Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBA PK] Hitam Putih Restorasi Film Tiga Dara

11 September 2016   23:48 Diperbarui: 12 September 2016   00:07 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, media terasa gegap gempita memberitakan tentang restorasi film Tiga Dara. Film yang dianggap paling fenomenal pada masanya tersebut merupakan moment untuk menggairahkan kembali perfilman nasional. Demikian sebagian khalayak beranggapan. Dikatakan restorasi film tiga dara ini bisa menjadi gizi baru untuk perkembangan perfilman nasional. Benarkah begitu?

Saya yakin belum banyak masyarakat yang familiar dengan istilah restorasi film. Sehingga ketika ada berita yang masif tentang restorasi film tiga dara menjadi begitu terkaget dan terbengong. Mungkin kalau memakai bahasa emoticon mulutnya akan ternganga sangat lebar. Hehehe.. Tidak salah dan wajar, saya sendiri juga akan begitu saat menjumpai hal yang membuat saya terkejut dan terheran heran.

Restorasi dalam kamusnya berarti pengembalian atau pemulihan pada keadaan semula. Gampangnya restorasi film itu  ya aktivitas untuk mengembalikan kondisi film seperti pada saat film tersebut dibuat.  Untuk restorasi film di Indonesia sebenarnya sudah ada inisiasi sejak tahun 201ian. Tapi akhirnya terwujud  pada tahun 2012, yaitu dengan restorasi film “Lewat Djam Malam”. Setahun kemudian film “Darah dan Doa”. 

Keduanya adalah film yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Dan yang ketiga adalah film Tiga Dara ini. Yang menjadi pertanyaannya, kenapa restorasi film “Tiga Dara” ini terkesan sangat heboh? Padahal sebelumnya juga sudah ada restorasi film yang bisa dikatakan sejaman. Bahkan jika dilihat dari senioritas sebuah film, “Darah dan Doa” merupakan tonggak sejarah  film nasional. Karena awal syuting film inilah, yang dijadikan sebagai Hari Film Nasional.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dirangkai menjadi sebuah puzzle berisi sebuah gambaran tentang restorasi Tiga Dara ini.

Sejarah Film Tiga Dara.

Film garapan Bapak Film Indonesia ini sebenarnya bisa dibilang sebagai film “kekafiran”Usmar Ismail pada idealisme yang dia pegang di dunia perfilman. Pada pasca kemerdekaan dulu, sudah banyak bertebaran film. Film yang berkiblat pada Hollywood yang notabene mengusung nilai kebaratan dan film yang bercorak Tionghoa, yang lebih kental unsur lokal dan etnis.  Sutradara yang mantan tentara ini mempunyai rasa nasionalisme  yang tinggi. Setelah selesai kuliah sinematogafi di Los Angeles, Usmar Ismail pun membuat film film yang bertema nasionalisme. 

Yang pertama “Darah dan Doa” yang berisi tentang kisah seorang tentara dari pasukan siliwangi, dan yang lainnya.  Tapi hukum ekonomi akhirnya memaksa dia untuk murtad dari ideaslimenya. Film yang selama dibuat penuh dengan estetika realis, karena dia terinspirasi gaya neo realis itali, di pasaran tidak begitu laku. Yang tentu saja mengancam keuangan Perfini yang dia kelola sebagai kendaran memproduksi film.

 Akhirnya dengan berat hati, dia membuat film dengan mempertimbangkan nilai komersil. Dengan mengambil inspirasi film Three Smart Girls sebuah film  musikal Hollywood karya Henry Koster yang penuh dengan tarian dan nyanyian. Salim Said dalam bukunya bahkan menyebutkan, ada rekan Usmar Ismail, D Djayakusuma, mengatakan bahwa Usmar Ismail sebenarnya sangat malu membuat film Tiga Dara ini. Bahkan dalam pembuatannya, Usmar Ismail berniat menjual film yang sedang digarapnya itu.

Usmar Ismail... wikipedia.com
Usmar Ismail... wikipedia.com
Tak disangka film Tiga Dara ini meledak. Menjadi demam tiga dara di mana mana. Sampai  menjadi beberapa brand kala itu. Bahkan Presiden Sukarno, mengadakan acara nonton Tiga Dara secara pribadi saat ulangtahun istrinya, Hartini.  Film Tiga Dara inipun bersanding sejajar dengan film film Hollywood. Selanjutnya film ini diimpor ke beberapa negara. Hingga pada akhirnya pada tahun 1959,Tiga Dara tampil di Festival Film Venesia. Secara financial dari hasil film Tiga Dara Perfini mengantongi profit Rp. 3.080.00,-. Sebuah angka yang fantastis kala itu.

Tapi nyatanya kesuksesan yang terlihat itu tidak berdampak signifikan bagi keuangan Perfini, Rumah Produksi pimpinan Usmar Ismail tesebut. Dan sejak menggarap film Tiga Dara ini, Usmar Ismail dengan Perfini-nya tidak lagi mengerjakan film yang sesuai dengan idealismenya. Kata sebagain orang, film Tiga Dara menginspirasi  Usmar Ismail membuat film film pop yang tentu saja acuannya untuk komersil. Dengan demikian apakah idealism  Usmar Ismail “tergadai” karena situasi yang tidak bisa dihindari? Atau memang Usmar Ismail bukan Usmar Ismail yang seperti di awal dia membuat film?

Negara dan Copyright Film Restorasi.

Inisiasi restorasi film sebenarnya sudah terlihat pada para sineas muda kita pada tahun 2011an. Bila kita berpaling menengok sebentar pada negara negara yang banyak memproduksi film. Usaha restorasi sudah lebih dulu digalakan oleh pemerintahannya. Apalagi Italia, yang mempunyai laboratorium restorasi film. Bagi mereka film klasik adalah bagian dari budaya. Sehingga usaha perawatan yang bernilai sejarah dan budaya begitu diperhatikan.

 Tetapi bagi kita sungguh ironis. Kesadaran kita yang masih seumur jagung pun tak luput dari perampokan dan kecolongan.  Saya katakan demikian karena  usaha restorasi yang ada di negara ini, baru terjadi pada film “Lewat Djam Malam” pada tahun 2012. Ironisnya dengan bahasa membantu restorasi film kita, mereka merampok kekayaan kita berupa  nilai nilai yang ada di dalamnya. Semua pembiayaan restorasi sepenuhnya ditanggung National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese dari Amerika. Dan konsekwsinya, copyright restorasi”Lewat Djam Malam”  menjadi hak milik negara lain.

Karena hal tersebut, pemerintahpun kalang kabut kritikan atas apa yang terjadi. Pemerintah waktu itu, pun segera berjanji, akan melakukan restorasi untuk 10 film klasik. Sebuah angin surga bagi insane film dan pecinta sejarah budaya. Pada tahun 2013 pun lahirlah film restorasi “Darah dan Doa”. Film yang pertama kali dibuat atas nama negara. Selanjutnya untuk kepentingan pendidikan, dicetak dalam bentuk CD dan DVD lalu disebar ke instansi dan lembaga pendidikan. Tapi sayangnya, restorasi yang dijanjikan berhenti sampai di situ.

Beberapa orang sineas Indonesia, merasa gusar dengan hilangnya janji manis pemerintah. Mengingat pentingnya nilai yang ada di film film klasik Inonesia, akhirnya PT Render Indonesia dan SA Film bekerjasama mengambil alih “projek” restorasi ini. Sebenarnya dilihat dari hitungan matematis. 

Projek ini, projek bunuh diri, mengingat nominal produksinya yang begitu besar hingga  3 milyar dan pada kenyataannya sampai awal September 2016 penjualan tiket berkisar hanya 1,5 Milyar. Bagi stakeholder atau pihak yang berkempentingan di projek ini, tentu kepalanya akan cenat cenut. Minum obat sakit kepala apapun tidak akan sembuh mengingat projek yang ada ternyata potensial merugi sampai 50 %. Kecuali bila mereka memang sudah diniatkan bahwa profit yang ada bukan hanya dari nominal rupiah. Tetapi profit dengan terpeliharanya warisan budaya dan sejarah.

Di mana negara, pemerintah?  Mungkin juga sedang pusing mencari dana untuk pembangunan infra struktur … hheheh.. Padahal dalam UU No. 33/2009 tentang Perfilman, pemerintah diwajibkan mendirikan pusat pengarsipan film Indonesi, Salah satunya usaha restorasi yang mestinya diwujudkan secara nyata, bukan hanya sekedar ungkapan di atas kertas. Paling tidak untuk saat ini pemerintah membantu pusat arsip film seperti Sinematek dengan bantuan yang benar benar menjadi darah segar. Bukan yang selama ini terjadi. Untuk operasional bulanan saja seperti nafas yang senin kamis. Padahal Sinematek harus memelihara arsip film yang jumlahnya mencapai ribuan.

Restorasi, Bukan Hanya untuk Nostalgia tetapi Penyelaman Sejarah dan Budaya.

Bila saat film hasil restorasi film Tiga Dara diluncurkan secara bersamaan di beberapa kota pada 11 Agustus 2016, saya kok merasa banyak yang menonton itu sebagai sebuah perjalanan mengenang masa lalu. Dengan melihat itu angannya melayang serasa hidup di masa di mana dia muda atau kecil. Bisa jadi air mata yang menitik. Jika bagi saya, jujur melihat restorasi Tiga Dara bukanlah nostalgia. Karena saya tidak mengalami kehidupan di waktu itu. 

Bukan saya mencela anggapan melihat hasil restorasi itu sebagai sarana nostalgia. Tetapi lebih menekankan bahwa restorasi itu ada karena fungsinya sebagai arsip sejarah dan budaya. Dari film film klasik tersebut kita bisa menyelami sejarah dan kebudayan bangsa kita aktu dulu. Dan inilah salah satu alasan kenapa beberapa negara tertarik untuk membantu atau kalau bisa merestorasi secara penuh beberapa film klasik kita. Karena mereka sebenarnya juga ada kepentingan dalam hal tersebut. Dengan tetap berpikir positif, karena mereka peduli dengan sejarah dan kebudayaan yang masih ada kaitannya dengan mereka. 

Film Tiga Dara ini sebenarnya juga hampir jatuh ke tangan Belanda. Jika saja tidak terjadi resesi global di Eropa, maka pihak EYE Museum yang berada di Amsterdam, Belanda sana akan mengambil alih copyright film fenomenal kita ini. Seperti yang sudah banyak ditulis, bahwa kronologis proses restorasi film Tiga dara, justru awalnya diinisiasi EYE Museum. Arsip film yang di Jakarta sudah dikirim ke Amstedam sekitar tahun 2011an. Hingga awal 2013, arsip film yang menjadi benda bernilai sejarah tinggi tersebut akhirnya bisa kembali ke Indonesia setelah melewati negoisasi dengan pihak pihak terkait.

Sejarah dan budaya apa yang bisa kita lihat dari film hasil restorasi? Bila kita melihat di film Lewat Djam Malam, kita akan menemukan adegan para muda mudi berdansa dengan menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa”. Kita bayangkan, bagi  para pemuda pemudi jaman dulu, nyanyian tersebut adalah nyanyian dewasa. Sedang kita, yang mungkin generasi 80 atau 90 an, nyanyian tersebut telah mengalami pergeseran menjadi nyanyian anak kecil. 

Dan di era millennia ini, nyanyian itu rasanya sudah hilang. Nyanyian anak anak kecil yang ada sekarang justru nyanyian nyanyian “dewasa”. Di film  Tiga Dara, kita juga bisa melihat ternyata “budaya” yang dulu ada dan sekarang tidak jauh berbeda. Wanita yang berumur belum menikah masih menjadi “aib”. Gaya glamour waktu itu dan sekarang juga hampir sama, hanya bedanya bentuk atau modenya. Dan masih banyak lagi yang bisa kita pelajari.

Proyek Bunuh Diri atau Spekulasi?

Inisiatif untuk memulai proyek restorasi film Tiga Dara tentu sudah merupakan sesuatu yang gila. Apalagi saat itu dinyatakan dalam sebuah action nyata. Karena jika melihat fisik material film Tiga Dara ini tentu sudah sangat memprihatikan. Di mana sudah puluhan tahun tentu sudah tercemar dengan berbagai kotoran, juga vinegar Syndrom yang merupakan kerusakan akibat cuaca tropis. Belum lagi yang hilang atau apa. Ditambah lagi dengan dukungan pemerintah yang sepertinya malu malu kucing. Di diemin senyum senyum, eh didatangi langsung lari. 

Apalagi karena soal anggaran. Seperti kita tahu, dimulainya proses restorasi ini, pada tahun 2014 hingga 17 bulan ke depan. Saat itu pemerintah sedang “tidak” memikirkan urusan arsip film. Yang ada hanyalah focus pembangunan infrastruktur. Ya, mau tidak mau kita harus manggut manggut untuk mengerti.

Dalam restorasi ada dua tahap. Tahap Restorasi Fisik dan Restorasi Digital.  Untuk tahap pertama, sineas kita belum bisa karena memang keterbatasan peralatan yang ada. Sedang untuk SDM sudah ada yaitu Lisabona Rahman dan Lintang Gitomartoyo. Keduanya ikut membantu restorasi fisik yang memakan 8 bulan di laboratorium L'immagine Ritrovata, Bologna. Di situ juga seluruh film klasik Charlie Chaplin direstorasi. 

Dan ternyata restorasi “Lewat Djam Malam” pun mereka yang ikut mengerjakan. Selanjutnya untuk proses Restorasi Digital, melalui PT Render Indonesia, anak anak bangsa telah bisa sendiri untuk menyelesaikannya.  UNtuk kemudian diproses lebih lanjut, sebuah proses yang tidak kalah njimetnya dengan restorasi  fisik. Dan kerja keras mereka akhirnya berbuah hasil dengan restorasi film yang tidak hanya 2K, tetapi karena teknologi semakin maju, anak bangsa kita bisa menjadikan hasil restorasi dalam format 4K.  Hasilnya?  Tentu lebih “gila” bro! Detilnya lebih jelas. Misalnya saja, saat sebelum direstorasi, settingnya seperti di Pasar Senin, tapi ternyata itu Blok M jaman dulu.

Perolehan Penonton ... Twitter.com/BPI
Perolehan Penonton ... Twitter.com/BPI
Apakah setelah proses restorasi berakhir maka selesai projek ini? Tentu belum, karea restorasi hanyalah separuh kerja.  Yang setengah kerja “sambil menyelam minum air”.  Mempromosikan dengan seefektif mungkin sehingga target penjualan bisa tercapai. Itu bila Stakeholder berpikir secara bisnis.  Tetapi jika yang utama adalah keuntungan non materi, seperti tersampaikannya pesan kepada masyarakat, terutama anak  muda sekarang. 

Maka masih perlu kerja yang tidak ringan pula. Yaitu pesan, agar melupakan warisan sejarah dan kebudayan sendiri. Maka itu sudah merupakan sebuah keuntungan yang besar. Terus apa yang menjadi motif projek restorasi film TIga Dara ini? Silahkan tanya pada hati mereka masing masing hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun