Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cellis Er, Pemanggil Hujan

11 Juli 2016   16:59 Diperbarui: 11 Juli 2016   18:29 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Domesia Novi

Er masih tersenyum tenang.“ Itu tanda kalian berotak dangkal! Kalian tidak pernah melihat dengan mata batin kalian. Bagi kalian kebenaran hanya ada di mata dzohir kalian. Apakah kalian lupa, bagaimana kalian memintaku untuk mendatangkan hujan. Dan kalian rasakan sendiri nikmatnya hujan dari nyanyian celloku ini."

“Hei berani sekali kau katakan otak kami dangkal, jika otak kami dangkal, tidak mungkin kami bisa menjadi berlimpah harta seperti sekarang ini." Seorang berdasi, salah satu perangkat desa terlihat marah. Dari kerumunan terdengar gemuruh gumam penuh geram.

“Tenang, pak Sekdes, biar kami saja yang urus Er ini. Ini sudah tugas kami,”kata sang komandan, menahan tubuh Sekdes yang hendak maju menyerang.

“Kau sudah keterlaluan, Er. Setelah kau ganggu kami dengan suara cellomu yang selalu memanggikan hujan sehingga kami setiap hari harus berbasahkuyup. Jelas jelas engkau menghina kami semua dengan perkataanmu!” Sang Komandan maju beberapa langkah mendekati Er.

“Haha.. lagi lagi engkau keliatan kebodohanmu wahai pak Sekdes yang terhormat. Apakah engkau mengukur otak kalian hanya dengan materi yang kalian dapat. Sedang harta hanyalah titipan bagi dirimu. Apakah dengan itu kalian merasa terhormat? Sungguh naif engkau pak Sekdes. Kemuliaanmu bukan berasal dari harta yang engkau punya, Kemuliaanmu ada pada bagaimana engkau menghormati dirimu sendiri dan manusia lainnya sebagai manusia yang bernorma. Apakah kalian masih bangga dengan hidup kalian sedang kalian tutup mata dengan mereka yang ada di pinggiran desa? Hingga mati mereka  hanyalah belulang. Hujan yang kupanggilkan kalian tampung sendiri tanpa mau berbagi. Aku memainkan cello ini juga demi mereka. Agar mereka bisa meraskan sejuknya air hujan yang selama ini kalian nikmati sendiri. Apakah aku salah?Er menyeruput kopi lagi.

Pak kepala desa berjalan mendekati Er. “Iya, engkau salah. Apapun alasanmu, engkau tetaplah salah, karena hujan yang engkau panggil terus menerus telah mengganggu kehidupan kami, jalannya pemerintahan juga keamanan.”

“Haha.. kami siapa yang kalian maksud? Kami dari segelintir kalian. Dan aku tau, kalian yang di sini sebenarnya hanyalah orang orang yang datang karena sebungkus nasi untuk keluarga kalian. Aku tahu kalian hanyalah orang yang tertindas keadaan. Keadaan yang selalu dipertahankan oleh pemilik rumah terbesar di desa ini."

“Cukup Er! Tidak usah engkau banyak berkata. Sekarang engkau mau hentikan suara cellomu atau kami akan bertindak atas nama kebenaran di desa ini.” Sang Komandan kembali bicara.

“Kebenaran? Ahh, sudah lama aku tidak mendengar suara kebenaran.” Suara Er terdengar sedih. Wajahnya menengadah ke langit.

“Kebenaran di sini, adalah kesepakatan kami dari pemimpin desa ini. Kami dipilih oleh para warga.”

“Lagi lagi, kebodohan yang kalian pertontonkan padaku. Kalian berbicara kebenaran tapi tidak tau kebenaran itu apa? Apakah kalian hendak berkata bahwa suara terbanyak adalah suara Tuhan? Apakah pernah kalian bertanya pada diri kalian, apakah kalian benar benar tau apa yang kalian bicarakan? Atau hanya ikut apa kata ketua kalian? Haha.. Suara Tuhan tetaplah suara Tuhan. Terlalu sombong jika kalian menyamakan suara kalian dengan suara Tuhan yang Serba Tau apapun tentang kehidupan ini." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun