Dulu sebelum ilalang tumbuh juga pagi masih belum bermentari, Tubuh pernah berkata , hei maukah engkau menjadi bayangku? Untuk teman ku menari dan bercerita pada bebatuan di gunung. Atau ikan ikan di kali yang sering kali nakal mengejekku.
Bayangpun tertawa dan menjawab, aku akan menjadi bayangmu. Biarkan awan menjadi saksi kita adalah badan dan bayang.
Tapi kau tak boleh meninggalkanku! Badan tersenyum madu
Bayang tertawa. Ayo kita minum satu sloki embun malam.
Waktupun melaju Siang meraja,
Badan menari di antara bunga di taman. Sesekali melempari lebah dengan kerlingan. Bayangpun mengikutinya. Lalu bertanya, hei tarian apa ini?”
Sesekali waktu Badan berlompatan di atas ayam dan kura kura.
Bayang terus mengikuti dan bertanya, gerakan apa ini? Kenapa dengan wajahmu?
Badan berhenti dan diam.
“Tidak perlu tahu. Engkau terlalu banyak tanya dan bicara! Bisakan engkau diam sejenak?"
“Bukankah aku bayangmu, yang tentu saja mengikutimu dan ingin tahu apa yang terjadi padamu”
“Ahh, kau hanya menyusahkanku. Pergilah sana. Aku ingin menari sendiri!"
Badan berlari di antara semak menuju bukit. Menari dan bernyanyi melepas semua dahaga jiwa.
Bayang terdiam bercengkrama bersama sepi.
Hei sepi, katakan untuk apa dulu aku minum bersama?
Sepi tidak menjawab, hanya tertawa terbahak bahak.
Bayang lagi lagi bertanya pada sepi, aku ini siapa?
Sepi tidak menjawab, hanya terbahak bahak..
Kamu itu bodoh, jawab sepi. Tapi kamu lebih bodoh lagi jika hanya terdiam di sini. Menjadilah bayang seperti takdirmu. Tidak perlu banyak bicara atau tanya. Jagalah badan dengan kediamanmu. Jalanilah takdirmu dengan ikhlas, karena bayang tidak akan pernah ada, Seperti dirimu. Kemayaan yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H