"Tidakkah kau mengetahui? Tentang Dia, Tuhan yang kekal, Pencipta langit dan bumi. Dia takkan pernah lelah, dan pemahamannya melampaui apapun. Dia memberi kekuatan kepada yang lemah. Bahkan remaja bisa lelah, dan orang dewasa bisa terpuruk. Tapi mereka yang percaya pada-Nya akan tetap kukuh. Mereka akan mengepakkan sayap laksana Elang. Mereka akan berlari dan tak pernah lelah. Mereka akan berjalan dan tak akan pernah terpuruk."
-Desmond Doss-
Pasukan Amerika Serikat ditarik mundur dari Hacksaw Ridge. Mereka "kalah mental" dengan tentara Jepang yang memang cita-citanya adalah mati. Satu persatu tentara Amerika turun dari tebing Hacksaw Ridge.
Desmond Doss, "Si Pohon Jagung," berlari sambil membopong Smithy, sahabatnya yang sekarat. Di tepi tebing yang tinggi itu, saat ia hendak menurunkan Smithy, dia baru menyadari bahwa sahabatnya sudah tidak merespon ucapannya lagi. Dia menatap hampa pada bola mata sahabatnya itu. Sementara prajurit lain terus turun menggunakan tali, menyelamatkan diri. Beberapa orang meneriaki Doss untuk turun, tapi Doss hanya berlutut, bergeming di samping mayat sahabatnya.
Semua prajurit lain sudah meninggalkan tebing. Di tepi tebing itu, Doss sendirian. Dia bertanya kepada Tuhannya, "what do you want from me? I don't understand." Tidak ada jawaban.
Doss tidak mengerti kenapa dia harus menyaksikan semua ini. Yang dia tahu, selama ini dia memegang teguh perintah Tuhannya untuk tidak saling menyakiti apalagi membunuh. Dia bergabung dengan angkatan militer untuk menjadi tim medis dan menolak untuk menyentuh senjata sejak masa latihan. Bahkan dia hampir dipulangkan karena tidak mematuhi perintah atasannya untuk berlatih menembak.
Peluru meriam dari angkatan laut AS sudah dilontarkan supaya tentara Jepang tidak mendekati tebing yang menjadi garis pertahanan terakhir Pasukan AS. Hacksaw Ridge Dipenuhi dengan gemuruh ledakan. Di antara riuh ledakan, Doss mendengar sayup-sayup teriakan prajurit yang tertinggal di zona merah, meminta bantuan medis. "Medic! Help me!"
"Alright," jawab Doss. Dia bangkit. Dia kenakan lagi perlengkapan medis dan helmnya yang tampak longgar di kepalanya, lalu tubuhnya yang terlihat serapuh pohon jagung masuk ke zona sasaran meriam yang gelap karena kepulan asap. Doss bertindak di luar komando, memenuhi komando "yang lain." Komando yang selama ini dia yakini dengan teguh namun dianggap lelucon oleh atasan dan teman-temannya di kompi 96.
Sebagian besar dari kita pasti pernah berada di titik di mana semua harapan pupus. Ketika situasi seakan tidak memberi kita secelah pun untuk lolos dari keterpurukan. Beberapa di antara kita ada yang putus asa karena dalam perhitungan nalar kita, "sudahlah. Ini mustahil." Beberapa di antara kita juga ada yang berharap kepada orang lain yang kita anggap lebih unggul dari kita dalam semua hal. Dan beberapa dari kita yang lain, berdoa. Memohon kepada sesuatu yang tak kasat mata, tapi kita yakini dengan teguh ke-Maha-annya. Berharap Ia mengirim para "ababil-Nya" sekali lagi.
Seperti yang terjadi pada kompi 96 di Hacksaw Ridge. Smith merupakan prajurit terbaik yang dimiliki kompi 96. Tubuhnya kekar, mentalnya tangguh, dan keahliannya dalam menembak juga mumpuni. Tapi kekejaman Hacksaw Ridge bahkan mampu menumbangkan prajurit terbaik. Sementara itu, Sersan mereka tertinggal di zona merah dan tidak ada yang tahu pasti apakah dia selamat atau tidak.
Hampir tidak ada harapan bagi pasukan AS. Mereka kehilangan sebagian besar jumlah prajurit. Tidak ada lagi pasukan tambahan untuk membantu mereka, karena mereka adalah kompi terakhir yang dimiliki AS. Sementara pasukan yang sedang dalam perawatan medis juga tidak dapat banyak membantu. Tidak ada semangat patriotisme di kamp itu selain luka dan wajah-wajah putus asa.
Hingga pada suatu titik, Doss dikirimi "ababil" dalam bentuk sayup-sayup permohonan pertolongan medis dari rekannya di zona merah. Rintihan yang dia yakini sebagai jawaban atas doanya itu memberi magi bagi tubuh "batang jagungnya" yang rapuh menjadi kukuh.
Sementara prajurit lain di kamp mengira bahwa prajurit yang tertinggal di zona merah telah mati, di sisi lain, Doss sibuk mengendap-endap, mencari prajurit yang masih bisa diselamatkan.
Satu nyawa prajurit berhasil dia selamatkan. Kamp di bawah tebing dihebohkan oleh pemandangan seorang prajurit yang diturunkan oleh Doss seorang diri menggunakan tali. Prajurit yang baru diturunkan itu segera disambut dan dibawa ke tenda medis oleh prajurit yang sedang berjaga.
Tidak berhenti di situ, Doss kembali ke "gelanggangnya" untuk menolong satu nyawa lagi. "Please, God, help me get one more," pintanya.
Sejak saat itu, prajurit yang berjaga di kamp disibukkan untuk menyambut prajurit yang "dihidupkan" kembali satu persatu, seolah Tuhan mengirim mereka kembali ke bumi untuk menunaikan pertempuran yang belum tuntas.
Malam itu, selama 12 jam tanpa istirahat, Doss terus mencari, mengendap-ngendap, bersembunyi dari tentara Jepang, menolong satu nyawa, lalu memohon lagi, "one more, one more, one more." Dia sadar bahwa tubuh "batang jagungnya" tidak akan sanggup menolong semuanya. Tapi Tuhan tak pernah tidur dan tak pernah membatasi permintaan hamba-Nya. Maka setiap kali Doss berhasil menolong satu nyawa, dia hanya perlu memohon untuk diizinkan menolong satu nyawa lagi. "One more." Juga setiap kali tubuhnya terasa tak sanggup lagi untuk bangkit, dia hanya perlu mengulanginya, "one more." Bagi Doss, magi dari "mantra" itu tidak akan pernah habis selagi dia tetap percaya. Hingga matahari terbit, total ada 75 prajurit yang dia selamatkan, termasuk beberapa diantaranya tentara Jepang.
Pada akhirnya, keyakinan yang dibawa oleh Doss juga mengilhami seluruh anggota kompi. Bahkan, mungkin juga mengilhami sesiapa saja yang menyimak kisah itu. Baik melalui catatan sejarah, maupun film, dan akan terus memberi magi bagi mereka yang percaya.
Bayu, Tasikmalaya, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H