PENDAHULUAN
Perempuan dan komunikasi dalam arena politik adalah topik yang menarik untuk dibahas. Hal ini disebabkan oleh stigma umum bahwa perempuan tidak mampu berpolitik dan tidak hadir sepenuhnya dalam kancah politik. Menarik untuk mengeksplorasi bagaimana perempuan menavigasi dan menantang persepsi ini, berusaha untuk membuat suara mereka didengar dan kehadiran mereka terasa dalam lanskap politik. Hak perempuan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election)
Keterwakilan perempuan dalam arena politik, seperti parlemen dan DPR, mengalami pasang surut sejak tahun 1950. Keterwakilan terendah terjadi pada periode 1950-1995 dengan hanya 3,7% perempuan di DPR. Namun, pada periode 2009-2014, keterwakilan perempuan meningkat menjadi 17,86%.
Laporan perkembangan PBB pada tahun 1995 yang menganalisis gender dan pembangunan di 174 negara menyatakan bahwa meskipun tidak ada hubungan nyata antara tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kontribusi mereka terhadap kemajuan perempuan, 30% keanggotaan dalam lembaga-lembaga politik dianggap sebagai jumlah kritis yang dapat membantu perempuan untuk memberi pengaruh yang berarti dalam politik (Suryani 2010).
METODE
Artikel ini menggunakan metode penulisan melalui literature study atau studi pustaka dengan menganalisis secara teoritis mengenai perempuan dalam politik, komunikasi politik, dan komunikasi gender. Literature study dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan bacaan yang relevan dengan topik dan kasus yang akan dibahas. Bahan-bahan tersebut mencakup buku-buku, jurnal, dan bacaan lainnya yang berhubungan dengan tema artikel.
PEMBAHASAN
Bagian ini mendeskripsikan tentang perempuan dan politik, komunikasi politik, serta keterwakilan perempuan dalam arena politik. Selain itu, bagian ini juga menguraikan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan tema artikel.
Perempuan dan politik
Perempuan telah lama memperjuangkan hak-haknya. Sejarah representasi perempuan di parlemen Indonesia dimulai dengan Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928. Sejak saat itu, kesadaran perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam bidang politik, mulai tumbuh. Sejarah mencatat bahwa pada pemilu pertama tahun 1955, 6,5 persen anggota parlemen adalah perempuan. Pada tahun 1987, representasi perempuan di parlemen mencapai puncaknya dengan 13 persen, meskipun sebelumnya mengalami pasang surut (Sugiharto )
Politik dan keterwakilan perempuan masih menghadapi tantangan besar. Meskipun UU Nomor 2 tahun 2007 tentang Partai Politik menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan pembentukan partai politik,