“Duhai, Durganini kenapakah Engkau menabuh gamelan Megatruh di Kurustra? Apa yang kau inginkan? Apakah selama ini aku mengganggumu?” Tanyaku lembut meskipun hatiku penuh dengan badai dan petir.
Durganini masih saja terbahak. Matanya yang membulat berlapis tepian hitam tidak berkedip menatapku. Bibirnya merah merekah bagai kuntum mawar.
“ Ha haha, Kurusetra ini adalah milikku, maka semua yang ada di dalamnya adalah milikku. Jika aku merasa terganggu, aku tiada segan-segan melemparnya keluar! Termasuk dirimu!”
“Apa salahku?”
“Karena kau menaburkan cinta?”
“Cinta? Kau membenciku karena sebuah cinta?”
“Aku tidak mau kehilangan sahabat karena cinta yang tabur!” Pekik Durganini.
“Hahaha..” Aku tidak bisa menahan tertawa. “Apa yang kau tau tentang cinta. Apakah karena engkau telah berumur ratusan tahun, sehingga engkau merasa tahu tentang apa hakekat cinta? Sedang dirimu setiap hari bergelut dengan fatamorgana-fatamorgana yang kau anggap sebuah cinta. Engkau tidak rela, bila seseorang termasuk sahabatmu menemukan hakekatnya lalu mencecap manisnya.”
Durganini mendelik. “Cintamu yang fatamorgana!”
“Sungguh kasian dirimu wahai, Durganini. Engkau merasa sebagai dewi yang tahu segala hal. Tapi sesungguhnya engkau hanyalah bermimpi. Yang tampak olehmu hanyalah, silhuet silhuet kecemburuan pada dirimu sendiri yang masih saja bergelut dengan fatamorgana.”
“Aku yakin apa yang ku yakini!” Durganini berteriak.