Aku meniarapkan tubuhku di tepi kanal dan mengulurkan tangan, berusaha meraih topi cokelatku, namun topi itu masih terlalu jauh bagiku. Pelan-pelan, aku terus berusaha lebih dekat lagi untuk meraihnya.
"Sedikit lebih condong lagi ke depan, maka kau akan nyemplung," kata seseorang dari jauh. Dia mendekat. Kali ini pria dewasa. Tubuhnya jangkung, wajahnya pucat, bermata biru. Dia mengenakan syal kotak-kotak. Padahal ini buka musim dingin. Dia berlutut di sampingku. "Cukup, nak, bukan begini caranya mempertahankan apa yang berharga bagimu," katanya, lalu dengan mudah meraih topiku.
Aku berdiri.
Dia menyerahkan topi yang separuh basah itu kepadaku. Tangannya kecokelatan, Jemarinya kurus dan panjang. "Orang-orang seperti anak makelar kopi itu akan selalu ada, dan kau akan terus-terusan kehilangan topi dan perahu kertasmu jika kau hanya diam," katanya. Ternyata dia menyaksikan peristiwa tadi.
"Bedankt." Terima kasih. Aku menerima topiku.
Pria itu melihat ke sekeliling seperti takut ada yang mengawasi, lalu menatapku lagi dan berkata, "kau tahu apa yang akan dilakukan bajak laut ketika kalah dalam pertempuran dan kapalnya hancur?"
Aku menggeleng.
"Mereka akan kembali menantang lawannya, tidak dengan sebuah kapal." Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu berbisik. "Dengan satu armada."
Badanku gemetar membayangkan satu armada bajak laut yang siap bertempur.
"Sore nanti, pukul empat tepat, temui aku di gang itu." Pria itu menunjuk bibir gang tempat kemunculannya tadi. "Jangan lupa bawa kertas setebal panjang kelingkingmu. Kau buatlah perahu sebanyak mungkin di rumah, sementara aku juga membuat perahu yang banyak untuk armada bantuan jika diperlukan. Lalu besok, di jam yang sama, berlayarlah dengan sebuah perahu kertas untuk memancing Droogstoppel Junior kemari."
Dia berpikir sejenak, lalu berkata, "satu hal lagi, jangan beri tahu orangtuamu soal kertas yang kuminta. Sekarang, aku harus pergi. Sampai nanti, Kapten." Pria itu melambaikan tangannya, lalu pergi.