Dengan suara sedikit bergetar, Rhein bersuara lirih di sebelah telingaku sambil memeluk lebih erat.
“Doakan aku, . Doakan semoga bisa menjalani dengan baik.”
Aku eratkan pelukan. Cemara yang terpasang di kepalanya terguncang di wajah sebelah kananku.
“Benarkah kamu akan melakukannya, Rhein? Tidakkah engkau pikir sekali lagi?” tanyaku tak menjawa permintaannya. Aku belum yakin kalau Rhein, sahabatku benar benar melakukan yang dalam logikaku tidak bisa aku terima.
“Sudah, aku sudah yakin dan siap apapun yang terjadi.” Jawab Rhein masih dengan getar dan isak.
Rhein melepaskan pelukan. Dengan jemariku, aku hapus tetes tetes bening di ujung matanya.
“Udah, jangan menangis. Aku selalu doakan dirimu, Rhein. Sekarang bukan waktunya untuk menangis.
Cepatlah masuk. Penghulu sudah siap di sana.”
--***---