Saat muncul berita kenaikan utang pemerintah, sekelompok orang cepat-cepat masuk dapur. Menyalakan tungku, memancang wajan, lalu melumurinya dengan minyak jelantah. Ya, mereka tengah siap-siap menggoreng isu itu. Akan digoreng selama mungkin, sampai gosong.
Kegiatan memasak memang selalu asyik. Lebih-lebih masakannya diminati para foodies. Apalagi sampai bisa bikin ketagihan pecinta kuliner. Â Ada kegembiraan yang tak terperi. Begitu pula ketika menggoreng isu utang. Kian gosong, kian dinanti. Makin legam, makin gurih. Dan, di dapur itu, bersoraklah para juru goreng.
Tentu, tidak semua daftar menu isu utang bakal laku keras. Yang bernada optimistis dan logis, kurang laku dan karenanya tidak mereka olah. Sebaliknya, yang bertendensi mencekam, meneror, dan buruk sangka, lekas mereka cemplungkan ke wajan penggorengan tadi.
Yang dipersepsikan mencekam, sebutlah, misalnya, kenaikan nominal utang pemerintah. Per Agustus, nominalnya menyentuh Rp6.625 triliun atau Rp55,27 triliun dibanding bulan sebelumnya. Di wajan penggorengan, kenaikan utang itu dibumbui rupa-rupa stigma, dari rezim tukang utang sampai warisan utang buat anak-cucu.
Contoh lainnya, komparasi utang antar periode pemerintahan. Umpamanya, penambahan utang zaman Presiden SBY tidak ada apa-apanya dibanding era Presiden Jokowi. Bumbu narasinya: pemerintah yang tambah utang mesti dimusuhi, sekurang-kurangnya dicaci-maki.
***
Tepat 30 September kemarin, DPR mengesahkan UU APBN 2022. Belanja negara ditargetkan sebesar Rp2.714,16 triliun. Pendapatan Rp1.846,14 triliun. Sehingga defisit---yang akan ditambal dengan utang---mencapai Rp868,02 triliun. Angka-angka itu sudah disepakati, sudah disetujui, sudah ditetapkan, sudah disahkan oleh lembaga legislatif.
Apa makna pengesahan itu?
Maknanya: (1). DPR menyetujui tambahan utang untuk tahun depan. (2). Wakil rakyat memastikan penarikan utang sah secara konstitusi. (3). Legislator memahami konsekuensi kenaikan utang, baik nominal maupun rasio-rasionya, di masa mendatang.
Sampai di sini, kita memahami, utang yang ditarik pemerintah bukan kebijakan sepihak Menkeu atau Presiden, namun ditanggung renteng bersama DPR. Sampai di sini pula, semua mestinya paham, utang digelar secara transparan, lewat jalur yang sah, dan tak akan bisa direalisasikan tanpa restu dari parlemen.
Jadi, kalau APBN sudah disahkan oleh DPR sendiri dan kemudian terdapat anggota dewan yang mengecam kebijakan utang, maka itulah kekonyolan level empat. Mereka melempar batu, lalu sembunyikan tangannya. Mereka yang nabuh gendang, mereka pula yang menari.
***
Para tukang goreng utang juga sama konyolnya. Mereka melakukan perundungan hanya terhadap pemerintah, tapi tidak kepada wakil rakyat saat mereka menyetujui pelebaran defisit. Jelas-jelas, DPR-lah yang mengesahkan UU APBN sebagai basis pemerintah menempuh jalan utang.
Namun, mengolok-olok DPR rasanya bukan menu yang bakal laris. Akan lebih dinanti kalau objeknya adalah eksekutif, misalnya Menkeu. Makanya, pengesahan UU APBN 2022 tidak digoreng dari sisi utang. Adem-adem saja. Berkebalikan cerita dengan rilis laporan realisasi utang dan pinjaman dalam buku APBN Kita baru-baru ini. Realisasi utang hingga Agustus digoreng dalam semangat empat lima.
Kalau memang mau konsisten menjadi kelompok anti utang, mending lakukan lewat jalur-jalur resmi dan berkelas. Misalnya, lewat uji materi UU APBN 2022 ke Mahkamah Konstitusi. Kalau memang sanggup, tunjukkan defisit APBN bertentangan dengan UUD 1945. Kalau memang jagoan, silakan uji di Mahkamah, gandeng pengacara jempolan, dan kalahkan pemerintah-DPR.
Betapa pun, sejujurnya, saya tidak yakin tukang goreng utang becus menyusun dalil-dalil hukum untuk dihadapkan ke Yang Mulia Majelis Hakim MK. Yang mereka mampu baru sebatas nyinyir, bully, dan sumpah serapah. Karena memang cuma itu isi kepalanya. Tiada yang lain.
***
Di beberapa periode pemerintahan sebelumnya, katakanlah benar: penambahan jumlah utang tidak sebanyak sekarang. Lalu, hasilnya apa? Bangga utang sedikit tapi kita tetap begini-begini saja? Tidak ada lompatan berarti, tiada terobosan signifikan. Konsisten memble.
Kalau tidak mau berutang, negara akan kesulitan membeli ratusan dosis vaksin, memberi insentif tenaga kesehatan, menyelenggarakan PON XX Papua, membangun MRT, menyambung jalur kereta api, memintarkan anak-cucu dengan beasiswa, dan membuat waduk irigasi. Seluruh kebutuhan tersebut berkategori penting, bahkan mendesak.
Poinnya bukanlah seberapa besar utang kita, tapi seberapa mampu membayarnya. Sejauh ini, Indonesia masih baik-baik saja, meski berutang. Tidak pernah ada cerita gagal bayar. Tidak juga pernah aset yang dihasilkan lewat utang dihujat, yang ada justru dinikmati oleh mereka yang hobi mengecamnya.
Jika kita tarik mundur, kalau mau jujur, Indonesia sudah berkencan dengan kemiskinan jauh sebelum merdeka. Hingga sekarang pun, negeri ini masih berstatus negara berpendapatan menengah-bawah. Bukan negara kaya. Sama sekali bukan.
Jadi, jangan sok kaya, apalagi sok anti utang. Bila mau lebih jujur lagi, hari ini kita bisa punya jalur kereta api ganda, MRT, jalan tol merata ribuan kilometer, fasilitas akses internet, punya fasilitas pendidikan lumayan, itu semua---secara langsung maupun tidak---karena utang.
Bahkan, karena utang itu pula---sekali lagi, secara langsung maupun tidak---berapa juta warga negara telah diselamatkan dari kematian tersebab pagebluk Covid-19. Untuk vaksinasi gratis, perawatan rumah sakit, obat-obatan, hingga insentif tenaga kesehatan.
Berutang untuk menyelamatkan nyawa manusia, masih tega juga kalian caci-maki?
***
Utang pemerintah perlu terus diperbaiki penggunaannya, itu iya. Alokasi belanja butuh terus dipacu kualitasnya, itu betul. Pengelolaan utang yang mesti super hati-hati, itu jelas. Dan, rasa-rasanya sejumlah birokrat pemerintah sudah terang benderang mengakuinya: masih banyak kekurangan di sana-sini.
Tapi secara ekstrem menafikan manfaat utang, itu jelas tidak objektif. Biar bagaimana pun, utang hanyalah alat. Ya, alat untuk menyelamatkan jiwa warga negara. Juga, alat menyiapkan generasi penerus lebih kompetitif: lewat vaksinasi, infrastruktur, dan pembangunan di bidang SDM.
Akhir kata, untuk sekelompok orang yang masih gemar menggoreng utang, teruskan obsesi kalian. Lanjutkan saja aksi memusuhi kebijakan utang. Meskipun pada saat yang sama, bersiaplah untuk kecele. Â Narasi provokatif kalian tidak akan lagi laku, dan bakal membusuk bersama zaman. Karena generasi belia saat ini sudah mulai paham: memusuhi utang sama dengan memusuhi masa depan mereka.
Cheers....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H