Aku yang sedari tadi sedih, kesal karena kelakuan Bapak, bahkan bersiap mencaci jika terjadi keributan dibawah tadi, malah sebaliknya. Sekuat tenaga menahan tangis, berusaha tegar dan memasang wajah puas penuh kebencian di depan adikku.
Ketika mesin mobil mulai di nyalakan, terbesit di kepala untuk berlari menemuinya sekedar mengucapkan kata perpisahan. Namun egoku masih begitu besar, malam itu yang ku fikirkan hanya dia harus segera pergi dari hidup kami.
"Sudah pergi ya kak?"
Dengan tatapan polos adikku bertanya pelan.
Namun tatapan itu membuat lidahku kelu untuk menjawabnya, aku kehabisan kata-kata.
Hatiku menangis sejadi-jadinya, menatap malang adik kecilku yang mungkin perasaannya sedang hancur, yang mungkin hati kecilnya berkata tidak ingin Bapak pergi atau bingung kenapa Bapak tega. Aku ingin memeluknya tapi gengsi seakan menahanku melakukannya.
"Sudah, memang seharusnya dia pergi, anggap aja nggak ada. Kasian kan ibu kalau harus diperlakukan kayak gitu. Suatu hari pasti dia nyesel udah ninggalin kita demi perempuan yang lebih jelek dari Ibu." Jawabku dengan nada sinis dan wajah mengantuk.
Hampir tengah malam dan aku memutuskan untuk menuju kasur dan membaringkan badanku ke arah dinding. Menangis sejadi-jadinya, karena aku tahu betul bukan hanya dia yang akan menyesal karena meninggalkan kami, tapi aku juga akan sangat menyesal karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal atau menatapnya lebih dekat untuk terakhir kalinya.
Hingga kini, sejak malam itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Walau adikku masih saling bertemu satu atau dua bulan sekali, aku tetap tak mau menatapnya lagi.
Aku berada di jurang kebencian dan kerinduan yang mematikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H