Mohon tunggu...
KEPIK FEB UNDIP
KEPIK FEB UNDIP Mohon Tunggu... Freelancer - BEM FEB Undip 2020, Kabinet Melodi Juang.

Kebijakan Publik BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Milenial Penentu Suara

16 April 2019   06:11 Diperbarui: 16 April 2019   07:01 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir akhir ini, para lakon politisi sering menyebut kata "Milenial" dalam berbagai kegiatan politiknya. Dari fenomena tersebut, maka timbul suatu pertanyaan yakni apa itu milenial dan seberapa besar dampak  kaum milenial dalam perpolitikan negara.

Generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923. 

Dalam esai berjudul "The Problem of Generation," sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. 

Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling memengaruhi.

 Berdasarkan teori itu, para sosiolog---yang bias Amerika Serikat---membagi manusia menjadi sejumlah generasi: Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-PD II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, lalu Generasi Z.

Namun, di Indonesia sendiri masyarakat cenderung lebih suka menyebut dan mengeneralisasi anak muda sebagai generasi milenial. Sedangkan berdasar uraian diatas jelas bahwasanya anak muda sendiri masih terbagi menjadi 2 generasi, yakni Generasi Y (Milenial) dan Generasi Z. 

Namun bisa dilihat kedua generasi tersebut adalah orang-orang yang lahir di generasi internet, generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet. 

Generasi yang hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh peralatan elektronik dan jaringan online. Oleh karena itu, sebagian besar dari mereka bersosialisasi lewat dunia maya. 

Untuk Generasi Y (Milenial) sendiri kelompok yang apabila dilihat dari segi usia, lazimnya sudah terdaftar sebagai Warga Negara Indonesia dan tentunya masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Tergambar jelas, mengapa para politisi begitu cintanya terhadap kaum milenial dengan senantiasa menebar janji manis terhadap para kelompok milenial. 

Muncul suatu pertanyaan, apakah para politisi ini ingin membangun negara bersama para kaum millenial yang terkenal akan kreativitasnya, atau hanya ingin mengeruk suara dari kaum milenial agar lebih dekat dengan jabatan impian?

Menurut Survey terakhir dari LIPI suara milenial dalam  pemilu memiliki rasio yang cukup fantastis yaitu 35 sampai 40% atau sekitar 80 juta dari total 192 juta warga negara indonesia yang masuk DPT (daftar pemilih tetap). Tentunya angka ini menjadi ajang perebutan antara 2 kubu yang sama-sama ingin menarik hati milenial, tetapi mayoritas milenial memiliki mindset rasional dan dengan sadar ingin berpartisipasi dalam pemilu tahun ini terutama Pilpres (pemilihan presiden) tidak hanya sekedar fanatisme buta.

Namun menurut CEO Jeune & Raccord Communication setelah survey yang mereka lakukan ada sekitar 40% dari total jumlah DPT milenial yang memiliki kecenderungan golput (golongan putih). Sekitar 51.8% merasa tidak perlu ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) karena tidak peduli dengan politik dan 30.8% merasa tidak perlu ke TPS justru karena mereka mengikuti isu politik sedangkan persentase sisanya merasa tidak perlu memilih karena berbagai alasan yang tidak terlalu signifikan.

Apa itu golput? Golongan putih ("golput") menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia secara online adalah.

  1. warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes.
  2. golongan muslim: putih berhasil menghalau golongan merah dalam konflik itu

Dari hal tersebut dapat di asumsikan golput yang dimaksud adalah golput tidak memberikan suara dalam pemilihan umum ("pemilu").

Kembali lagi ke permasalahan, apabila angka ini jika benar terjadi tentunya sangat memprihatinkan, ketika kita sebagai rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan arah indonesia selama 5 tahun kedepan tetapi malah acuh tak acuh, atau beberapa lainnya justru paham dengan isu-isu politik tapi sudah muak dengan berbagai pertikaian, fitnah dan hoax yang beredar dan bahkan tidak percaya dengan integritas praktisi politik di indonesia.

Sebenarnya masalah ini sudah muncul dari pemilu ke pemilu lainnya namun atmosfer Pemilu tahun ini terutama Pilpres memang jauh lebih intens karena dibumbui dengan derasnya hoax, fitnah, Korupsi dan isu SARA(suku,agama dan ras) yang terus bermunculan menjelang pemilu, yang mana hal-hal ini tidak muncul di pemilu sebelumnya, dan makin membuat pemilih kebingungan dan jengkel sehingga tendensi untuk golput diprediksi meningkat drastis tahun ini.

Lalu apakah golput merupakan tindakan yang melawan hukum? Golput adalah hak, ada yang dinamakan 'hak politik' ( hak untuk memilih dan dipilih) yang dilindungi, termasuk sekalipun hak untuk tidak memilih. Tidak ada sanksi pidana jika seseorang golput karena seseorang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

 Yang menjadi suatu pelanggaran pidana adalah ketika mempengaruhi atau mengajak untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih. Pelaku dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.

Terlepas golput sendiri bukanlah tindakan yang melanggar hukum, namun bukankah lebih baik sebagai milenial yang cerdas kita melangkahkan kaki ke TPS untuk menentukan arah masa depan bangsa dan negara. 

Golput bukanlah solusi yang bijak karena tentunya dengan memilih, suara kita tidak akan dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab hanya karena kita malas melangkahkan kaki ke TPS.

Daripada kita memilih golput lebih baik kita memikirkan solusi untuk menanggulangi hoax, fitnah, korupsi, dan isu SARA yang beresat dengan gencar melakukan pergerakan terutama dimulai dari media sosial sebagai platform yang paling banyak dikunjungi sehingga rakyat mendapat pencerdasan dan tidak terus berputar-putar denganisu tadi, sehingga nantinya kita sebagai milenial bisa memberikan kontribusi masif untuk menciptakan Pemilu yang kondusif, adil, jujur dan menjadikan Pemilu sebagaimana mestinya yaitu sebuah pesta demokrasi untuk seluruh warga negara Indonesia.

#MilenialAntiGolput

#PemilihBerdaulatNegaraKuat

Referensi : 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun