Ceritanya lain bila sang penulis harus mencari data, wawancara, buka referensi, sampai memeriksa ejaan baku di kamus. Belum lagi proses menyuntingnya. Saya pernah menghabiskan waktu nyaris seminggu hanya demi menulis paragraf pendek sepanjang lima kalimat untuk caption poster sejarah.
Bagaimana dengan novel sepanjang seratus halaman? Bisa satu dekade sendiri. Prosesnya begitu panjang, melelahkan dan jelas nggak cuma 'duduk aja'. Artinya wahai manusia, menulis itu adalah PEKERJAAN bagi orang-orang yang memang memilih jalan ini.
Kayak pekerja lain, para penulis juga bekerja seharian dari pagi sampai sore atau dari malam sampai pagi. Kadang lembur-lembur juga. Intinya mereka juga mikir, juga capek, dan juga laper pas jam makan siang.
Kejutan lain, mereka juga makan nasi dan waktu beli nasi tetap harus BAYAR. Bayarnya pakai apa? Pakai uang yang mereka hasilkan dari buku atau tulisan yang mereka hasilkan. Kalau bukunya discan atau diketik ulang lalau disebarkan gratis lewat grup WA atau Telegram, para penulisnya dapat cuan dari mana coba?
***
Ah, nyatanya penulisnya masih bisa makan. Ah, kan buku aslinya masih ada yang terjual. Ah, kan penulis juga bisa dapat uang dengan cara lain (dari jualan cilok mungkin?). Ah, itu nyatanya penulis X kaya raya. Ah, kan nggak papa kalau buat belajar.
Ada banyak pembenaran buat membeli/ menyebarkan membaca buku bajakan. Termasuk menyalahkan mahalnya harga buku. Tapi apa jadinya kalau pembajakan dibiarkan atau malah dipuja-puja? Penulis paling berdedikasi pun pasti akan goyah juga. Simply karena mereka butuh makan. Mereka akan mencari profesi lain yang lebih menjanjikan dan anti dibajak (jualan cilok mungkin?). Faktanya, bahkan tanpa dibajak pun, kebanyakan para penulis Indonesia nggak bisa mengandalkan pendapatan dari menulis. Pendapatan mereka rata-rata di bawah UMR. So pasti kebanyakan mereka memang nyambi-nyambi; ya nyambi ngajar, kerja kantoran, atau jualan cilok.
Akibatnya makin sedikit waktu yang bisa mereka alokasikan buat menulis. Buat riset? Mungkin makin dikit lagi. Tetap ada sih penulis edan berjiwa militan dan masokis yang tetap menulis di bawah siksaan, tapi berapa gelintir?
Akibat lebih jauh? Buku makin berkurang secara jumlah maupun mutu. Bagaimana kalau para penulis sudah menyerah sama sekali? Buku (apalagi yang bermutu) akan lenyap. Remaja --walau suka menulis---nggak akan tertarik untuk menjalaninya sebagai profesi yang serius.
Merembetnya bisa lebih jauh, penerbit gulung tikar, toko buku bangkrut, penerjemah kehilangan pekerjaan, fakultas sastra sepi peminat. Ucapkan selamat tinggal pada intelektualitas bangsa.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah bencana itu? Stop mengunduh, membeli, meminta, atau menyebarkan buku bajakan, baik yang fisik maupun digital. Ada banyak cara legal dan murah untuk membaca buku: beli pas diskon, beli buku bekas, beli versi digital, pinjam di perpustakaan, atau pinjam teman. Satu lagi: jangan minta buku gratisan dari penulisnya! Â