Saking mendalamnya mindset bahwa nikah ini solusi mengatasi 'masalah tanpa masalah', pernah di kampung saya ada ide untuk menikahkan warga penderita schizophrenia kronis (yang tidak terawat baik) dengan penyandang retardasi mental.
***
Tidak perlu jauh-jauh atau membaca penelitian ilmiah untuk menegasi pandangan semacam itu. Di grup FB curhat perempuan yang saya ikuti, nyaris tiap hari ada cerita sedih perempuan yang justru lebih sengsara setelah menikah; mulai dari yang 'sepele' seperti ipar yang menjengkelkan sampai yang berat seperti suami yang hobi banting-banting barang kalau ngamuk (yang dibanting rice-cooker sampai hape). Masalah berat lain menyangkut baby blues (yang menyebabkan seorang ibu ingin membunuh bayinya) sampai masalah ekonomi yang disebabkan oleh banyak faktor (kebutuhan anak, pekerjaan belum mapan, atau pengelolaan keuangan yang nggak beres).
Di sekitar Anda sendiri pun saya yakin banyak contoh yang menunjukkan pernikahan adalah permulaan masalah alih-alih penyelesaian. Sebut saja teman saya yang bernama Melly (bukan nama sebenarnya). Sebelum menikah Melly adalah kembang desa dengan wajah menarik, kaki jenjang, kulit menawan. Ia punya pekerjaan bagus dengan gaya hidup menyenangkan. Dia suka tertawa dan hang out ke sana ke mari dengan teman laki-laki maupun perempuan. Â
Lalu dia menikah dan bum! Bertandang ke rumah saya pun ia nggak leluasa. Kami hanya bisa berbincang beberapa menit, itu pun dikawal (saya lupa siapa yang mengawal, tapi si pengawal ini bertindak sebagai semacam pengawas). Tak lama kemudian dia mesti pindah ikut suaminya jauh dari kampung halaman dan bekerja di perusahaan keluarga. Sampai di sini masih bisa dipahami, tetapi tak lama kemudian ia bercerai. Ia cerita selama bekerja dia beberapa kali dilecehkan secara seksual oleh ayah mertuanya, sementara sang suami tidak membela. Â
Banyak kalau mau menyebutkan contoh. Pernikahan yang digadang-gadang akan membahagiakan dan memperbaiki taraf hidup seseorang (jasmani dan rohani) sering kali justru menghancurkan. Apakah pernikahan menghindarkan perzinahan? Banyak orang yang tetap berzina setelah menikah.
 Apakah pernikahan membuat perempuan terpenuhi kebutuhannya? He he, beberapa waktu lalu, viral screenshot suami yang ngeluh mengapa istrinya tiap hari cuma masak tempe tahu padahal udah dikasih uang belanja Rp200.000... per BULAN. Ealah, udah mending dimasakin, nggak dilempar keluar jendela. Saya yakin suami semacam itu nggak cuma satu di dunia nyata.
Pihak laki-laki pun sama. Mereka rentan merasakan kekecewaan saat mendapati pernikahan ternyata tidak memenuhi ekspektasi mereka. Alih-alih mendapat dukungan dari istri, mereka justru sering mendapat rongrongan. Alih-alih pulang kerja langsung istirahat, mereka malah menghadapi rumah berantakan dan anak-anak yang menuntut perhatian. Harapan dan peran sosial yang kelewat tinggi (laki-laki harus pintar cari nafkah, berani, nggak boleh cengeng, nggak boleh kalah dari istri, dll) juga kerap membuat laki-laki frustrasi.
***
"Pakailah masker Anda terlebih dahulu, sebelum Anda menolong orang lain."
Bila pernah naik pesawat, Anda tentu nggak asing dengan instruksi ini. Perintah ini memastikan  Anda selamat terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain. Egois? Sama sekali nggak. Justru logis. Gimana mau nolong orang lain kalau Anda sendiri sedang terluka atau kesakitan? Implikasinya adalah cintai diri sendiri dulu sebelum mencintai orang lain. Anda hanya bisa memberi saat Anda sudah memiliki sesuatu untuk dibagi.