Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Langkah "Gila" Dua Presiden

30 Juni 2018   09:44 Diperbarui: 30 Juni 2018   09:55 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu pertemuan bersejarah kembali terjadi di Singapura pada Selasa (12/6) ahad lalu. Ya, apapun titel yang disematkan pada pertemuan bersejarah Kim Jong-un dan Donald Trump, cerita itu akan menjadi sejarah bukan hanya bagi dunia politik, tetapi seluruh aspek kehidupan -- tidak terkecuali seni karena foto jabatan tangan mereka menjadi sangat meme-able. Tentu perhatian dunia sangat besar dan sekejap timbul banyak analisis karena memang tidak mungkin memalingkan diri dari peristiwa yang diagung-agungkan sangat bersejarah.

 Sejujurnya ada ribuan pakar yang jauh lebih paham dengan segala ilmu dan pengetahuan mereka mengenai hal ini. Bill Richardson, Jean H. Lee, Suh-hoon, Konstantin Asmolov, dan sederet pakar Korea Utara lainnya tentu memiliki pandangan yang jauh lebih luar biasa luas dan analisis yang akan sangat dalam. Entah masih berapa banyak lagi pakar hubungan internasional dan pakar-pakar terkemuka lainnya yang bisa menyajikan tulisan berkualitas tinggi. 

Namun, satu hal yang membuat diri tetap mencoba menulis topik mainstream ini adalah kenyataan bahwa hal ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Apa yang ingin diri coba tuliskan di bawah ini mungkin bukan tulisan yang sangat luar biasa menjamah seluruh aspek kehidupan, melainkan sebuah gejolak bara jiwa yang didasarkan satu asas. Kemanusiaan!

Sekilas tentang pertemuan

Agar semua orang bisa memahami maka saya akan mencoba menyajikan hal dasar yang perlu diketahui, pertemuan Kim-Trump itu sendiri. Dihelat di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada Selasa (12/6/2018) pukul 09.00 waktu Singapura, pertemuan selama kurang lebih lima jam itu terbagi menjadi empat sesi: pembicaraan empat mata Kim-Trump (dengan penerjemah tentunya), pertemuan bilateral bersama delegasi kedua negara, makan siang, dan puncaknya adalah penandatanganan pernyataan bersama. Ada empat buah poin kesepakatan pertemuan Kim-Trump -- saya mencoba memberikan dua bahasa agar tidak ada salah tafsir meskipun terjemahan yang beredar di berbagai media tidak salah --, yaitu sebagai berikut.

The United States and the DPRK commit to establish new U.S.-DPRK relations in accordance with the desire of the peoples of the two countries for peace and prosperity. (Amerika Serikat dan Korea Utara berkomitmen membentuk hubungan baru berdasarkan keinginan kedua negara untuk perdamaian dan kesejahteraan)

The United States and the DPRK will join their efforts to build a lasting and stable peace regime on the Korean Peninsula. (AS dan Korea Utara akan berusaha bersama membangun perdamaian yang langgeng dan stabil di Semenanjung Korea)

Reaffirming the April 27, 2018 Panmunjom Declaration, the DPRK commits to work toward complete denuclearization of the Korean Peninsula. (Sesuai deklarasi Panmunjom pada 27 April 2018, Korea Utara berkomitmen untuk bergerak menuju denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea)

The United States and the DPRK commit to recovering POW/MIA remains, including the immediate repatriation of those already identified. (AS dan Korea Utara berkomitmen untuk menyelesaikan masalah prisoner of war/missing in action -- tahanan perang dan jenazah tentara hilang -- termasuk repatriasi mereka yang sudah teridentifikasi).

Sebelum lebih jauh, apa sebenarnya latar belakang pertemuan ini? Jika melihat sejarah tentu akan sangat panjang mengingat hubungan tensi tinggi yang kurang harmonis Korut-AS sudah tersimpul sejak Korea terpecah pada 1945 dan Perang Korea berkecamuk lima tahun kemudian. Sebagai sekutu Korea Selatan, kehadiran militer AS di Korsel tidak terhindarkan. Hubungan tidak harmonis ini semakin panas ketika Korut memulai membangun reaktor nuklirnya pada 1963. Sejak saat itu perkembangan senjata nuklir Korut dimulai. Memasuki milenium baru, perselisihan tidak juga mereda dan semakin panas dengan klaim-klaim provokatif Korut akan senjata nuklirnya. Presiden Bush kala itu menyebut Korut sebagai "Axis of Evil".

Sebenarnya wacana denuklirisasi dan komitmen Korut untuk melaksanakannya telah ada sejak 1992. Pada masa pemerintahan Kim Jong-il, ayah Kim Jong Un, The Dear Leader telah menemui dua presiden Korsel untuk membahas rencana denuklirisasi. Sayangnya, hingga kematiannya dan disuksesi oleh anaknya pada 2011, tidak ada langkah konkret menunjukkan komitmen denuklirisasi tersebut. Bahkan pengembangan senjata nuklir terus dilakukan pada masa Kim Jong Un. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun