Mohon tunggu...
Ken Satryowibowo
Ken Satryowibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Covid Bukan Canda

Pencari pola. Penyuka sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Money

Memusuhi Utang, Memusuhi Masa Depan

4 Oktober 2021   16:07 Diperbarui: 4 Oktober 2021   16:42 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, kalau APBN sudah disahkan oleh DPR sendiri dan kemudian terdapat anggota dewan yang mengecam kebijakan utang, maka itulah kekonyolan level empat. Mereka melempar batu, lalu sembunyikan tangannya. Mereka yang nabuh gendang, mereka pula yang menari.

***

Para tukang goreng utang juga sama konyolnya. Mereka melakukan perundungan hanya terhadap pemerintah, tapi tidak kepada wakil rakyat saat mereka menyetujui pelebaran defisit. Jelas-jelas, DPR-lah yang mengesahkan UU APBN sebagai basis pemerintah menempuh jalan utang.

Namun, mengolok-olok DPR rasanya bukan menu yang bakal laris. Akan lebih dinanti kalau objeknya adalah eksekutif, misalnya Menkeu. Makanya, pengesahan UU APBN 2022 tidak digoreng dari sisi utang. Adem-adem saja. Berkebalikan cerita dengan rilis laporan realisasi utang dan pinjaman dalam buku APBN Kita baru-baru ini. Realisasi utang hingga Agustus digoreng dalam semangat empat lima.

Kalau memang mau konsisten menjadi kelompok anti utang, mending lakukan lewat jalur-jalur resmi dan berkelas. Misalnya, lewat uji materi UU APBN 2022 ke Mahkamah Konstitusi. Kalau memang sanggup, tunjukkan defisit APBN bertentangan dengan UUD 1945. Kalau memang jagoan, silakan uji di Mahkamah, gandeng pengacara jempolan, dan kalahkan pemerintah-DPR.

Betapa pun, sejujurnya, saya tidak yakin tukang goreng utang becus menyusun dalil-dalil hukum untuk dihadapkan ke Yang Mulia Majelis Hakim MK. Yang mereka mampu baru sebatas nyinyir, bully, dan sumpah serapah. Karena memang cuma itu isi kepalanya. Tiada yang lain.

***

Di beberapa periode pemerintahan sebelumnya, katakanlah benar: penambahan jumlah utang tidak sebanyak sekarang. Lalu, hasilnya apa? Bangga utang sedikit tapi kita tetap begini-begini saja? Tidak ada lompatan berarti, tiada terobosan signifikan. Konsisten memble.

Kalau tidak mau berutang, negara akan kesulitan membeli ratusan dosis vaksin, memberi insentif tenaga kesehatan, menyelenggarakan PON XX Papua, membangun MRT, menyambung jalur kereta api, memintarkan anak-cucu dengan beasiswa, dan membuat waduk irigasi. Seluruh kebutuhan tersebut berkategori penting, bahkan mendesak.

Poinnya bukanlah seberapa besar utang kita, tapi seberapa mampu membayarnya. Sejauh ini, Indonesia masih baik-baik saja, meski berutang. Tidak pernah ada cerita gagal bayar. Tidak juga pernah aset yang dihasilkan lewat utang dihujat, yang ada justru dinikmati oleh mereka yang hobi mengecamnya.

Jika kita tarik mundur, kalau mau jujur, Indonesia sudah berkencan dengan kemiskinan jauh sebelum merdeka. Hingga sekarang pun, negeri ini masih berstatus negara berpendapatan menengah-bawah. Bukan negara kaya. Sama sekali bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun