Akemi menutup wajah. Tangisnya pecah. Segera ku dekap erat Akemi. Mengusap rambut panjang serta punggungnya. Kedua mataku panas. Tidak bisa ku tahan setetes air dari kelopak mataku. Ku tarik nafas panjang. Akemi, akupun seperti dirimu. Sakitmu juga seperti sakitku. Tapi inilah yang terbaik. Semua demi dirimu meskipun aku sendiri tidak inginkan semua terjadi seperti ini, batinku. Aku semakin erat memeluk Akemi. Akemi masih saja menangis. Semakin erat memeluk.
Beberapa bunga yama zakura jatuh di depanku. Perlahan aku renggangkan pelukan. Sebentar aku mengambil bunga sakura yang terjatuh tadi. Ku sibak wajah Akemi yang masih tertunduk lalu mengangkat lembut wajah itu. Ku tatap dalam-dalam mata basah itu. Dengan senyum yang berat ku berkata,” Senyumlah Akemi.”Tanganku segera menyelipkan Yama Zakura ke telinga kirinya. “Senyumlah Akemi, senyumlah untukku. Karena ini mungkin yang terakhir untukku.”
Aku tak kuasa menahan satu tetes dari kelopak mataku. Lagi. Apalagi Akemi. Segera ia memelukku dengan tangis pecah.
Matahari semakin tenggelam. Tinggal separuh di horizon.
“Saatnya sebentar lagi, Akemi. Jangan pernah merasa sendiri. Akan datang orang terbaik untukmu. Aku yakin itu. Meskipun aku tidak lagi bersamamu. Sungguh diriku akan selalu menatapmu dari jauh. Memastikan dirimu baik baik saja. Tetaplah kuat. Jangan mudah terpengaruh oleh bisikan bayangan hitam itu. Karena dari situlah cahayamu akan semakin indah.”
Akemi tidak menjawab. Hanya semakin mempererat pelukan. Aku menarik nafas. Lalu ikut mempererat pelukan. Bersama cahaya terakhir dari matahari, perlahan tubuhku memudar.
“Bisikankanlah pada angin, jika engkau ingin berbicara padaku.” Bisikku di telinga Akemi.
Semakin lama pandanganku terasa menjauh. Wadagku telah menyatu dengan angin yang berhembus menjauhi Akemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H