Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

27 September 2014   12:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:18 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis dengan cara seperti ini saya lakoni sampai bulan-bulan berikutnya. Warnet masih menjadi "teman" saya, sebab saya belum punya "mesin tik". Barulah pada bulan Oktober 2012 saya bisa membeli sebuah netbook. Kecil tapi berguna. Dari benda ini saya kemudian menghasilkan beberapa naskah buku. Maka, kalau boleh dibilang, tahun 2013 adalah tahun tergila saya dalam menulis. Kalau tidak salah hitung, sampai detik ini, saya sudah menulis sekitar 13 naskah buku. Tiga di antaranya sudah terbit: Dermaga Batu (kumpulan puisi, 2013), Jalan Setapak Aisyah (kumpulan cerpen, 2013), dan Minus Menangis (kumpulan cerpen, 2014). Beberapa naskah lain belum terbit karena sering juga mengalami penolakan di penerbit. Tapi saya tidak mau berhenti. Sejak terbitnya Dermaga Batu, saya sudah ketagihan untuk menerbitkan buku lagi dan lagi.

Tapi, dari sekian ratus cerpen yang saya tulis—baik itu yang saya kirim ke berbagai lomba, atau yang dihimpun dalam kumcer—saya tak pernah sekali pun menembus koran. Selama ini saya hanya bisa menembus media cetak lewat "sedikit puisi" dan "sedikit artikel". Saya tahu kemampuan saya kurang, maka saya terus mengasahnya. Saya tidak berhenti dan terus mengirimkan cerpen-cerpen ke media cetak. Semakin saya ditolak oleh suatu media cetak (jujur saja, bukan ditolak, kadang digantung alias tidak ada kabar sama sekali, bahkan pernah sampai ada yang sepuluh bulan lebih!), semakin saya tahu saya harus berjuang lebih keras untuk bisa "mencuri" hati redaktur.

Karena ingin mengasah kemampuan menjadi lebih baik lagi, saya mulai mengikuti lomba-lomba bergengsi dan meninggalkan lomba-lomba kecil yang biasa saya ikuti via internet. Tujuannya agar saya bisa mengukur kemampuan saya, sebab juri-juri lomba bergengsi tentunya lebih kompeten dan ahli di bidangnya. Meski demikian, kegagalan masih saya dapat—banyak malah. Tapi saya tidak bosan. Saya tetap menulis.

Sampai suatu ketika, pertengahan Agustus 2014, ada kabar baik. Cerpen saya yang berjudul "Robot-Robotan di Rahim Ibu" berhasil menempati posisi juara dua dari lima ratus lebih peserta se-Indonesia dalam ajang ASEAN Young Writer Award 2014. Dengan kata lain, saya termasuk satu dari dua peserta Indonesia yang terpilih di ajang bergengsi tingkat Asia Tenggara ini.

Meski tidak/batal ikut berangkat bersama Faisal Oddang (juara satu dari Indonesia) ke Bangkok, Thailand untuk menghadiri penyerahan penghargaan ini secara langsung, saya bersyukur karena mendapat plakat dan piagam dari ajang ini. Itu suatu saat akan menjadi bukti perjuangan yang bisa saya ceritakan kepada anak cucu. Sebuah kenangan manis yang tak terperi. Cerpen itu saya tulis tepat di hari ulang tahun saya yang ke-23, tepatnya pada Juni 2014. Saya tak menyangka, ide sederhana dari cerpen itu dapat diterima dan "menjebol" keraguan saya bahwa saya tidak bisa menulis cerpen dengan baik. Ternyata saya bisa.

Begitulah buah kesabaran. Setelah jatuh bangun, setelah menikmati proses, saya menemukan anak tangga pertama yang akan membawa saya ke puncak mimpi. Betapa tidak indah? Mimpi menjadi penulis saya tapaki pelan-pelan, membuat saya makin mantap dan yakin dengan "pilihan" jalan ini.

Dukungan dari orangtua, keluarga, sahabat, dan teman-teman membuat saya terus berjalan meski rintangan menghadang. Setelah kabar dari Bangkok itu, saya dikejutkan kabar lain, yakni bahwa salah satu naskah novel saya "dilirik" oleh penerbit mayor. Ini kejutan lain, sebab—walau naskah itu sederhana, karena seumur-umur baru kali itu menulis novel teenlit; jauh dari kebiasaan saya yang sering mengangkat tema dewasa—itu punya kesan tersendiri. Kenapa? Karena naskah itu adalah naskah novel pertama yang saya tulis di akhir tahun 2010 itu: naskah yang sempat membuat saya putus asa akibat dikritik teman. Saya tak menyangka naskah itu akan terbit dan tak lama lagi "mejeng" di rak toko-toko buku nasional.

Memang, sejak dikritik itu, saya tidak pernah menyentuh naskah ini. Saya tinggalkan dengan hanya 13-15 halaman dan tersimpan di ponsel. Tahun 2013, saya terdorong untuk menyentuhnya lagi, menambah sedikit ide baru, melanjutkannya sampai lebih dari 100 halaman. Istimewanya, naskah novel ini adalah naskah novel fiksi pertama yang saya tulis, tanpa "metode" kerangka atau membuat sinopsis terlebih dulu. Semua mengalir begitu saja dari awal sampai akhir. Judul yang dipilih untuk calon novel ini adalah "Matahari yang Setia" (tak lama lagi hadir di toko buku, jadi jangan lupa beli, ya. :D ).

Menulis memang butuh proses, kesabaran, dan kebiasaan. Dari secuil kebaikan yang saya raih lewat menulis, tentunya masih panjang proses yang harus saya lalui. Saya masih ingin belajar dan belajar. Saya haus mengasah kemampuan menulis.

Ada yang perlu kita ingat: belajar itu tanpa akhir. Yang berakhir hanya hidup. Maka, selalulah menulis, sebab masih banyak hal yang tidak kita tahu. Yang kita tahu pasti hanya satu: kelak kita mati. Mati meninggalkan tulisan, berarti mati menjadi sejarah. Mati tanpa tulisan, hilanglah kita dari cerita. Pilih yang mana, terserah kita. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun