Mohon tunggu...
Ken Terate
Ken Terate Mohon Tunggu... Administrasi - Penenun Kata

Ken Terate adalah pekerja teks komersial. Ia tinggal di Yogyakarta. Kebahagiaannya tersangkut pada keluarga kecilnya, secangkir teh, buku, drama, dan obrolan ringan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan di Sekolah, Mari Kita Akhiri

16 Agustus 2016   16:16 Diperbarui: 18 Agustus 2016   06:11 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan Indonesia sedang diuji bertubi-tubi. Sudah jatuh tertimpa tangga,  tak putus dirundung kekerasan. Belum selesai saya menulis soal kekerasan yang dilayangkan guru terhadap siswanya, eh ini ada kasus guru dikeroyok dan dihajar oleh siswa bersama bapaknya. Dan ini bukan satu-satunya kasus. Modusnya hampir sama: siswa ‘nakal’, dikerasi guru, siswa mengadu pada orangtuanya, orangtua nggak terima lalu lapor ke polisi/berlagak jadi polisi dan langsung menerapkan hukuman buat si guru.

Mendukung Kekerasan

Sebenarnya yang paling mengagetkan saya dari rentetan fenomena ini adalah: banyaknya pendukung kekerasan guru! Hah. Saya terperanjat betul bila membaca lini masa yang isinya kurang lebih, “Dulu kalau siswa dijewer guru terus mengadu ke ortu, boro-boro ortu membela, yang ada ortu ngasih bonus gamparan karena si anak udah melanggar aturan.” Atau “Siswa tidak boleh dikerasi, mau jadi apa nanti?” disertai gambar sekumpulan anak SD thenguk-thenguk sambil udat-udut –duduk-duduk dan merokok--. Atau poster bertuliskan “Kalau nggak terima dengan cara mendidik kami, didik saja anakmu sendiri.” (Terus pelaku homeschooling kayak saya nyaut, “Berresss.”)

Saya yakin banget para pendukung kekerasan tadi bila menemukan anaknya menangis sepulang sekolah dan mengadu tadi dipukul Pak Guru karena nggak mengerjakan PR, maka mereka bakal telepon si guru dan berkata, “Terima kasih Pak sudah mendisiplinkan anak saya. Lain kali kalau anak saya nggak ngerjain PR lagi, silakan pukul lebih keras.”

Lebih heran lagi Pak Menteri juga mendukung kekerasan ini dalam beberapa pernyataannya. Lhadalah, kok bikin geregetan tenan. Usai melempar gagasan full day school, beliau berkata “sanksi fisik dapat ditoleransi dalam batas tertentu”. Aduh, Pak, kalau bener full-day school dijalankan, bisa-bisa anak-anak dapat ‘sanksi fisik full-day’ juga. Batas tertentu itu apa? Di surat kabar saya baca seorang pejabat dinas pendidikan mengatakan ‘sanksi fisik boleh selama tidak menimbulkan trauma’. Lah, taunya nggak menimbulkan trauma itu piye? Saya pernah dijewer sama guru di TK gara-gara bertanya cara melipat origami. Sampai sekarang masih ingat tuh. Memang bukan trauma sih, tapi mangkel dan galau. Bertanya karena tidak mengerti kok malah dijewer.

Era Sebelumnya

Dulu, kata Bapak saya, anak-anak diminta meletakkan punggung tangan mereka di atas meja. Guru siap dengan tongkat dan begitu melihat kuku kotor, “tttaaarrrr!” tongkat melayang memukul punggung tangan. “Dan kami nggak ngapa-ngapa tuh. Biasa saja,” kata Bapak saya, “Nggak mengadu juga.”

“Terus, anak-anak menjadi baik nggak, Pi, setelah dikerasi?” tanya saya.

Bapak  berpikir, lalu berkata, “Aku tidak begitu memperhatikan apakah hukuman itu ada efeknya. Tapi aku ingat, guru-guru yang mengubahku menjadi baik adalah guru-guru yang ramah dan penuh perhatian. Aku ingat yang membuatku rajin adalah guru yang berkata lembut ‘wah, kalau begini kamu nggak aka naik kelas’, saat aku lupa mengerjakan PR. Aku benar-benar merasa bersalah dan mendadak punya kesadaran waktu itu.”

Anak-Anak Cengeng?

Anak-anak masa kini dituduh tidak setangguh anak-anak era sebelumnya. Mereka dicap cengeng karena dikit-dikit mengadu ‘hanya’ karena ditampar guru. Benarkah? Kalau saya sih, saya pengin anak saya melapor pada saya setiap ada yang mengganggunya. Edan apa, saya biarkan anak saya menerima kekerasan dan diam saja! Mama macan gitu loh.

Ancaman, “Awas kalau berani bilang-siapa,” selalu dikatakan oleh para pembully pengecut yang takut aksinya ketahuan. Anak yang gemar mengadu lalu dikucilkan. Akibatnya? Asyiklah buat para pembully ini. Asyik buat para pelaku bila korbannya bungkam.

Apa anak jadi manja dan lembek kalau dikit-dikit mengadu? Oalah, anak jadi lembek kalau tidak pernah diberi tantangan dan tanggung jawab , manja kalau serba dilayani dan dituruti, tak pernah dilatih mandiri, bahkan untuk mencuci piringnya sendiri. Bukan karena bungkam. Di beberapa kasus, justru anak pemberanilah yang berani ‘speak up’.

Hukuman Ganda

Saya ingat waktu SD dulu anak-anak yang paling sering dapat hukuman di sekolah adalah anak-anak yang di rumah kenyang dengan kekerasan dari orangtuanya. Anak-anak yang paling sulit diatur (termasuk sulit berkomunikasi dan serba tak percaya diri), paling ndableg, dan paling malas BIASANYA adalah anak-anak yang diabaikan, yang digaplokin ortu setiap melakukan ‘kesalahan ’, yang dilecehkan kiri kanan di lingkungan tempat tinggalnya. Tak mengagetkan bila mereka bermasalah di sekolah. Mau ngerjain PR gimana wong rumahnya ribut melalu, mau berperilaku sopan gimana, wong di rumah mereka mendengar caci maki. Di sekolah… olala, dicubitin lagi sama gurunya.

“Lha gimana, saya emosi betul dikata-katain kasar sama siswa saya.”

“Masak anak nggak patuh didiamkan?”

“Masak saya nggak membalas kalau diserang?”

Begitu mungkin pembelaan para guru pelaku. Oh, ya jelas nggak boleh diam saja, seperti kita juga nggak bakal diam saja toh kalau diserang penjahat. Tapi kalau direnung-renungkan lagi, anak-anak itu bukan penjahat. Bahkan sebenarnya kita wajib berwelas asih pada anak-anak ‘ndableg’ ini. Karena seperti yang sudah pernah saya baca di Chicken Soup, “Saat anak-anak bertingkah mengesalkan, saat itulah dia sangat membutuhkan kita.” Percaya to, anak-anak ‘baik’ tak perlu diberi perhatian ekstra. Mereka bisa jalan sendiri. Tapi anak-anak ‘sulit’ inilah yang amat sangat butuh kasih sayang karena 90% mereka tidak mendapatkannya di rumah. Si anak yang berkata-kata kasar pastinya juga biasa mendengar kata-kata kasar di rumah. Si siswa yang ndableg nggak mau sholat, mungkin memang nggak pernah diajari sholat sama ortunya. Si anak yang ramai di kelas, kemungkinan adalah anak yang tidak pernah dapat kesempatan bicara dalam keluarganya –atau bosan setengah mati di dalam kelas yang memang menjemukan--.  Percayalah, sudah Alhamdulillah banget anak-anak terabaikan ini mau berangkat sekolah di saat mereka lebih suka nongkrong di cakruk udat-udut.

Tak ada pilihan bagi guru selain punya sikap sabar dan kasih seluas samudera, nyaris seperti Nabi. Nabi Muhammad SAW itu, saya pernah mendengar kisahnya, pernah dilempari batu tiap hari oleh seseorang yang tidak menyukainya. Malaikat sudah menawarkan untuk menghukum si pengganggu itu. Tapi apa yang dilakuan Nabi? Mendoakan! Mendoakan agar si pelaku mendapat hidayah. Oke, guru bukan Nabi, tapi saya percaya guru itu ada di atas rata-rata manusia biasa.

Sudah Bermasalah sejak Dalam Perekrutan

Tak habis heran saya bila ada guru yang ringan tangan. Maksud saya, kok bisa manusia ringan tangan jadi guru? Harusnya kan jadi.... apa ya… pokoknya nggak jadi guru lah. Wong guru itu tugasnya membimbing sejuta umat. Tapi jebulane tes guru PNS itu cuma tes tertulis (yang semoga saja nggak pakai kongkalikong). Jadi wajar saja kalau ada guru yang ngomong saja nggak jelas, yang nggak kreatif dan nyuruh siswanya nyatet terus, yang ternyata nggak bisa berbahasa Inggris padahal dia guru bahasa Inggris. Wis bejo lah, bila nggak ada pedofil lolos jadi guru.

Bandingkan dengan guru les-lesan di bimbel. Setelah tes tertulis dan wawancara mereka harus ‘demo ngajar’ di depan penguji. Ketrima jadi guru pun masih harus digodhog lagi dengan sederetan micro teaching (simulasi mengajar sesama guru), lalu masih dikasih masa percobaan buat ngajar di depan kelas dengan pendampingan. Tiap periode ada evaluasi dari siswa dan atasan. Kalau nilainya jelek atau ada laporan tak menyenangkan dari siswa –apalagi menggampar--, siap-siap saja, dikasih lambaian tangan, da-da bye-bye.

Benarkah hukuman itu mendidik?

Sudah jenuh rasanya membahas ini. Berasa mundur ke zaman kolonial saat satu-satunya cara untuk membuat para pribumi mau kerja adalah memecut mereka kayak kuda. Ampun dah, ini abad berapa sih? Sudah berapa ratus penelitian yang membuktikan bahwa kekerasan tidak akan membuat anak disiplin dalam jangka panjang? Kekerasan hanya menimbulkan teror dan membuat anak jeri. Dan yang jelas akan mereproduksi kekerasan! Anak akan belajar bahwa untuk membuat adiknya patuh, gampar saja.

Dalam hidup saya, sumpah, orang tua saya nggak pernah melayangkan tangan sekali pun pada saya. Di sekolah saya juga jarang dapat hukuman –bukannya tidak pernah sama sekali—dan saya baik-baik saja. Bukannya sempurna, tapi saya tak pernah mengisap candu atau tawuran melawan sekolah sebelah.

“Tapi anak-anak tertentu itu perlu dikerasi. Nggak bisa kalau diberi tahu baik-baik. Kami tuh mengerasi mereka demi kebaikan mereka juga.”

Preeettt. Jenuh juga saya mendengar alasan ini. Demi kebaikan. Martir banget kesannya. Sama kayak ortu yang hobi marah-marah, “Ibu itu cerewet kayak gini demi kebaikanmu! Tau nggak! Dasar anak nggak tahu diuntung.”

Seorang dirjen di Kemendikbud pernah mengeluh, “Sejak tahun 2006 –era sertifikasi—setiap kali ada forum guru, guru selalu menanyakan hak mereka, tunjangan ini itu, sertifikasi lah, inpassing lah, itu-itu melulu yang ditanyakan.” Tidak ada pertanyaan mengenai, “Bagaimana saya bisa mengajar lebih baik?”

Saya tidak menafikkan banyak guru yang tulus, yang mengajar karena memang panggilan jiwa. Saya juga akan selalu hormat pada guru-guru yang kreatif, cerdas, dan menginspirasi. Sebenarnya tidak ada yang salah mengajar demi uang (saya juga begitu), tapi nggak usah deh berlindung di balik alasan mulia saat alasan kita sebenarnya adalah ‘nggak bisa mengontrol emosi.’

Beneran deh. Saya merasakan sendiri. Saat saya memarahi anak saya, saya melakukannya karena saya memang esmosi. Ketika anak saya masuk rumah dengan kaki berlumpur, saya marah bukan karena takut anak saya jadi anak tak tahu adat, tapi karena SAYA ogah bersihin lantai. Kalau anak saya berisik, saya suruh dia tertib karena SAYA terganggu. Kalau anak saya mukul adiknya, saya marah karena si adik jadi menangis, dan SAYA jadi repot. Tak ada yang salah dengan semua emosi itu, tapi saya mengakui sayalah yang kurang sabar. Buktinya saya nggak bakal marah kalau anak saya berisik pas katakanlah saya barusan dapat transferan honor. Logis saja, kalau demi kebaikan anak, tentunya saya cukup berkata, “Nak, lain kali cuci kaki dulu ya sebelum masuk. Yuk kita bersihkan bareng.”  Kan gitu toh?

Keluarga

Benar tak adil saya menimpakan semua sengkarut ini pada guru dan sekolah. Saya memahami bagaimana beratnya jadi guru karena saya pernah mengalaminya sendiri. Berada dalam kelas penuh dengan remaja dengan gejolak hormon (dan sebagian berada di situ karena terpaksa) disertai target-target nilai dan tugas lainnya yang juga berat (bikin soal, koreksi ujian, hingga bikin laporan) tentu bikin kepala nyut-nyutan. Tidak adil bagi guru bila mereka harus bertanggung jawab atas moral anak didiknya pula karena yah… beban mereka mengajar saja sudah seperti mission impossible.

Mari kembalikan urusan mendidik anak ini pada pihak yang paling bertanggung jawab: yang punya anak.

Seyogyanyalah orangtua berjibaku dengan sekolah dalam mendidik anaknya. Alih-alih memandang sekolah sebagai ‘bengkel mobil’ yang pokoknya mobil masuk, saya bayar, nanti keluar beres semua, mari kita lihat sekolah sebagai keluarga kedua yang syukurlah mau berbagi tanggung jawab mendidik anak-anak kita. Bantu sekolah bila ada yang bisa dibantu. Artinya kita nggak boleh dong tiduran di sofa nonton sinetron sementara anak-anak kita suruh ngerjain PR (lalu marah-marah sama gurunya apabila ia menghukum anak kita karena PR-nya salah semua).

Tidak adil bila kita menyalahkan sekolah atas semua masalah di dunia ini, mulai dari narkoba, rokok, tawuran, bullying hingga jalan tol yang macet. Beban sekolah sudah amat berlebih karena dititipi banyak pesan oleh kementrian ini itu. Ada titipan dari kementrian agama agar masyarakat sholeh-sholihah, dari kementrian industri biar nggak ada pelanggaran hak cipta, dari kepolisian biar remaja nggak sliwer-sliwer naik motor tanpa helm dan SIM,dan BKKBN biar nggak pada kawin muda. Serius ini. Kalau saya jadi kepala sekolah sih, saya sudah mutung dan pilih mengubah sekolah saya jadi bimbingan tes. Tanggung jawab saya hanya mengantar murid lulus tes. Titik. Soal anaknya di rumah nonton film porno, bukan urusan saya.

Tugas utama orangtualah untuk menjamin kelakuan moral anaknya karena yah, semua berawal dari keluarga bukan? Nah tugas utama guru saat ini adalah belajar ‘cara-cara kreatif menghadapi murid berisik, membangkang, dst.’ Kan mestinya ada banyak caranya toh. Dan yang paling utama adalah menjadi guru yang pantas dihormati. Saya ingat guru-guru yang baik selalu diperlakukan dengan baik juga oleh murid. Guru-guru yang melecehkan juga dilecehkan. Guru-guru yang galak, dibenci diam-diam –atau terang-terangan--. Jadi mari bergandeng tangan, bahu-membahu, bantu-membantu, dalam kedamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun