maupun korporasi. PBB pada Desember 2017 mengurangi 90% impor bensin ke negara pimpinan Kim dan melarang ekspor barang dan jasa (untuk masalah ini tenaga kerja Korut diminta kembali ke tanah air mereka dalam 24 bulan). Tidak terbayangkan sanksi yang diterapkan. Namun, tampaknya pandangan saya berlebihan kalau sanksi itu membuat Korut menderita. Mengapa? Mereka telah hidup lama dalam pengasingan internasional dan tampaknya itu telah membiasakan diri mereka. Tentu itu rakyat Korut, bukan pemimpin mereka yang masih bisa makan tanpa kekurangan.

Akan tetapi, sekeras apapun batu karang, sekeras apapun hati The Supreme Leader pasti akan terkikis dan waktu akan menghancurkannya. Setelah Deklarasi Panmunjom yang juga bersejarah sebagai awal penyatuan pecah belah di Semenanjung Korea antara Korut dan Korsel, dialog dengan AS mulai memunculkan titik terang. Jumat (8/6) Trump menerima surat dari Kim. 

Diantarkan oleh Kim Tong-chol langsung ke orang nomor satu di Gedung Putih. Meski Trump tidak memberitahukan isi detailnya ia memberikan tanda bahwa ini adalah awal yang baik. Sanksi isolasi yang menghancurkan Korut sedang dicoba untuk dilepaskan dengan membuka diri terhadap komunikasi dan hubungan yang baik, setidaknya itu yang dikatakan Profesor Yang Moon-jin dari Universitas Studi Korea Utara di Seoul. Beliau juga merupakan salah satu orang yang ikut melobi Jong-un untuk mengadakan komunikasi dengan AS.

Persiapan pertemuan hampir berantakan sebenarnya ketika Jong-un mengirimkan surat pada 24 Mei menyatakan akan menangguhkan rencana pertemuan. Beruntunglah semua kembali ke alur yang tepat. Dua pertemuan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, dua kali dengan Presiden Korsel Moon Jae-in, dan bolak baliknya Mike Pompeo sebagai MenLu AS tidak jadi hal tanpa hasil yang sia-sia. Persiapan pertemuan di Singapura dilaksanakan dengan sangat detail. 

Posisi meja, jumlah meja dan kursi, makanan, minuman, hadiah, pembayaran (mengingat Korea Utara menjadi negara yang memaksa negara lain untuk membayarkan biaya akomodasinya selama kunjungan mereka) semua disiapkan. Sebenarnya AS dan pemerintah Singapura memiliki preferensi berbeda mengenai tempat pertemuan. 

AS lebih menyukai Hotel Shangri-La, tetapi pemerintah Singapura lebih memilih Pulau Sentosa yang memang menjadi tempat pertemuan bersejarah ini. Setelah pertemuan selama lima jam dan konferensi pers dari Donald Trump, di hari yang sama kedua delegasi kembali ke negaranya masing-masing dengan Trump lepas landas setelah Kim.

Pertemuan bak cinta

Mungkin sub judul ini agak membingungkan, tapi niscaya memang seperti itulah pertemuan Kim-Trump. Cinta, satu kata, jutaan makna. Pertemuan ini tak lain sama dengan cinta, penuh makna, interpretasi, dan tafsir. Jika mengutip dari berbagai sumber mainstream ini adalah awal menuju perdamaian dunia. Awal menuju dunia yang lebih baik dan sebagainya. Tidak ada yang salah. Suatu hal yang baik. Setidaknya hal ini akan mengurangi provokasi (bahkan mungkin menihilkannya) yang akan menyulut api konflik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun