Anak adalah cerminan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Sebagai orang dewasa, yang kebetulan menjadi pendidik---terlalu dini jika harus menyimpulkan baik atau tidaknya anak, hanya dari ujarannya.
Luapan emosi dengan beberapa kata kasar dan kotor yang sumbang di telinga. Adakalanya harus kita telan pada saat bertugas di lapangan. Sebut saja; anjing, babi, goblok, monyet, banci, dan lainnya yang mungkin bisa lebih parah.
Sebagai pendidik, tentu hal ini membuat resah. Bagi saya, ini bukan persoalan moral satu anak. Tapi, juga satu kelompok.
Alih-alih membantu pembelajaran---nyatanya, pendidik berisiko disalahi oleh orangtua, hanya karena sebuah ujaran. "Kok anak saya jadi gini", "Mental anak saya jadi rusak", "Bisa gak kalau anak itu, tidak ada di sini", dsb.
Hal di atas adalah sebuah kewajaran. Pendidikan yang digadang sebagai investasi jangka panjang, harusnya menjadi tempat aman---bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Lalu, kenapa anak bisa berkata kasar? Apakah lingkungan menjadi faktor terbesar?
***
Berdasarkan pengamatan pribadi dan referensi berbagai sumber, banyak sekali faktor yang menyebabkan anak meluapkan emosi kurang tepat.
Ya, saya menyebutnya begitu. Kesenjangan sosial, adalah satu hal paling kentara---kenapa ini bisa terjadi. Semua anak tidak bernasib untung, memiliki pola asuhan yang bijaksana.
Pun lembaga pendidikan, formal maupun non-formal---tidak semuanya tahu dan menerapkan disiplin positif.
Lantas, apakah semakin bagus lingkungan dan sekolah, semakin baik juga karakter anak? Jawabannya iya, tapi belum tentu. Kita tidak bisa menampik, keluarga dan teknologi juga mengambil peranan besar di sini.
Apalagi akses yang semakin mudah. Segala jenis konten dan tontonan harian yang tidak bisa dikontrol, menjadi proyeksi anak ketika sedang bersosialisasi. Inilah yang membuat anak berpotensi memiliki kepribadian ganda: penurut dan pemberontak.
Apakah berkata kasar sebuah kesalahan? Menurut saya, tidak. Anak hanya butuh waktu untuk memanajemen emosi, sesuai usianya.
Kadang, orang dewasa melupakan bahwa anak tidak sama kemampuannya dengan kita. Mereka sering dituntut menjadi baik, tanpa kita mau dengar "apa yang mereka butuhkan dan rasakan?"
Sebagai pendidik, apa yang bisa kita lakukan? Perlu kerja sama dari berbagai pihak untuk mewujudkan ruang belajar aman dan positif bagi anak.
Waktu belajar yang tidak seberapa, bukan jaminan untuk anak tetap mengamalkan karakter baik di rumah dan lingkungan luar sekolah.
Butuh juga kesadaran dan mempersiapkan pendidik untuk memanajemen kelas dengan baik; formal maupun non-formal.
Terakhir, kesediaan kita sebagai orang dewasa untuk mendengar, percaya, dan memahami. Sebab, anak juga boleh untuk tidak baik-baik saja.
Renita
Sebuah Refleksi, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H