Suatu sore tanpa sebab yang jelas Ung (5 tahun, anak kedua saya) menangis. Air mata beningnya berurai di pipi. Seperti biasa, saya memeluknya. Â Saya tenangkan ia dengan belaian dan pelan-pelan saya pancing ia untuk bercerita. Nggak ada cerita keluar. Paling bertengkar dengan kakanya, pikir saya. Sejenak tenang, Ung menangis deras kembali. "Kamu sakit?" tanya saya cemas.
"Nggak. Aku cuma iri Ang punya album bayi, aku nggak!"
Deg. Seketika saya dipenuhi rasa bersalah. Saya tahu sebelumnya mereka berdua melihat-lihat rak buku. Ung menarik satu buku tebal yang isinya tulisan tangan dan foto-foto. Foto-foto kakaknya. Itulah album bayi Ang (si sulung, 9 tahun) yang berisi jurnal bayinya. Apa yang ia makan pertama kali, kapan ia berjalan pertama kali dan mainan favoritnya waktu bayi. Ung nggak punya album semacam itu.
Beberapa waktu sebelumnya, ia meminta saya untuk mencetak foto-fotonya. Ini juga karena kami mencetak sebagian foto-foto kakaknya, sementara foto Ung --meski banyak tersimpan dalam bentuk file---blas belum ada yang kami cetak. Saya mengiyakan tapi lupa-lupa melulu. Tambah tebal rasa bersalah saya.
Esoknya segera saya mengorder album bayi lewat olshop, mengkompilasi beberapa foto Ung dari bayi sampai yang terbaru, lalu membawanya ke layanan cetak foto.
***
Saya bukan orang gemar mengumpulkan memorabilia. Juga bukan tipe crafty yang hobi menekuni pernak-pernak. Ada kan orang yang bisa membuat jurnal bayi dengan sangat cantik, menghiasnya dengan potongan perca selimut si bayi plus melengkapinya dengan cap tangan si kecil. Nah, saya nggak sempat mengurusi hal-hal semacam itu  (karena emang nggak tertarik).
Meski saya dulu menulis buku harian, kebiasaan itu lenyap saat saya kuliah. Pas saya melahirkan Ang sembilan tahun lalu, ada yang memberi kado album bayi tersebut. Daripada nggak kepakai, saya tulis lah apa yang saya ingat tentang si sulung itu. Kalau nggak ada kado itu, jelas Ang nggak bakal punya album bayi.
Tapi album bayi yang nggak sengaja dimiliki Ang itu ternyata menimbulkan masalah pada adiknya. Ung mengungkapkan emosinya dengan tepat: iri.
Tulisan berikut ini murni kisah saya yang sangat mungkin berbeda dari keluarga lain.
***
"Waktu hamil pertama kali, suamiku selalu menemaniku kalau aku check-up," cerita seorang teman, "Pas hamil anak kedua, kadang-kadang aja suami ikut. Nah hamil anak ketiga... blas. Aku selalu berangkat sendirian ke dokter kandungan!"
Haduh, jangan sampai deh aku begitu, batin saya. Anak pertama dan selanjutnya harus dapat perhatian yang sama, tekad saya.
Haha, pembaca yang punya lebih dari satu pasti mulai menertawakan kehaluan saya. Faktanya, anak pertama memang (BIASANYA) mendapatkan segala-gala yang lebih lebih istimewa.
Saya ingat waktu hamil anak pertama saya mengasup gizi 'kelas satu'. Ikan salmon, yang pada hari-hari biasa nggak terjangkau, sengaja dibeli khusus buat si bumil. Lalu buah kiwi, yang konon katanya bagus, juga kami beli walau sekilo kiwi bisa buat membeli lima kilo pepaya. Waktu mau melahirkan, sesuai dengan artikel yang pernah saya baca, membawa bekal kurma mahal yang konon bagus untuk menambah energi. Anak pertama lahir di rumah sakit besar, ditolong oleh dokter kandungan, berapa perawat, berapa bidan, dan mungkin beberapa residen. Pokoknya saya ingat, saya dikelilingi banyak staff berseragam. Sewaktu bayi si kakak ini mendapat imunisasi di klinik swasta dengan vaksin mahal yang katanya nggak menyebabkan demam. Beberapa kali ia kami bawa ke klinik ibu dan anak untuk mendapat pijat bayi.
Hamil anak kedua? Hehe, cukuplah makan ikan lele. Nggak ada menu-menu khusus. Saya makan seperti biasa, seperti waktu nggak hamil. Si adik lahir di bidan kampung, dekat rumah. Ayahnya baru balik buat ambil perlengkapan bayi, eh dia udah brojol. Â Imunisasi? Cukup di puskesmas. Bayar 25.000 kelar. Kalau dulu mpasi si kakak terjadwal dengan daging, ikan, dan sayur-sayur yang dilumatkan pakai blender khusus, makanan di adik cukup dicacah-cacah aja di atas talenan.
Baju? Sebelum melahirkan anak kedua, saya membeli dua pasang baju bayi dan dual embar handuk. Itu aja. Buat menggenapi 'syarat' punya anak. Bajunya yang lain? Nglungsur kakak dan sepupu-sepupunya lah. Â Beberapa baju itu bahkan pernah digilir oleh dua atau tiga bayi. Nggak ada deterjen khusus baju bayi, segala macam minyak telon dan pelembap, selimut, Kasur, dan bantal bayi seperti yang saya beli waktu hamil si sulung.
Pijat? Si anak nomor dua dipijat penuh kasih sayang ibunya sendiri lah. Foto? Kalau anak pertama difoto tiap lima menit sekali, anak kedua... woi mana kameranya? Itu pun kalau ingat.
Sekilas, anak kedua ini memang nggak seistimewa anak pertama. Tapi apakah benar demikian? Yang pertama, dari segi waktu,a jelas, begitu lahir anak kedua sudah harus berbagi waktu dan perhatian dengan sang kakak. Ini tentu berbeda dari anak pertama yang untu sementara jadi 'anak tunggal'. Apalagi misalnya ia adalah cucu pertama. Walhasil deh, ia bakal jadi bintang di keluarga besar. Dari segi ekonomi, bila tidak ada perkembangan berarti dalam keluarga, maka dapat dipastikan anak pertama akan mendapat baju, mainan, hingga spa bayi yang lebih mahal, sementara si adik harus pasrah dapat lungsuran, dan nggak pernah menikmati 'bubur bayi organik'.
Tapi itu bukan karena kasih sayang yang kurang. Anak kedua saya rindukan sama besarnya dengan anak pertama. Kehadirannya memberi sukacita bahkan lebih besar lagi. Kenapa? Karena kali ini yang menunggu tidak hanya ayah dan ibu, namun juga kakaknya.
Segi-segi yang kelihatannya pilih kasih sebenarnya terjadi karena kondisi alamiah dan pengalaman orang tua yang tak hanya menjadikan mereka lebih praktis, tapi juga lebih bijaksana. Sama sekali bukan karena anak kedua dianggap kurang istimewa.
***
Saya lebih tenang dan santai waktu hamil anak kedua. Saya mulai mengerti bahwa ikan gabus sama bergizinya dengan ikan salmon. Saya tak lagi punya privilege untuk berleha-leha dan tidur pada jam sepuluh pagi --seperti yang terjadi pada kehamilan pertama---karena sudah ada anak yang mesti saya urusi, tetapi saya terbebas dari kecemasan yang nggak perlu. Kalau pas hamil pertama saya takut minum teh, saat hamil anak kedua saya santai aja minum teh asal diberi jarak dari makan sayur. Saya juga berani makan durian selama nggak berlebihan. Saya berani pergi kemping bahkan bepergian keluar kota.
Sewaktu si anak kedua mulai makan makanan keras, saya hanya memanfaatkan bahan dan alat yang ada. Kenapa harus memblender labu bila bisa melumatkannya dengan sendok? Mainan? Saya tahu bayi lebih suka bermain dengan selendang, kardus, dan batu daripada mainan keluaran pabrik.
Baju? Ung bersorak girang saat saya bilang ia bisa memakai baju bekas kakaknya, "Horeee, berarti aku sudah besar." Nah! Kadang saya kasihan melihat Ung banyak memakai baju bekas, tapi anaknya sendiri santai. Baju lama tak menimbulkan kesedihan berarti (bahkan kadang malah senang itu tadi), sementara baju baru ia anggap biasa-biasa saja. Baginya baju adalah baju. Itu saja.
Untuk urusan pijat? Saya sudah terampil memijat bayi dari beberapa kali melihat bidan memijat si sulung. Di sisi lain saya kapok bawa bayi pijat ke layanan pijat bayi. Pernah si kakak saya bawa ke klinik buat pijat. Di sana ada bayi lain batuk pilek yang sedang dipijat. Ang giliran berikutnya. Pulang-pulang, nggak heran dia juga kena batuk pilek.
***
Saya sendiri anak kedua. Saya dengar kakak saya yang selama lima tahun jadi anak tunggal relatif kepama (serba enak) di waktu kecil. Namun, saya nggak pernah merasa tersisih. Anak kedua mungkin memang tidak mendapat privilege sebesar anak pertama, namun ia memiliki satu hal yang nggak dipunyai si sulung, yaitu punya kakak semenjak lahir. Anak kedua otomatis punya teman main yang bisa meladeni hasrat kanak-kanaknya (walau seringkali ribut juga). Selain itu ia juga punya orang tua yang (biasanya) lebih berpengalaman. Itu diakui oleh ibu saya. Ia bercerita bahwa ia melakukan banyak 'kesalahan' pengasuhan dengan kakak saya. Bukan kesalahan murni, tapi memang karena belum berpengalaman.
Itu juga terjadi pada anak saya. Saya misalnya mendorong si sulung bersosialisasi dengan sebayanya saat ia masih balita. Saya sewot sendiri saat ia menolak mentah-mentah dan memilih menggelendot ibunya. Saya juga kesal saat lagi-lagi ia menolak nyemplung kolam renang tanpa ibunya. Clingy banget pokoknya. Semua masalah ini selesai dengan sendirinya saat ia berusia tujuh tahun. Setelah tujuh tahun, nggak hanya dia menikmati main sama teman-temannya, ia bahkan berani menginap di rumah om tanpa disertai ayah ibunya. Belajar dari pengalaman itu, saya menikmati saat si adik nempel pada saya. Saya maklum ketika ia belum mau les renang di usia empat tahun. Saya nggak banyak resah. Nggak banyak memaksa-maksa. Ini menghemat emosi nggak perlu di kedua belah pihak. Â
Benar, saya tetap berusaha berlaku adil sebisa-bisanya, seperti dalam kasus album bayi tadi. Ulang tahun kedua anak selalu kami rayakan walau dengan sederhana. Bergantian saya memasak favorit masing-masing anak. Seringkali saya membeli mainan atau makanan dua buah (tidak selalu karena saya menekankan pentingnya berbagi). Sebisa-bisanya saya perlakukan mereka dengan adil. Nggak selalu berhasil, sih. Kadang seperti cerita di atas, ada pengakuan si adik iri pada kakak dan sebaliknya. Tetapi saat mereka berangkulan sambil tertawa, saya tahu keduanya menikmati kehadiran satu sama lain.
Musim Dingin yang Panjang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H