Saya lebih tenang dan santai waktu hamil anak kedua. Saya mulai mengerti bahwa ikan gabus sama bergizinya dengan ikan salmon. Saya tak lagi punya privilege untuk berleha-leha dan tidur pada jam sepuluh pagi --seperti yang terjadi pada kehamilan pertama---karena sudah ada anak yang mesti saya urusi, tetapi saya terbebas dari kecemasan yang nggak perlu. Kalau pas hamil pertama saya takut minum teh, saat hamil anak kedua saya santai aja minum teh asal diberi jarak dari makan sayur. Saya juga berani makan durian selama nggak berlebihan. Saya berani pergi kemping bahkan bepergian keluar kota.
Sewaktu si anak kedua mulai makan makanan keras, saya hanya memanfaatkan bahan dan alat yang ada. Kenapa harus memblender labu bila bisa melumatkannya dengan sendok? Mainan? Saya tahu bayi lebih suka bermain dengan selendang, kardus, dan batu daripada mainan keluaran pabrik.
Baju? Ung bersorak girang saat saya bilang ia bisa memakai baju bekas kakaknya, "Horeee, berarti aku sudah besar." Nah! Kadang saya kasihan melihat Ung banyak memakai baju bekas, tapi anaknya sendiri santai. Baju lama tak menimbulkan kesedihan berarti (bahkan kadang malah senang itu tadi), sementara baju baru ia anggap biasa-biasa saja. Baginya baju adalah baju. Itu saja.
Untuk urusan pijat? Saya sudah terampil memijat bayi dari beberapa kali melihat bidan memijat si sulung. Di sisi lain saya kapok bawa bayi pijat ke layanan pijat bayi. Pernah si kakak saya bawa ke klinik buat pijat. Di sana ada bayi lain batuk pilek yang sedang dipijat. Ang giliran berikutnya. Pulang-pulang, nggak heran dia juga kena batuk pilek.
***
Saya sendiri anak kedua. Saya dengar kakak saya yang selama lima tahun jadi anak tunggal relatif kepama (serba enak) di waktu kecil. Namun, saya nggak pernah merasa tersisih. Anak kedua mungkin memang tidak mendapat privilege sebesar anak pertama, namun ia memiliki satu hal yang nggak dipunyai si sulung, yaitu punya kakak semenjak lahir. Anak kedua otomatis punya teman main yang bisa meladeni hasrat kanak-kanaknya (walau seringkali ribut juga). Selain itu ia juga punya orang tua yang (biasanya) lebih berpengalaman. Itu diakui oleh ibu saya. Ia bercerita bahwa ia melakukan banyak 'kesalahan' pengasuhan dengan kakak saya. Bukan kesalahan murni, tapi memang karena belum berpengalaman.
Itu juga terjadi pada anak saya. Saya misalnya mendorong si sulung bersosialisasi dengan sebayanya saat ia masih balita. Saya sewot sendiri saat ia menolak mentah-mentah dan memilih menggelendot ibunya. Saya juga kesal saat lagi-lagi ia menolak nyemplung kolam renang tanpa ibunya. Clingy banget pokoknya. Semua masalah ini selesai dengan sendirinya saat ia berusia tujuh tahun. Setelah tujuh tahun, nggak hanya dia menikmati main sama teman-temannya, ia bahkan berani menginap di rumah om tanpa disertai ayah ibunya. Belajar dari pengalaman itu, saya menikmati saat si adik nempel pada saya. Saya maklum ketika ia belum mau les renang di usia empat tahun. Saya nggak banyak resah. Nggak banyak memaksa-maksa. Ini menghemat emosi nggak perlu di kedua belah pihak. Â
Benar, saya tetap berusaha berlaku adil sebisa-bisanya, seperti dalam kasus album bayi tadi. Ulang tahun kedua anak selalu kami rayakan walau dengan sederhana. Bergantian saya memasak favorit masing-masing anak. Seringkali saya membeli mainan atau makanan dua buah (tidak selalu karena saya menekankan pentingnya berbagi). Sebisa-bisanya saya perlakukan mereka dengan adil. Nggak selalu berhasil, sih. Kadang seperti cerita di atas, ada pengakuan si adik iri pada kakak dan sebaliknya. Tetapi saat mereka berangkulan sambil tertawa, saya tahu keduanya menikmati kehadiran satu sama lain.
Musim Dingin yang Panjang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H