Mohon tunggu...
Kenong Veyza
Kenong Veyza Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Baperan

Pecinta dunia aksara dan suara ....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setoples Nastar Untuk Anakku

5 April 2023   19:43 Diperbarui: 5 April 2023   19:48 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setoples  Nastar Untuk Anakku


Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Sudah menjadi sebuah tradisi jika menjelang Hari Raya selalu membuat aneka kue kering. Dengan berbagai macam bentuk dan juga beragam jenisnya. Dari kue yang tradisional sampai kue nasional. Entah sebagai ucapan rasa syukur ataupun sebagai bentuk uforia suka cita karena telah sebulan menjalankan ibadah puasa.  Dan juga sebagai bentuk kemenangan amal yang telah dijalani.

Tidak lupa juga ketupat dan opor selalu menghiasai meja makan saat Hari Raya tiba. Seminggu sebelum hari kemenangan, banyak rumah-rumah mengepulkan asap dari dapur mereka. Aroma-aroma menggugah selera juga kerap menguap terbawa angin dan tercium olehku.

"Sedapnya bau ..." Aku menghirup dalam aroma tersebut. Anakku yang sedang bermain seketika menoleh ke arahku. Wajahnya nampak keheranan melihat ibunya menciumi udara.

"Lagi ngapain, Bu?" tanya anakku yang mulai berjalan mendekat menghampiriku. Dengan lucunya ia menirukan apa yang tengah kulakukan. "Baunya kayak enak ya, Bu?"

Aku mengangguk sebagai jawaban sambil melihat Azka yang menutup hidungnya lalu melepasnya lagi dan menutup kembali hidungnya.

"Mbah Sur lagi bikin kue kali, Ka. Dari baunya kayak lagi bikin yang enak-enak." Kami berdua akhirnya saling menghirup aroma dan bermain tebakan kue apa yang sedang dibuat oleh Mbah Sur.

Mbah Sur sendiri terbiasa menerima orderan membuat kue di saat musim seperti ini. Biasanya tetangga banyak menggunakan jasanya dalam pembuatan kue tradisional seperti sagon dan juga kue kue lainnya seperti nastar. Selain sebagai kegiatan positif hal ini juga tentunya menambah penghasilan baginya. Dan setiap harinya aku selalu disuguhi aroma enak.

Untuk menyambut hari kemenangan memang terkadang orang-orang biasa dengan mudahnya merogoh dompet mereka untuk membeli ini itu. Agar bisa membuat jamuan yang layak bagi tetangga yang akan berkunjung silaturahmi.

Menyulap jadi yang tidak ada menjadi ada.

Azka yang sejak tadi siang sudah tergiur aroma kue, datang menghampiriku yang tengah sibuk persiapkan menu buka puasa. Sambil memainkan jemarinya, perlahan bibirnya tersenyum.

"Mah, kita kapan buat kuenya? Pengen buat yang bulet-bulet."

Mendengar ucapannya aku sedikit mengangkat alis. "Bulet-bulet?" Batinku bertanya kue apa yang bentuknya bulet-bulet. Satu nama muncul di kepalaku. Nastar!

"Oh, maksud Kaka bulet-bulet itu kue nastar? Kenapa pengen buat nastar, Ka? Pasti pengen ikut mainan?!" Azka meringis memamerkan gigi gupisnya. Ingin rasanya kucubit pipinya. Karena setiap membuat sesuatu ia pasti selalu duluan ingin mencobanya.

"Kok Mama tahu? Aku pengen ikut bantuin, Ma! Pengen ikut bulet-buletin," jawabnya dengan wajah lugu.

Sudah kuduga. Pasti hanya akan bermain saja, tetapi bilangnya ingin membantu. Bentuknya pun kadang kecil kadang besar. Tak beraturan layaknya kue. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Namanya anak kecil pasti punya rasa ingin tahu yang menggebu.

**

Benar saja. Setelah semua bahan terbeli dan siap jadi adonan, Azka sudah nangkring tepat di hadapanku. Tangan kecilnya mulai berkeliaran menyentuh sana sini. Aku sekilas melirik memberi pertanda 'jangan,' tapi tidak ditanggapi sama sekali. Malah semakin bertambah penasaran.

Karena tak kunjung paham akan kodeku, aku akhirnya bersuara. "Kalau ingin bantuin, Kaka cuci tangan dulu," ucapku langsung dijawab dengan langkah kecilnya menuju krain air dan mencuci tangannya. Bersih.

Setelah selesai, dengan bangganya ia pamerkan tangannya padaku. "Udah, Mah. Udah boleh kan ikut bantuin?" Tanyanya diiringi senyum manis merekah di kedua pipi.

Tanpa menunggu jawabanku, tangan kecilnya langsung mengambil adonan dan membulatkannya di kedua telapak tangan. Aku menegurnya jika bulatannya terlalu besar dan terlalu kecil.

"Jangan kebesaran, Ka! Nanti enggak matang sempurna," ucapku padanya.

"Biarin! Ini nanti buatanku khusus buat aku, Ma. Aku mau masukin ke toples sendiri," jawabnya singkat.

Tak terasa adonan pun telah habis. Tinggal waktunya memanggang dalam oven. Selama menunggu, ia selalu berdiri di sampingku. Sudah tak terhitung berapa kali matanya mengintip lewat kaca jendela oven tersebut. Bibirnya kadang mengerucut ke depan seolah tak sabar ingin segera mencicipinya.

"Mah, cepet buka! Udah gak sabar pengen makan," rengeknya. Aku hanya bisa mengelus punggungnya. Memberikan energi kesabaran agar ia bisa mengerti kalau kuenya memang belum matang.

"Sabar, Ka! Bentar lagi matang. Mending nunggunya sambil mainan lego aja?" titahku. Akan tetapi, ia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya.

Aroma kue nastar mulai tercium. Wajah anakku juga terlihat mulai antusias kembali setelah jenuh menunggu. "Hmmm, baunya enak, Mah!" Ucapnya berkali-kali.

Gegas kubuka tutup oven dengan tangan kananku. Aroma harum kue seketika terhirup hidungku. Azka pun langsung mepepetku terus mengawal loyang kue hingga tergeletak di meja. Tangan kecilnya hendak menyentuh kue. Aku yang melihat langsung menahan tangannya.

"Nanti dulu, Ka! Masih panas. Tunggu hangat dulu." Mendengar ucapanku Azka menarik kembali tangannya. Dengan tatapan mata yang masih tertuju kue berbentuk bulat itu.

"Mah kuenya udah hangat. Bolehkah buatanku kutaruh dalam wadah?" kata Azka dengan tangan telunjuknya menyentuh kue nastar yang tak lagi panas. Aku memandang wajahnya sebentar, lalu menyodorkan satu toples plastik bertutupkan warna biru. Sesuai warna kesukaannya.

"Ini toplesnya, Ka. Disusun yang rapi ya?"

"Iya, Ma." Jawabannya sungguh singkat. Tangannya pun mulai memasukkan kue nastar satu per satu ke dalam toples. Sedangkan mulutnya terus sibuk mengunyah kue. Satu kue dimasukkan toples, satu kue lagi masuk ke dalam mulut kecilnya. Melihatnya menikmati kue dengan begitu bahagia membuat hatiku ikut bahagia.

Apalagi ia ikut membantu sejak pembuatan. Ini membuatku lebih bahagia dan juga rempong karena merasa sedikit terganggu. Akan tetapi itulah dunianya sekarang. Dimana dunianya yang memancing rasa keingintahuannya muncul meledak-ledak tanpa bisa kuduga.

Dan setoples kue nastar yang ia buat sendiri khusus untuknya. Disimpan sendiri dan dimakan sendiri. Ini mengajarkan bahwa aku harus bisa sabar kala berhadapan dengan maunya. Walau terkadang timbul amarah jika inginnya tak sesuai, setidaknya diri ini masih inginkan kebersamaan yang dijalani penuh arti dan juga makna dalam pembelajaran tentang kehidupan. Agar bisa menyambut hari kemenangan dengan suka cita yang lebih bersama keluarga.

Selesai

Gerimis di bumiku, 5 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun