Bandingkan dengan guru les-lesan di bimbel. Setelah tes tertulis dan wawancara mereka harus ‘demo ngajar’ di depan penguji. Ketrima jadi guru pun masih harus digodhog lagi dengan sederetan micro teaching (simulasi mengajar sesama guru), lalu masih dikasih masa percobaan buat ngajar di depan kelas dengan pendampingan. Tiap periode ada evaluasi dari siswa dan atasan. Kalau nilainya jelek atau ada laporan tak menyenangkan dari siswa –apalagi menggampar--, siap-siap saja, dikasih lambaian tangan, da-da bye-bye.
Benarkah hukuman itu mendidik?
Sudah jenuh rasanya membahas ini. Berasa mundur ke zaman kolonial saat satu-satunya cara untuk membuat para pribumi mau kerja adalah memecut mereka kayak kuda. Ampun dah, ini abad berapa sih? Sudah berapa ratus penelitian yang membuktikan bahwa kekerasan tidak akan membuat anak disiplin dalam jangka panjang? Kekerasan hanya menimbulkan teror dan membuat anak jeri. Dan yang jelas akan mereproduksi kekerasan! Anak akan belajar bahwa untuk membuat adiknya patuh, gampar saja.
Dalam hidup saya, sumpah, orang tua saya nggak pernah melayangkan tangan sekali pun pada saya. Di sekolah saya juga jarang dapat hukuman –bukannya tidak pernah sama sekali—dan saya baik-baik saja. Bukannya sempurna, tapi saya tak pernah mengisap candu atau tawuran melawan sekolah sebelah.
“Tapi anak-anak tertentu itu perlu dikerasi. Nggak bisa kalau diberi tahu baik-baik. Kami tuh mengerasi mereka demi kebaikan mereka juga.”
Preeettt. Jenuh juga saya mendengar alasan ini. Demi kebaikan. Martir banget kesannya. Sama kayak ortu yang hobi marah-marah, “Ibu itu cerewet kayak gini demi kebaikanmu! Tau nggak! Dasar anak nggak tahu diuntung.”
Seorang dirjen di Kemendikbud pernah mengeluh, “Sejak tahun 2006 –era sertifikasi—setiap kali ada forum guru, guru selalu menanyakan hak mereka, tunjangan ini itu, sertifikasi lah, inpassing lah, itu-itu melulu yang ditanyakan.” Tidak ada pertanyaan mengenai, “Bagaimana saya bisa mengajar lebih baik?”
Saya tidak menafikkan banyak guru yang tulus, yang mengajar karena memang panggilan jiwa. Saya juga akan selalu hormat pada guru-guru yang kreatif, cerdas, dan menginspirasi. Sebenarnya tidak ada yang salah mengajar demi uang (saya juga begitu), tapi nggak usah deh berlindung di balik alasan mulia saat alasan kita sebenarnya adalah ‘nggak bisa mengontrol emosi.’
Beneran deh. Saya merasakan sendiri. Saat saya memarahi anak saya, saya melakukannya karena saya memang esmosi. Ketika anak saya masuk rumah dengan kaki berlumpur, saya marah bukan karena takut anak saya jadi anak tak tahu adat, tapi karena SAYA ogah bersihin lantai. Kalau anak saya berisik, saya suruh dia tertib karena SAYA terganggu. Kalau anak saya mukul adiknya, saya marah karena si adik jadi menangis, dan SAYA jadi repot. Tak ada yang salah dengan semua emosi itu, tapi saya mengakui sayalah yang kurang sabar. Buktinya saya nggak bakal marah kalau anak saya berisik pas katakanlah saya barusan dapat transferan honor. Logis saja, kalau demi kebaikan anak, tentunya saya cukup berkata, “Nak, lain kali cuci kaki dulu ya sebelum masuk. Yuk kita bersihkan bareng.” Kan gitu toh?
Keluarga
Benar tak adil saya menimpakan semua sengkarut ini pada guru dan sekolah. Saya memahami bagaimana beratnya jadi guru karena saya pernah mengalaminya sendiri. Berada dalam kelas penuh dengan remaja dengan gejolak hormon (dan sebagian berada di situ karena terpaksa) disertai target-target nilai dan tugas lainnya yang juga berat (bikin soal, koreksi ujian, hingga bikin laporan) tentu bikin kepala nyut-nyutan. Tidak adil bagi guru bila mereka harus bertanggung jawab atas moral anak didiknya pula karena yah… beban mereka mengajar saja sudah seperti mission impossible.