Awalnya anggota grup WhatsApp itu membicarakan cerita enteng-entengen. Lalu ada yang nyeletuk, "Wah, mirip seperti yang dikatakan ahli sosial X di bukunya yang berjudul Y."
Anggota lain menimpali, "Ada yang punya PDF-nya?"
"Jangan dong," timpal yang lain, "Haram baca buku bajakan."
Orang yang minta salinan PDF itu kekeuh, "Buku gratis adalah hak segala bangsa."
Gundulmu, batin saya. Saya --yang memang hidup dari menulis---hanya mencoba mengingatkan secara halus, "Penulisnya juga manusia loh, masih butuh makan nasi dan teman-temannya. Belum bisa ngambil energi dari udara aja." Komentar itu nggak membuat perbedaan (udah saya duga, sih). Tak berapa lama, si pemburu-buku-gratisan itu mengirimkan file PDF berisi buku yang tadi dibicarakan. Rupanya ia barusan ngubek-ngubek Internet dan yup, berhubung itu buku populer, mudah banget cari versi PDF-nya.
Pembicaraan ini terjadi di grup sebuah alumni yang anggotanya rata-rata sarjana dan menempati jabatan tinggi dalam pekerjaan mereka. Ironis sekali rasanya mengingat harga buku yang mereka bicarakan itu sekitar Rp100.000, lebih murah daripada uang mereka keluarkan sekali duduk di Starbucks. Dengan harga segitu, kopi yang mereka teguk setengah jam bakal jadi air kencing, sementara buku yang mereka beli dan baca (misalnya beneren dibeli dan dibaca) bakal jadi pengetahuan sepanjang hidup.
***
Mencuri itu dosa. Andai pun nggak takut masuk penjara, kebanyakan orang menahan diri dari tindak pencurian karena takut DOSA.
Korupsi itu dosa. Nyaris semua mengerti mengapa korupsi itu dosa. Demikian pula dengan menyelinap naik bus tanpa bayar, berzina, atau mengkonsumsi narkoba. Gampang dimengerti mengapa tindakan-tindakan itu termasuk dosa. Tetapi mengapa membaca buku bajakan itu dosa sangat sulit dipahami tampaknya.
Pertama banyak orang nggak mengerti mengapa kita perlu membayar untuk membaca. Apalagi di era medsos saat ini, kita bisa membaca segala macam tulisan di dunia maya dengan gratis. Cerpen, novel, cerpen, puisi, hingga artikel bisa dibaca tanpa keluar duit. Masa mau baca aja kudu bayar? Itu jadi mindset paten.
Kedua banyak yang nggak ngerti apa ruginya bagi penulis untuk memberikan tulisannya dengan cuma-cuma. "Kan nggak rugi. Kamu kan cuma ngetik. Nggak keluar modal. Nggak keluar tenaga."
(Sungguh kuingin berkata kasar).
Ketiga, dengan alasan 'berbagi itu baik' mereka menganggap seharusnya para penulis membagikan 'ilmu'nya dengan gratis sebagai tabungan amal jariyah. Menyebarkan 'PDF' karya penulis juga dianggap berbagi kebaikan yang mendatangkan pahala bertingkat, mungkin kayak skema MLM.
"Harusnya kamu seneng dan berterima kasih karena aku nyebarin PDF novelmu. Biar tulisanmu makin banyak yang baca dan jadi amalmu. Kamu juga makin terkenal."
Wudelmu ambles!
Jadi paham kan kenapa pernah beredar cerita di medsos bahwa di Jogja ada cerita pengusaha alim dan rajin banget salat di masjid tetapi kaya raya dari bisnis buku bajakan? Â (Maaf, udah say acari link-nya tapi nggak nemu).
***
Ketahuilah, nulis yang kelihatannya cuma duduk itu sebenarnya butuh keterampilan khusus yang kudu dipelajari bertahun-tahun. Tidak semua orang bisa melakukannya.
Ini sama seperti kalau kita ke dokter dan 'cuma' diperiksa semenit lalu kudu bayar Rp100.000. Apakah Anda berani bilang, "Kan cuma ngelihat kutil gitu doang, masa Anda minta bayaran, sih, Dok?"
Lain kali, liat aja sendiri tuh kutil, nggak usah ke dokter.
Saat periksa ke dokter, kita membayar upaya belajarnya yang susah payah dan keahlian yang ia dapatkan dengan kerja keras.
 Nah, menulis, selain butuh keahlian khusus, juga menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Coba Anda menyalin satu halaman. Menyalin aja alias mengetik thok. Berapa menit yang Anda butuhkan untuk mengetik sepanjang satu halaman? Menurut riset, kecepatan mengetik rata-rata adalah 38 kata/menit. Atau sekitar sepuluh menit satu halaman. Itu cuma ngetik aja. Artinya untuk mengetik lima halaman artikel butuh waktu hampir satu jam. Ingat, itu cuma ngetik thok. Nggak pakai mikir, nggak pakai milih kata, nggak pakai nyari data.
Ceritanya lain bila sang penulis harus mencari data, wawancara, buka referensi, sampai memeriksa ejaan baku di kamus. Belum lagi proses menyuntingnya. Saya pernah menghabiskan waktu nyaris seminggu hanya demi menulis paragraf pendek sepanjang lima kalimat untuk caption poster sejarah.
Bagaimana dengan novel sepanjang seratus halaman? Bisa satu dekade sendiri. Prosesnya begitu panjang, melelahkan dan jelas nggak cuma 'duduk aja'. Artinya wahai manusia, menulis itu adalah PEKERJAAN bagi orang-orang yang memang memilih jalan ini.
Kayak pekerja lain, para penulis juga bekerja seharian dari pagi sampai sore atau dari malam sampai pagi. Kadang lembur-lembur juga. Intinya mereka juga mikir, juga capek, dan juga laper pas jam makan siang.
Kejutan lain, mereka juga makan nasi dan waktu beli nasi tetap harus BAYAR. Bayarnya pakai apa? Pakai uang yang mereka hasilkan dari buku atau tulisan yang mereka hasilkan. Kalau bukunya discan atau diketik ulang lalau disebarkan gratis lewat grup WA atau Telegram, para penulisnya dapat cuan dari mana coba?
***
Ah, nyatanya penulisnya masih bisa makan. Ah, kan buku aslinya masih ada yang terjual. Ah, kan penulis juga bisa dapat uang dengan cara lain (dari jualan cilok mungkin?). Ah, itu nyatanya penulis X kaya raya. Ah, kan nggak papa kalau buat belajar.
Ada banyak pembenaran buat membeli/ menyebarkan membaca buku bajakan. Termasuk menyalahkan mahalnya harga buku. Tapi apa jadinya kalau pembajakan dibiarkan atau malah dipuja-puja? Penulis paling berdedikasi pun pasti akan goyah juga. Simply karena mereka butuh makan. Mereka akan mencari profesi lain yang lebih menjanjikan dan anti dibajak (jualan cilok mungkin?). Faktanya, bahkan tanpa dibajak pun, kebanyakan para penulis Indonesia nggak bisa mengandalkan pendapatan dari menulis. Pendapatan mereka rata-rata di bawah UMR. So pasti kebanyakan mereka memang nyambi-nyambi; ya nyambi ngajar, kerja kantoran, atau jualan cilok.
Akibatnya makin sedikit waktu yang bisa mereka alokasikan buat menulis. Buat riset? Mungkin makin dikit lagi. Tetap ada sih penulis edan berjiwa militan dan masokis yang tetap menulis di bawah siksaan, tapi berapa gelintir?
Akibat lebih jauh? Buku makin berkurang secara jumlah maupun mutu. Bagaimana kalau para penulis sudah menyerah sama sekali? Buku (apalagi yang bermutu) akan lenyap. Remaja --walau suka menulis---nggak akan tertarik untuk menjalaninya sebagai profesi yang serius.
Merembetnya bisa lebih jauh, penerbit gulung tikar, toko buku bangkrut, penerjemah kehilangan pekerjaan, fakultas sastra sepi peminat. Ucapkan selamat tinggal pada intelektualitas bangsa.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah bencana itu? Stop mengunduh, membeli, meminta, atau menyebarkan buku bajakan, baik yang fisik maupun digital. Ada banyak cara legal dan murah untuk membaca buku: beli pas diskon, beli buku bekas, beli versi digital, pinjam di perpustakaan, atau pinjam teman. Satu lagi: jangan minta buku gratisan dari penulisnya! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H