Jika kita berbicara sejarah maka haruslah kita membaca sejarah tersebut secara obyektif, bagaimana membaca sejarah secara obyektif itu? Pertama kita harus mengetahui refrensi dari mana sumber sejarah itu, apakah akurat atau masih ambigu, atau yang lebih parah lagi masih adakah kerancuan-kerancuan dari sumber refrensi sejarah tersebut atau tidak?Â
Dan yang kedua adalah kita membaca sejarah ini dari perspektif yang mana? Dari sisi yang mana? Positif atau Negatif? Akan lebih akuratnya ialah kita membaca dan menilai dari sisi kedua duanya.Â
Seperti adagium yang konon katanya pertama kali dikemukakan Winston Churcill ataupun dari Napoleon yakni "Sejarah ditulis oleh para pemenang". Ketika berbicara historis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) tidaklah terlepas pembahasan tersebut dari NU (Nahdlatul Ulama) yang mana pada masa itu NU masih menjadi partai politik.Â
PMII sendiri didirikan pada 17 April 1960 yang mana perumusnya ialah dari tokoh-tokoh mahasiswa NU yang bergabung dalam IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Perlu diketahui, pada musyawarah yang diselenggarakan di Taman Pendidikan Putri Khadijah, Surabaya tersebut bukan hanya 13 tokoh saja, 13 tokoh tersebut hanyalah perumus.Â
Banyak diantara orang-orang yang lebih dari 13 tokoh ikut serta andil mengikuti pembentukan organisasi mahasiswa NU tersebut hingga forum musyawarah menghasilkan keputusan dan menyepakati berdirinya organisasi mahasiswa NU dengan nama "Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia", disingkat PMII (Baca sejarah PMII).Â
Kembali lagi sebelum dirumuskanya PMII, mahasiswa NU dulunya aktif didalam organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) karena NU sendiri belum mempunyai organisasi mahasiswa.Â
Di rasa mahasiswa-mahasiswa NU yang aktif didalam organisasi HMI tersebut tidak pernah menempati pos-pos strategis, aspirasi tidak pernah didengar didalam organisasi tersebut, manakala HMI bernaung pada Masyumi yang pada saat itu menjadi saingan partai NU. Oleh sebab itu kalangan mahasiswa NU merasa perlu adanya sebuah organisasi yang mewadahi mereka dan tentunya di bawah naungan NU, seperti halnya IMM yang payung induknya Muhammadiyah. Lalu lahirlah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) sebagai organisasi mahasiswa yang mewadahi mahasiswa NU.Â
Muncul penolakan dari pihak PBNU karena berdirinya IMANU, dengan alasan IPNU baru saja berdiri, maka munculah trobosan berdirinya Departemen Perguruan Tinggi didalam organisasi IPNU untuk mewadahi aspirasi mahasiswa NU atas gagasan Tolchan Mansoer.Â
Selang beberapa tahun setelah dirasa DPT IPNU tidak lagi efektif dan tidak mampu menampung aspirasi mahasiswa NU yang semakin besar jumlahnya, DPT IPNU juga dianggap terlalu sempit dan tidak bisa mewadahi sepak terjang mahasiswa, dengan beberapa asumsi liar beranggapan bahwasanya paradigma mahasiswa tidak sama dengan pelajar, mahasiswa enggan dipimpin oleh struktural pelajar, manakala rivalitas politik antar partai pada saat itu berimbas kepada mahasiswa, disinilah NU harus punya organisasi mahasiswa. Berawal dari itulah cikal bakal berdirinya PMII (Baca Biografi Profesor NU Yang Terlupakan).Â
Dari sepak terjang itulah sebelum dan awal berdirinya PMII tidak terlepas apa yang disebut sakit hati dan politik. Percaya atau tidak bagaimanapun situasinya jika pada saat mahasiswa NU berorganisasi didalam HMI, aspirasi tidak pernah didengar sampai-sampi mahasiswa NU tidak pernah menduduki pos-pos strategis, lalu sepakat ingin mendirikan organisasi mahasiswa dari kalangan NU sendiri, bukankah itu termasuk sakit hati? Apalagi itu semua termasuk dalam prihal politik.Â
Sedangkan dilihat dari kondisi sosial politik pada tahun 50-an, banya organisasi mahasiswa yang bernaung pada payung induknya. Maka sekali lagi tidak heran jika berdirinya organisasi mahasiwa NU, yang melatar belakangi ialah faktor sakit hati dan lagi-lagi ini adalah prihal politik.