Muncul suatu pertanyaan, apakah para politisi ini ingin membangun negara bersama para kaum millenial yang terkenal akan kreativitasnya, atau hanya ingin mengeruk suara dari kaum milenial agar lebih dekat dengan jabatan impian?
Menurut Survey terakhir dari LIPI suara milenial dalam  pemilu memiliki rasio yang cukup fantastis yaitu 35 sampai 40% atau sekitar 80 juta dari total 192 juta warga negara indonesia yang masuk DPT (daftar pemilih tetap). Tentunya angka ini menjadi ajang perebutan antara 2 kubu yang sama-sama ingin menarik hati milenial, tetapi mayoritas milenial memiliki mindset rasional dan dengan sadar ingin berpartisipasi dalam pemilu tahun ini terutama Pilpres (pemilihan presiden) tidak hanya sekedar fanatisme buta.
Namun menurut CEO Jeune & Raccord Communication setelah survey yang mereka lakukan ada sekitar 40% dari total jumlah DPT milenial yang memiliki kecenderungan golput (golongan putih). Sekitar 51.8% merasa tidak perlu ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) karena tidak peduli dengan politik dan 30.8% merasa tidak perlu ke TPS justru karena mereka mengikuti isu politik sedangkan persentase sisanya merasa tidak perlu memilih karena berbagai alasan yang tidak terlalu signifikan.
Apa itu golput? Golongan putih ("golput") menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia secara online adalah.
- warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes.
- golongan muslim: putih berhasil menghalau golongan merah dalam konflik itu
Dari hal tersebut dapat di asumsikan golput yang dimaksud adalah golput tidak memberikan suara dalam pemilihan umum ("pemilu").
Kembali lagi ke permasalahan, apabila angka ini jika benar terjadi tentunya sangat memprihatinkan, ketika kita sebagai rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan arah indonesia selama 5 tahun kedepan tetapi malah acuh tak acuh, atau beberapa lainnya justru paham dengan isu-isu politik tapi sudah muak dengan berbagai pertikaian, fitnah dan hoax yang beredar dan bahkan tidak percaya dengan integritas praktisi politik di indonesia.
Sebenarnya masalah ini sudah muncul dari pemilu ke pemilu lainnya namun atmosfer Pemilu tahun ini terutama Pilpres memang jauh lebih intens karena dibumbui dengan derasnya hoax, fitnah, Korupsi dan isu SARA(suku,agama dan ras) yang terus bermunculan menjelang pemilu, yang mana hal-hal ini tidak muncul di pemilu sebelumnya, dan makin membuat pemilih kebingungan dan jengkel sehingga tendensi untuk golput diprediksi meningkat drastis tahun ini.
Lalu apakah golput merupakan tindakan yang melawan hukum? Golput adalah hak, ada yang dinamakan 'hak politik' ( hak untuk memilih dan dipilih) yang dilindungi, termasuk sekalipun hak untuk tidak memilih. Tidak ada sanksi pidana jika seseorang golput karena seseorang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
 Yang menjadi suatu pelanggaran pidana adalah ketika mempengaruhi atau mengajak untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih. Pelaku dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Terlepas golput sendiri bukanlah tindakan yang melanggar hukum, namun bukankah lebih baik sebagai milenial yang cerdas kita melangkahkan kaki ke TPS untuk menentukan arah masa depan bangsa dan negara.Â
Golput bukanlah solusi yang bijak karena tentunya dengan memilih, suara kita tidak akan dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab hanya karena kita malas melangkahkan kaki ke TPS.