“Terserah, itu hakmu, tapi sungguh sangat menyedihkan, bila seorang dewi, yang katanya pemilik kurusetra, merasa bisa tahu semua apa yang terjadi pada orang orang yang singgah ke Kurusetra, apalagi menjelajah isi hatinya lalu berbisik dan berteriak akan sesuatu yang tidak engkau tahu. Hahaha”
Aku tertawa geli mendapati Durganini ternyata seorang yang angkuh dan sombong seakan sederajat dengan Tuhan, yang bisa tahu segalanya.
Durganini semakin mendelik dengan merahnya mata. Dengan sekelebat, aku segera pergi. Tidak penting meneruskan pembicaraan dengan seorang yang merasa tahu segalanya, sedang dia bukan Tuhan. Aku pergi menelusuri Kurusetra dalam remangnya malam. Ketika ayam bersahutan, aku kembali pada wadagku.
Surya kembali bersinar, gamelan Megatruh kurusetra masih tertabuh. Artinya perseteruan harus tetap digelar. Awalnya, ingin sekali kuangkat ribuan gunung lalu kuhempaskan pada Kurusetra agar Durganini yang merasa sombong itu remuk di bawahnya. Ahh, tapi untuk apa. Itu hanyalah syahwat angkara. Bila kulakukan, apa bedanya aku dengan dia? Aku segera melangkah ke pojok Kurusetra, tempat biasanya aku duduk dan bercengkrama dengan orang-orang yang ada. Ku kemasi semua barangku.
Aku pikir lebih baik meninggalkan Kurusetra ini. Bukan aku takut pada Durganini. Tapi aku lepaskan semua hal yang berkaitan dengan dirinya. Agar dia tahu, bahwa aku tidak tergantung sedikitpun dengan dirinya. Dan dia tiadalah bernilai untukku. Kurusetra bukanlah satu satunya tempatku hidup. Masih ada beribu padang padang nan menghijau yang bisa menjadi tempat berkehidupan dengan damai.
Gamelan Megatruh mengalun semakin riuh. Bisik bisik tak bertuan berseliweran, menebar kabar kabar tidak jelas. Aku tersenyum.
Ku mengheningkan cipta. Melayangkan sukma menyusuri setiap celah Kurusetra. Ku dapati bibir Durganini semakin hari semakin memanjang. Bercerita bahwa dia Sang Maha Tau dan Sang Maha Cinta. Memanjang berkeliling padang Kurusetra hingga ratusan kilometer.
“Ahh, begitulah rupa kecantikanmu, wahai Durganini? Mendongeng cerita cinta yang sebenarnya hanyalah imajinasimu sendiri, hingga entah berapa panjang bibirmu di Kurusetra.
Aku tersenyum. Dan kembali ke wadagku di sebuah bukit yang selalu bermahkota purnama rembulan.
Durganini, orchestra ini tak akan berhenti, hingga ku dapati engkau berlutut di depanku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H