Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari di Tanah Impian

17 Juni 2016   05:45 Diperbarui: 17 Juni 2016   07:29 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akemi menutup wajah. Tangisnya pecah. Segera ku dekap erat Akemi. Mengusap rambut panjang serta punggungnya. Kedua mataku panas. Tidak bisa ku tahan setetes air dari kelopak mataku. Ku tarik nafas panjang. Akemi, akupun seperti dirimu. Sakitmu juga seperti sakitku. Tapi inilah yang terbaik. Semua demi dirimu meskipun aku sendiri tidak inginkan semua terjadi seperti ini, batinku. Aku semakin erat memeluk Akemi. Akemi masih saja menangis. Semakin erat memeluk.

Beberapa bunga  yama zakura jatuh di depanku.  Perlahan aku renggangkan pelukan. Sebentar aku mengambil  bunga sakura yang terjatuh tadi. Ku sibak wajah Akemi yang masih tertunduk lalu mengangkat lembut wajah itu. Ku tatap dalam-dalam mata basah itu. Dengan senyum yang berat ku berkata,” Senyumlah Akemi.”Tanganku segera menyelipkan Yama Zakura ke telinga kirinya. “Senyumlah Akemi, senyumlah untukku. Karena ini mungkin  yang terakhir untukku.”

Aku tak kuasa menahan satu tetes  dari kelopak mataku. Lagi. Apalagi Akemi. Segera ia memelukku dengan tangis pecah.

Matahari semakin tenggelam. Tinggal separuh di horizon.

“Saatnya sebentar lagi, Akemi. Jangan pernah merasa sendiri. Akan datang orang terbaik untukmu. Aku yakin itu. Meskipun aku tidak lagi bersamamu. Sungguh diriku akan selalu menatapmu dari jauh. Memastikan dirimu baik baik saja. Tetaplah kuat. Jangan mudah terpengaruh oleh bisikan bayangan hitam itu. Karena dari situlah cahayamu akan semakin indah.”

Akemi tidak menjawab. Hanya semakin mempererat pelukan. Aku menarik nafas. Lalu ikut mempererat pelukan. Bersama cahaya terakhir dari matahari, perlahan tubuhku memudar.

“Bisikankanlah pada angin, jika engkau ingin berbicara padaku.” Bisikku di telinga Akemi.

Semakin lama  pandanganku terasa menjauh. Wadagku telah menyatu dengan angin yang berhembus menjauhi Akemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun