Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBA PK] Hitam Putih Restorasi Film Tiga Dara

11 September 2016   23:48 Diperbarui: 12 September 2016   00:07 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara dan Copyright Film Restorasi.

Inisiasi restorasi film sebenarnya sudah terlihat pada para sineas muda kita pada tahun 2011an. Bila kita berpaling menengok sebentar pada negara negara yang banyak memproduksi film. Usaha restorasi sudah lebih dulu digalakan oleh pemerintahannya. Apalagi Italia, yang mempunyai laboratorium restorasi film. Bagi mereka film klasik adalah bagian dari budaya. Sehingga usaha perawatan yang bernilai sejarah dan budaya begitu diperhatikan.

 Tetapi bagi kita sungguh ironis. Kesadaran kita yang masih seumur jagung pun tak luput dari perampokan dan kecolongan.  Saya katakan demikian karena  usaha restorasi yang ada di negara ini, baru terjadi pada film “Lewat Djam Malam” pada tahun 2012. Ironisnya dengan bahasa membantu restorasi film kita, mereka merampok kekayaan kita berupa  nilai nilai yang ada di dalamnya. Semua pembiayaan restorasi sepenuhnya ditanggung National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese dari Amerika. Dan konsekwsinya, copyright restorasi”Lewat Djam Malam”  menjadi hak milik negara lain.

Karena hal tersebut, pemerintahpun kalang kabut kritikan atas apa yang terjadi. Pemerintah waktu itu, pun segera berjanji, akan melakukan restorasi untuk 10 film klasik. Sebuah angin surga bagi insane film dan pecinta sejarah budaya. Pada tahun 2013 pun lahirlah film restorasi “Darah dan Doa”. Film yang pertama kali dibuat atas nama negara. Selanjutnya untuk kepentingan pendidikan, dicetak dalam bentuk CD dan DVD lalu disebar ke instansi dan lembaga pendidikan. Tapi sayangnya, restorasi yang dijanjikan berhenti sampai di situ.

Beberapa orang sineas Indonesia, merasa gusar dengan hilangnya janji manis pemerintah. Mengingat pentingnya nilai yang ada di film film klasik Inonesia, akhirnya PT Render Indonesia dan SA Film bekerjasama mengambil alih “projek” restorasi ini. Sebenarnya dilihat dari hitungan matematis. 

Projek ini, projek bunuh diri, mengingat nominal produksinya yang begitu besar hingga  3 milyar dan pada kenyataannya sampai awal September 2016 penjualan tiket berkisar hanya 1,5 Milyar. Bagi stakeholder atau pihak yang berkempentingan di projek ini, tentu kepalanya akan cenat cenut. Minum obat sakit kepala apapun tidak akan sembuh mengingat projek yang ada ternyata potensial merugi sampai 50 %. Kecuali bila mereka memang sudah diniatkan bahwa profit yang ada bukan hanya dari nominal rupiah. Tetapi profit dengan terpeliharanya warisan budaya dan sejarah.

Di mana negara, pemerintah?  Mungkin juga sedang pusing mencari dana untuk pembangunan infra struktur … hheheh.. Padahal dalam UU No. 33/2009 tentang Perfilman, pemerintah diwajibkan mendirikan pusat pengarsipan film Indonesi, Salah satunya usaha restorasi yang mestinya diwujudkan secara nyata, bukan hanya sekedar ungkapan di atas kertas. Paling tidak untuk saat ini pemerintah membantu pusat arsip film seperti Sinematek dengan bantuan yang benar benar menjadi darah segar. Bukan yang selama ini terjadi. Untuk operasional bulanan saja seperti nafas yang senin kamis. Padahal Sinematek harus memelihara arsip film yang jumlahnya mencapai ribuan.

Restorasi, Bukan Hanya untuk Nostalgia tetapi Penyelaman Sejarah dan Budaya.

Bila saat film hasil restorasi film Tiga Dara diluncurkan secara bersamaan di beberapa kota pada 11 Agustus 2016, saya kok merasa banyak yang menonton itu sebagai sebuah perjalanan mengenang masa lalu. Dengan melihat itu angannya melayang serasa hidup di masa di mana dia muda atau kecil. Bisa jadi air mata yang menitik. Jika bagi saya, jujur melihat restorasi Tiga Dara bukanlah nostalgia. Karena saya tidak mengalami kehidupan di waktu itu. 

Bukan saya mencela anggapan melihat hasil restorasi itu sebagai sarana nostalgia. Tetapi lebih menekankan bahwa restorasi itu ada karena fungsinya sebagai arsip sejarah dan budaya. Dari film film klasik tersebut kita bisa menyelami sejarah dan kebudayan bangsa kita aktu dulu. Dan inilah salah satu alasan kenapa beberapa negara tertarik untuk membantu atau kalau bisa merestorasi secara penuh beberapa film klasik kita. Karena mereka sebenarnya juga ada kepentingan dalam hal tersebut. Dengan tetap berpikir positif, karena mereka peduli dengan sejarah dan kebudayaan yang masih ada kaitannya dengan mereka. 

Film Tiga Dara ini sebenarnya juga hampir jatuh ke tangan Belanda. Jika saja tidak terjadi resesi global di Eropa, maka pihak EYE Museum yang berada di Amsterdam, Belanda sana akan mengambil alih copyright film fenomenal kita ini. Seperti yang sudah banyak ditulis, bahwa kronologis proses restorasi film Tiga dara, justru awalnya diinisiasi EYE Museum. Arsip film yang di Jakarta sudah dikirim ke Amstedam sekitar tahun 2011an. Hingga awal 2013, arsip film yang menjadi benda bernilai sejarah tinggi tersebut akhirnya bisa kembali ke Indonesia setelah melewati negoisasi dengan pihak pihak terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun