Aku hanyalah insan ditengah padang
Sunyi ditengah kicauan
Lalu, ku mendengar suara -- suara bergemaÂ
Membuatku berkelana menelusuri sumbernya
Ketika ku menemukannya
Ingin rasanya aku bergema seperti mereka
Sayang beribu sayang
Aku tetap sebatang kara ditengah keramaian
Suara -- suara yang kuharapkan berubah menjadi memilukan
Kehadiranku membuat kicauan itu menjadi pecutan caci maki
Raut wajah yang ingin ku lontarkan selalu salah
Apa lebih baik menjadi patung saja?
Atau benda mati yang tidak mengeluarkan sedetik pun suara dan pergerakan ?
 .....
      "Ah ... aku bingung kelanjutannya!", Ketrin menghentikan pekerjaannya sejenak.
      Dia masih termenung diteras rumahnya.Secangkir teh hangat belum juga diseruputnya.Hawa dingin akibat hujan deras masih menyelimutinya.Awan hitam pekat ditemani suara gemuruh menambah kengerian.Tapi, dia masih mematung tak beranjak.Tatapan matanya kosong seketika.Hanya tangan mungilnya yang masih menggerak -- gerakkan bolpoin berharap mendapatkan inspirasi.
      "Duwaarrr!"   Guntur itu memecahkan konsentrasinya.Pikirannya kabur dikejutkannya.
      "Yah ... jadi lupa aku mau nulis apa! Gara -- gara suara geluduk itu, sih ....", Ketrin mengeluh pelan.
      Akhirnya ia beranjak. Memasuki ruang pribadinya.Melanjutkan pekerjaannya.Buku -- buku yang masih berserakan dimeja dirapikannya.Ia pun terduduk. Hening seketika.Seluruh tubuhnya kembali kaku. Tak bergerak sama sekali. Ia seperti me mikirkan sesuatu yang seolah - olah melesat secara tiba -- tiba di otaknya.Â
      "Halo.Kamu dimana? Oke,aku kesana. Sampai ketemu", Ketrin mengangkat telepon dari temannya.
      Ia pun tersenyum tipis. Lalu, mempercepat langkahnya.Tak sabar untuk menemui sahabat lamanya.
      "Orang gila ... orang gila ... orang gila ...", tiba -- tiba dua anak kecil menyerunya.
      "Hey!", Ketrin menegur mereka.
      "Lariii ... ada orang gila!", mereka berlari sambil cekikikan.
      Ketrin terdiam sejenak.Merasa bingung.Apa yang salah? Hanya senyum biasa.Penampilan juga biasa.Pokoknya semuanya serba biasa saja.Tidak ada hal aneh yang dia lakukan.Namun hatinya tiba -- tiba memanas. Tapi, ia coba untuk tidak memikirkannya.
      Semakin ia berjalan dan menemui anak kecil. Ia selalu dikatakan sebagai orang gila, ditatapi dengan sinis, atau dengan ejekkan lainnya. Lama -- lama, cemoohan itu membuatnya menjadi kaku. Setiap melangkah, tidak ada satu pun gerak -- gerik yang ia keluarkan. Senyum pun tidak diperlihatkannya kecuali saat mengatakan "Permisi".Pandangannya lurus tanpa memperhatikan sekitar.Bahkan, ketika melihat orang dihadapannya.Ia seperti memalingkan wajahnya ke arah lain atau menunduk.
      Ia sampai di Kafe. Temannya menyambutnya dengan pelukan.
      "Hei, Ketrin. Udah lama nggak ketemu. Kamu gimana keadaannya?", Mia memeluknya erat. " Alhamdulillah. Aku b ... baik -- baik aja.Kamu sendiri?""Aku baik -- baik aja. Oh, ya. Kamu kenapa? Kok datar gitu?", tanya Mia menatap raut wajah Ketrin. "Ng ... nggak apa -- apa, kok", Ketrin mencoba tersenyum untuk meyakinkannya. "Oke, kita pesan minuman dulu, ya!", ajak Mia."Oke"."Sepertinya Ketrin memendam sesuatu.Tingkahnya nggak seperti biasanya.Kalau dulu dia ceria, sekarang jadi kaku", gumam Mia dalam hati.
      "Ketrin, diminum dong!Jangan diliatin aja", Mia terus memperhatikan tatapan nya."I ... iya, Mia", Ketrin berkata singkat sambil tersenyum tipis. "Kamu mikirin apa, sih? Sampai bengong begitu", Mia penasaran."E ... enggak, kok. Nggak mikirin apa -- apa. Hehehe ....", Ketrin menjawabnya dengan terbata -- bata.
      Mereka menikmati minuman itu.Suasana kafe itu kian ramai tapi tetap sejuk oleh dinginnya AC. Apalagi ditambah alunan musik Korea yang Ketrin favoritkan. Membuatnya  mengalihkan pikirannya. Sepertinya mereka betah berlama di tempat itu.Alunan musik itu semakin merdu memanjakan telinga dan pikirannya. Lama -- kelamaan, alunan itu mengajaknya untuk bernyanyi ria. Ketrin sudah tidak bisa menahan pita suaranya.Ia mengiringi lagu itu. Bernyanyi bak penyanyi Korea sungguhan.
      "Kamu suka lagu Korea?", tanya Mia memperhatikan gerak -- geriknya yang nampak menghayati lagu tersebut. "Suka banget!", sorak Ketrin begitu bersemangat mengikuti aliran musik itu.
      Api yang membara itu tak henti -- hentinya menyala setiap lagu itu diputar. Ketrin semakin bersemangat hingga tangan -- tangan dan kaki -- kakinya pun ikut berirama seolah membayangkan dirinya saat pertunjukkan konser. Walaupun gerakkan -- gerakkan itu hanya gerakkan kecil yang dikeluarkan sedikit di bangkunya, ia merasa bergairah. Ia dapat melupakan sedikit  demi sedikit masalah kecil yang tadi dihadapinya.
      "Ketrin, kapan -- kapan kamu ajari aku nyanyi lagu Korea, ya? Kalau bisa sama
gerakkan dancenya, oke!", Mia berceloteh menggodanya. "Oh, boleh boleh. Hehehe ...."
      Lagu itu benar -- benar menghapus kesedihannya.Sepertinya lagu itu sudah menjadi pelangi setelah awan badai menghujam pikirannya.Hahaha ... seperti dalam cerita kartun saja.Sayangnya, pelangi itu hanya sebentar saja bersinar di otaknya. Akhirnya ia menyadari, gerak -- geriknya diperhatikan dua anak kecil. Sepertinya mereka orang yang meledek Ketrin tadi.
      "Hahaha ... dasar orang gila!", anak -- anak itu menertawakannya sambil menatap sinis ke arahnya. "Heh! Si Ucup suka", salah seorang diantara mereka menegur Ketrin dengan bahasa yang sama sekali tidak pantas dilontarkan. Terutama kepada orang yang usianya diatasnya."Eh, enak aja! Kamu yang suka sama orang sinting itu!", anak kecil yang satu lagi berceloteh sambil meledek Ketrin. "Tadi ngomong apa?", akhirnya Ketrin menghampiri kedua anak itu dengan raut wajah yang tajam. Kemarahannya mulai terlihat."Apa? Nggak dengar, ya?", anak kecil itu kian menantang kesabarannya. "Budeg kali sama kegilaannya. Hahaha ...", anak kecil yang satunya lagi menambahkan untuk menggodanya. "Bisa berbicara sopan?", Ketrin semakin ter pancing amarahnya. "Nggak!Kenapa? Marah?", mereka semakin menjadi -- jadi. "Kalian bisa nggak ngeledekin aku?Aku nggak pernah ganggu kalian.Jadi kalian jangan ganggu aku pake ledekkan kalian. Itu mengganggu aku tau, nggak?", Ketrin menegaskan. "Eh! Emang kenyataannya kalau situ gila. Ngomong sama HP, di sini nyanyi -- nyanyi sendiri. Harusnya situ jangan disini, tapi di Rumah Sakit Jiwa. Hahaha ....", mereka semakin menyolot. "Kalian bilang apa? Temanku gila? Eh, temanku nggak gila. Kalian yang gila! Dia ngobrol sama HP itu karena tadi dia teleponan sama aku. Dia nyanyi nggak sendiri. Dia nyanyi bareng sama aku. Kalian diajarin untuk nggak ngebully orang nggak, sih ?Seenaknya kalau ngomong. Dengerin, ya! Kalian nggak boleh seenaknya ngehina orang sementara orang itu nggak pernah ngehina kalian. Mengerti?", Mia menegaskan panjang lebar membela sahabat karibnya. "Huuuh!Berlindung dibawah ketiak teman", mereka menyoraki Ketrin sekali lagi."Awas, ya! Ngomong kayak gitu lagi kualat kalian!", Mia meneriaki mereka.
      Anak -- anak kecil itu meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal.Tak lama kemudian, Ketrin dan Mia pun turut meninggalkan tempat itu.Mereka melangkah per lahan -- lahan sambil bercengkrama.Mencoba mengalihkan suasana yang memanas.
      Tiba -- tiba langit bergemuruh.Mengeluarkan suara gemuruh yang terkenal keributannya menyambut datangnya hujan.Angin pun ikut bertiup kencang.Akhirnya mereka memutuskan untuk berteduh dahulu.
      "Hujan memang bikin banyak orang lari untuk berteduh karena datangnya keroyokkan", Ketrin berceloteh."Iya, benar juga.Hahaha ...kamu bisa aja", Mia sedikit terhibur ditengah -- tengah hujan."Ketrin, kok kamu tiba -- tiba diam lagi? Masih kepikir an yang tadi, ya?", Mia memperhatikan raut wajahnya yang murung. "I ... iya, Mia", jawab Ketrin pelan. "Jadi, yang awal datang ke Kafe kamu melamun itu gara -- gara kelakuan anak -- anak itu?", Mia penasaran. "Iya, Mia", jawabnya secara singkat.
     "Coba kamu ceritakan", kata Mia."Awalnya saat aku teleponan sama kamu.Emang sih, aku teleponannya sambil senyum -- senyum.Tapi menurutku itu hanya senyum biasa, kok.Tapi nggak tau kenapa tiba -- tiba mereka menyebutku gila, dan ejekkan -- ejekkan lainnya.Itu yang membuatku menjadi kaku dan tidak percaya diri.Setiap aku berjalan, aku pasti memalingkan wajah atau menundukkan kepala bila melihat anak kecil.Aku merasa setiap ungkapan yang ingin aku lontarkan lewat ekspresi selalu menjadi bahan pergunjingan. Bahkan ketika aku diam sama aja. Selalu dijadikan cemoohan.Aku merasa sudah tidak betah lagi tinggal di lingkungan sekitar tempat tinggalku", akhirnya Ketrin mau menceritakannya."Menurutku kamu sama sekali nggak salah.Setiap orang bebas mengeluarkan ekspresinya. Itu kan hak setiap orang. Selama hal itu tidak meng ganggu orang lain. Mereka juga tidak seharusnya bersikap seperti tadi. Itu akan mem buat orang yang dicemoohnya menjadi tertekan. Mereka harus memikirkan dampak dari apa yang mereka perbuat. Sekarang kamu tenang aja. Cepat atau lambat mereka akan kena batunya. Ingat, hukum karma pasti berlaku", Mia memberikan solusi dan mencoba menghiburnya."Terimakasih ya, Mia.Kamu bisa bikin aku jadi tenang", Ketrin mencoba menghapus kesedihannya. "Sama -- sama. Apa sih yang nggak buat sahabatku?", Mia pun ikut tersenyum.
      Hujan masih turun deras.Gemuruh pun masih menyeringai ditemani kilat.Langit  pun masih menunjukkan kegelapannya. Tapi, semua itu sudah tak seperti perasaan Ketrin yang tetap berpelangi setelah sesuatu yang menerpanya sirna.Semua itu karena kesetiaan sahabat yang menemaninya.Senang maupun sedih.
      "Kriiing!"  Jam itu pun membangunkan Ketrin. Ternyata hanya mimpi. Tapi, mimpi itu bukan hanya sekedar hiburan selama ia terlelap. Mimpi itu seperti menceritakan kisahnya di masa lalu.Membuatnya kembali terdiam dengan tatapan melamun. Namun lama -- kelamaan ia mengalihkan pikirannya dengan melihat tugasnya.
     "Alamak!Belum selesai. Gara -- gara aku ketiduran, sih! Aku benerin dulu, ah ....", Ketrin mengeluh sejenak.
      Perlengkapan tugasnya pun ia bawa kembali ke teras rumahnya. Langit yang kembali cerah mendukungnya untuk berkonsentrasi.Menemukan kata -- kata baru.
...
Ingin sekali rasanya aku bebas
Meluapkan segala yang dibenakku
Tanpa siapapun yang mengganggu
    "Yes! Akhirnya tugasku selesai", Ketrin tersenyum kegirangan.Tak lupa ia berikan judul pada puisi itu. "Biarkan Aku Berekspresi" Itulah judulnya.Mewakili pengalaman pahitnya yang dahulu kala menerpa.Ia memperhatikan dengan seksama setiap kata yang tertulis didalamnya. Berharap ia bisa melupakannya.
   "Aku harap dengan puisi ini aku bisa tetap berekspresi ditengah sunyi.Berekspesi dengan bebas.Tanpa ada siapa pun yang menghalang. Aku harap
kedepannya akan tetap tersenyum. Tanpa ada mulut -- mulut tajam yang menghujam".Ketrin mengungkapkan harapanya dalam hati.
      Peralatan tulis itu dimasukkannya ke dalam tempat pensil. Tak lama kemudian, ia mendengar keributan. Dengan penasaran, ditinggalkannya tugas itu diteras rumahnya.Lalu menghampiri sumber suara.Dilihatnya dua laki -- laki yang menjadi korban Bullying oleh teman -- temannya.Ketrin memperhatikan sejenak. Sepertinya ia pernah melihat kedua laki -- laki itu sebelumnya. Tapi ia lupa dimana.
      "Dasar orang gila!", ejek salah satu temannya. "Aku bukan orang gila! Aku orang kaya!", tegas salah seorang lelaki itu. "Iya, kayak gelandangan! Hahahaha ....", ejek teman -- temannya. "Liat, tuh!Pakaian bolong -- bolong kayak nggak punya duit untuk beli baju. Hahaha ....", salah seorang temannya menarik baju dua lelaki itu. "Kata siapa?Kami mampu, kok", ujar salah seorang lelaki yang satunya lagi."Kalau mampu, kenapa masih pakai baju yang bolong -- bolong itu? Kenapa nggak sekalian kalian bawa karung, botol -- botol minuman bekas supaya terlihat seperti ...", salah seorang temannya menertawakan. "Pe ... mu ... lung! Hahahahaha ....", teman -- temannya melanjutkan sambil tertawa terbahak -- bahak.
      "Cukup! Cukup! Kalian apa -- apaan? Menghina seenaknya!", akhirnya Ketrin memberanikan diri melerai mereka. "Situ siapa? Jangan ikut campur!", salah seorang membentak. "Aku memang nggak kenal mereka.Tapi tolong jangan hina mereka seperti itu.Sesama manusia kita tidak boleh saling menghina. Kalau memang mereka membuat kesalahan atau mengganggu kalian. Kalian bisa kan bicarakan dengan mereka?", Ketrin menasehati dengan tegas.serta panjang lebar. "Kita bubar aja, yuk! Huuuh! ", teman -- temannya bersorak. "Kalian nggak apa -- apa?", tanya Ketrin. "Iya. Terimakasih, ya ....", sahut mereka pelan.
       Ketrin mengajak mereka ke rumahnya.Mengajaknya bercerita.
      "Itu puisi karya kakak, ya?", tanya salah seorang lelaki itu. "Iya, puisi ini mewakili perasaanku.Aku juga dulunya mengalami seperti kalian.Bahkan ketika di kafe, ada dua anak laki -- laki dengan seenaknya menghinaku dengan sebutan orang gila.Padahal aku sama sekali nggak pernah mengganggu mereka", Ketrin menjelaskan.
      Mereka perhatikan dengan seksama puisi itu.Tak lama kemudian, mereka menyadari sesuatu.
     "Kak, maafin kami, ya.Kami sudah pernah menghina kakak dulu.Kami lah dua anak laki -- laki itu.Sekarang, kami merasakan apa yang dirasakan kakak dulu", mereka mengucapkannya sungguh -- sungguh."Iya, yang penting ini menjadi pelajaran bagi kalian", Ketrin berkata singkat.
     Mereka pulang dengan lega.Ketrin sudah membukakan pintu maafnya.Sungguh indah hidup ini bila tidak ada mulut -- mulut tajam menghujam.Memang, mulut adalah alat yang paling tajam dibandingkan dengan benda tajam lainnya. Hanya bagaimana caranya kita mengendalikannya agar tidak melukai perasaan orang lain. Ingat, mulutmu harimaumu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H