(Sungguh kuingin berkata kasar).
Ketiga, dengan alasan 'berbagi itu baik' mereka menganggap seharusnya para penulis membagikan 'ilmu'nya dengan gratis sebagai tabungan amal jariyah. Menyebarkan 'PDF' karya penulis juga dianggap berbagi kebaikan yang mendatangkan pahala bertingkat, mungkin kayak skema MLM.
"Harusnya kamu seneng dan berterima kasih karena aku nyebarin PDF novelmu. Biar tulisanmu makin banyak yang baca dan jadi amalmu. Kamu juga makin terkenal."
Wudelmu ambles!
Jadi paham kan kenapa pernah beredar cerita di medsos bahwa di Jogja ada cerita pengusaha alim dan rajin banget salat di masjid tetapi kaya raya dari bisnis buku bajakan? Â (Maaf, udah say acari link-nya tapi nggak nemu).
***
Ketahuilah, nulis yang kelihatannya cuma duduk itu sebenarnya butuh keterampilan khusus yang kudu dipelajari bertahun-tahun. Tidak semua orang bisa melakukannya.
Ini sama seperti kalau kita ke dokter dan 'cuma' diperiksa semenit lalu kudu bayar Rp100.000. Apakah Anda berani bilang, "Kan cuma ngelihat kutil gitu doang, masa Anda minta bayaran, sih, Dok?"
Lain kali, liat aja sendiri tuh kutil, nggak usah ke dokter.
Saat periksa ke dokter, kita membayar upaya belajarnya yang susah payah dan keahlian yang ia dapatkan dengan kerja keras.
 Nah, menulis, selain butuh keahlian khusus, juga menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Coba Anda menyalin satu halaman. Menyalin aja alias mengetik thok. Berapa menit yang Anda butuhkan untuk mengetik sepanjang satu halaman? Menurut riset, kecepatan mengetik rata-rata adalah 38 kata/menit. Atau sekitar sepuluh menit satu halaman. Itu cuma ngetik aja. Artinya untuk mengetik lima halaman artikel butuh waktu hampir satu jam. Ingat, itu cuma ngetik thok. Nggak pakai mikir, nggak pakai milih kata, nggak pakai nyari data.