Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Bukan Solusi

19 Februari 2021   08:27 Diperbarui: 19 Februari 2021   08:52 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sama dengan memulai perjalanan, memulai hubungan juga butuh bekal agar paling tidak kebutuhan kita terpenuhi. Syukur-syukur berlebih hingga kita bisa berbagi. Setelah lahir, bayi butuh menjalin hubungan yang erat dengan ayah ibunya sebelum bisa menjalin hubungan dengan teman sebaya. Setelah bisa berteman, mereka bisa jadi melangkah ke hubungan yang lebih kompleks dan butuh komitmen; hubungan profesional, hubungan bisnis, atau hubungan percintaan. Pernikahan --hubungan yang sangat intim dan menyangkut banyak segi--- tentu butuh bekal yang serius.

Menurut saya, pernikahan adalah untuk mereka yang sudah punya bekal berlebih dan bisa dibagi. Intinya mereka sudah 'selesai' dengan dirinya. Nggak harus 'selesai' semuanya, tapi untuk hal-hal besar dan pokok seenggaknya sudah kelar. Sudah selesai artinya sudah nggak lagi mencari-cari sampai mengorek-ngorek entah itu perhatian, pengakuan, bahkan cinta dari orang lain.

 Orang-orang seperti ini sudah siap mengalah, siap berkorban, bahkan siap kehilangan, namun nggak bakal merendahkan diri --sampai bersikap kayak budak---hanya agar pasangan tetap bertahan. Pun, andai pasangan selingkuh atau melakukan kekerasan, mereka juga nggak bakal menyiksa diri dan memaksakan hubungan nggak sehat. Intinya, alih-alih mengharap solusi dari orang lain, mereka siap memberi solusi.

Jadi gimana kalau lapar? Ya kerja cari makan. Bukan nikah. Yang nikah dan kelaparan juga banyak.

Kalau nggak bisa cari nafkah? Ya belajar. Menikah tidak serta merta membuat kebutuhan material kita terpenuhi. Ada yang justru makin melarat setelah menikah.

Kalau kesepian? Belajar mengatasi kesepian itu.

Kalau depresi? Silakan hubungi psikolog atau psikiater.

Kalau pengin ada yang bikini kopi? Oi, kedai kopi banyak. Anda tinggal bayar dan nggak perlu berurusan dengan popok kotor, ipar resek, atau pasangan yang nggak bisa naruh kaus kaki pada tempatnya.

Biarlah  jargon 'mereka menikah dan hidup hahagia selamanya' menjadi bagian dongeng semata. Mari bersikap rasional, realistis, dan tak perlu menganggap pernikahan adalah prestasi atau solusi yang jadi prioritas hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun