Baru-baru ini terjadi kericuhan di media sosial gara-gara beredar publikasi wedding organizer yang mengkampanyekan pernikahan dini (pernikahan bocah perempuan lebih tepat). Situs wedding organizer tersebut mendorong perempuan untuk menikah pada usia 12-21 dan tidak lebih. Saya kurang tahu siapa pengola situs tersebut dan apa motivasinya.Â
Begitu banyak informasi sumir yang beredar di dunia maya. Oleh karenanya, saya nggak bakal membahas hal-hal terkait situs tersebut. Saya lebih tertarik dengan salah satu rasionalisasi pernikahan dini yang mereka ajukan. Perempuan jangan egois, kata mereka. Kalian harus meringankan beban orang tua dengan cepat-cepat menikah. Merespon serangan netijen, mereka bahkan menyatakan lebih baik menikah daripada kelaparan! Ouch.
Saya jadi ingat sebuah akun Instagram yang juga mengkampanyekan pernikahan muda dengan jargon-jargon serupa. Ayo (para perempuan) nikah, biar ada yang nyariin makan. Ayo (para lelaki) nikah biar ada yang bikinin kopi.
Hadeh, ribet amat yak, mau minum kopi aja pakai kudu nikah dulu. Tapi, harus diakui inilah mindset sebagian besar masyarakat kita: menikah adalah solusi.
Kesepian dan depresi? Nikah aja. Nanti pasti happy.
Agar nggak berzina? Nikah aja. Beres.
Nggak punya uang? Nikah aja biar ada yang kasih nafkah.
Birahi nggak tersalurkan? Nikah aja biar bisa ena-ena tiap saat.
Nggak mandiri? Nikah aja, nanti pasti bisa mandiri.
Suka kelayapan tanpa juntrung? Nikah aja, pasti nanti jadi kucing manis di rumah.
Sering gonta-ganti pasangan? Nikah aja biar matanya nggak ke mana-mana lagi.
Saking mendalamnya mindset bahwa nikah ini solusi mengatasi 'masalah tanpa masalah', pernah di kampung saya ada ide untuk menikahkan warga penderita schizophrenia kronis (yang tidak terawat baik) dengan penyandang retardasi mental.
***
Tidak perlu jauh-jauh atau membaca penelitian ilmiah untuk menegasi pandangan semacam itu. Di grup FB curhat perempuan yang saya ikuti, nyaris tiap hari ada cerita sedih perempuan yang justru lebih sengsara setelah menikah; mulai dari yang 'sepele' seperti ipar yang menjengkelkan sampai yang berat seperti suami yang hobi banting-banting barang kalau ngamuk (yang dibanting rice-cooker sampai hape). Masalah berat lain menyangkut baby blues (yang menyebabkan seorang ibu ingin membunuh bayinya) sampai masalah ekonomi yang disebabkan oleh banyak faktor (kebutuhan anak, pekerjaan belum mapan, atau pengelolaan keuangan yang nggak beres).
Di sekitar Anda sendiri pun saya yakin banyak contoh yang menunjukkan pernikahan adalah permulaan masalah alih-alih penyelesaian. Sebut saja teman saya yang bernama Melly (bukan nama sebenarnya). Sebelum menikah Melly adalah kembang desa dengan wajah menarik, kaki jenjang, kulit menawan. Ia punya pekerjaan bagus dengan gaya hidup menyenangkan. Dia suka tertawa dan hang out ke sana ke mari dengan teman laki-laki maupun perempuan. Â
Lalu dia menikah dan bum! Bertandang ke rumah saya pun ia nggak leluasa. Kami hanya bisa berbincang beberapa menit, itu pun dikawal (saya lupa siapa yang mengawal, tapi si pengawal ini bertindak sebagai semacam pengawas). Tak lama kemudian dia mesti pindah ikut suaminya jauh dari kampung halaman dan bekerja di perusahaan keluarga. Sampai di sini masih bisa dipahami, tetapi tak lama kemudian ia bercerai. Ia cerita selama bekerja dia beberapa kali dilecehkan secara seksual oleh ayah mertuanya, sementara sang suami tidak membela. Â
Banyak kalau mau menyebutkan contoh. Pernikahan yang digadang-gadang akan membahagiakan dan memperbaiki taraf hidup seseorang (jasmani dan rohani) sering kali justru menghancurkan. Apakah pernikahan menghindarkan perzinahan? Banyak orang yang tetap berzina setelah menikah.
 Apakah pernikahan membuat perempuan terpenuhi kebutuhannya? He he, beberapa waktu lalu, viral screenshot suami yang ngeluh mengapa istrinya tiap hari cuma masak tempe tahu padahal udah dikasih uang belanja Rp200.000... per BULAN. Ealah, udah mending dimasakin, nggak dilempar keluar jendela. Saya yakin suami semacam itu nggak cuma satu di dunia nyata.
Pihak laki-laki pun sama. Mereka rentan merasakan kekecewaan saat mendapati pernikahan ternyata tidak memenuhi ekspektasi mereka. Alih-alih mendapat dukungan dari istri, mereka justru sering mendapat rongrongan. Alih-alih pulang kerja langsung istirahat, mereka malah menghadapi rumah berantakan dan anak-anak yang menuntut perhatian. Harapan dan peran sosial yang kelewat tinggi (laki-laki harus pintar cari nafkah, berani, nggak boleh cengeng, nggak boleh kalah dari istri, dll) juga kerap membuat laki-laki frustrasi.
***
"Pakailah masker Anda terlebih dahulu, sebelum Anda menolong orang lain."
Bila pernah naik pesawat, Anda tentu nggak asing dengan instruksi ini. Perintah ini memastikan  Anda selamat terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain. Egois? Sama sekali nggak. Justru logis. Gimana mau nolong orang lain kalau Anda sendiri sedang terluka atau kesakitan? Implikasinya adalah cintai diri sendiri dulu sebelum mencintai orang lain. Anda hanya bisa memberi saat Anda sudah memiliki sesuatu untuk dibagi.
Sama dengan memulai perjalanan, memulai hubungan juga butuh bekal agar paling tidak kebutuhan kita terpenuhi. Syukur-syukur berlebih hingga kita bisa berbagi. Setelah lahir, bayi butuh menjalin hubungan yang erat dengan ayah ibunya sebelum bisa menjalin hubungan dengan teman sebaya. Setelah bisa berteman, mereka bisa jadi melangkah ke hubungan yang lebih kompleks dan butuh komitmen; hubungan profesional, hubungan bisnis, atau hubungan percintaan. Pernikahan --hubungan yang sangat intim dan menyangkut banyak segi--- tentu butuh bekal yang serius.
Menurut saya, pernikahan adalah untuk mereka yang sudah punya bekal berlebih dan bisa dibagi. Intinya mereka sudah 'selesai' dengan dirinya. Nggak harus 'selesai' semuanya, tapi untuk hal-hal besar dan pokok seenggaknya sudah kelar. Sudah selesai artinya sudah nggak lagi mencari-cari sampai mengorek-ngorek entah itu perhatian, pengakuan, bahkan cinta dari orang lain.
 Orang-orang seperti ini sudah siap mengalah, siap berkorban, bahkan siap kehilangan, namun nggak bakal merendahkan diri --sampai bersikap kayak budak---hanya agar pasangan tetap bertahan. Pun, andai pasangan selingkuh atau melakukan kekerasan, mereka juga nggak bakal menyiksa diri dan memaksakan hubungan nggak sehat. Intinya, alih-alih mengharap solusi dari orang lain, mereka siap memberi solusi.
Jadi gimana kalau lapar? Ya kerja cari makan. Bukan nikah. Yang nikah dan kelaparan juga banyak.
Kalau nggak bisa cari nafkah? Ya belajar. Menikah tidak serta merta membuat kebutuhan material kita terpenuhi. Ada yang justru makin melarat setelah menikah.
Kalau kesepian? Belajar mengatasi kesepian itu.
Kalau depresi? Silakan hubungi psikolog atau psikiater.
Kalau pengin ada yang bikini kopi? Oi, kedai kopi banyak. Anda tinggal bayar dan nggak perlu berurusan dengan popok kotor, ipar resek, atau pasangan yang nggak bisa naruh kaus kaki pada tempatnya.
Biarlah  jargon 'mereka menikah dan hidup hahagia selamanya' menjadi bagian dongeng semata. Mari bersikap rasional, realistis, dan tak perlu menganggap pernikahan adalah prestasi atau solusi yang jadi prioritas hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H