Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

27 September 2014   12:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:18 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah rasanya seperti apa. Saya lupa. Mungkin seperti disuguhi satu kilo cabe rawit tanpa air minum. Sakit, panas, marah, kesal, intinya sekitar itu-itu sajalah. Itu kejadian tahun 2010 yang banyak menyisakan kenangan pahit di kehidupan saya. Kemudian setelah itu saya berhenti menulis. Saya putus asa. Saya belum sadar, bahwa dalam dunia kepenulisan juga diperlukan kritik agar ke depan karya kita jadi lebih baik. Tapi ketika itu saya tidak mau dikritik. Saya benci dikritik.

Saya teruskan aktivitas saya dengan tidak lagi menulis.

Hampir dua tahun kemudian saya baru mulai menekuni, membuang rasa kecewa itu, dan mengubahnya menjadi energi positif. Saya tidak tahu. Mungkin ini sudah takdirnya; saya bertekad tidak akan berhenti apa pun yang terjadi!

Mei 2012 saya mengikuti perlombaan. Pertama kali ikut, saya ingat, waktu itu saya menulis artikel tentang internet. Tulisan ini nyaris berhasil, tapi karena satu persyaratan yang tidak terpenuhi: "harus berteman dengan akun Facebook penyelenggara", maka naskah saya digugurkan alias batal menang. Tidak masalah.

Berikutnya, lomba menulis cerpen. Nah, ini yang menarik, karena saya tidak pernah menulis cerpen, sulit juga. Tapi akhirnya saya bisa. Saya ingat sekali, waktu itu hadiah pemenangnya adalah sepatu baru dan uang tunai, serta buku antologi hasil lomba yang diterbitkan. Saya langsung berpikir, "Ini saatnya membuat Ibu senang!" Sebab sejak dulu saya sering bilang bahwa saya ingin menulis, tapi saya tidak bisa mewujudkan itu. Sebagai seorang anak, saya ingin membuat Ibu tersenyum mendapati karya anaknya terbit. Itu saja cukup saya syukuri.

Tapi ketika pengumuman, lagi-lagi saya gagal. Entah kenapa kali ini sangat kecewa. Mungkin karena batal memberi "hadiah" buat Ibu. Atau mungkin karena panitianya sempat bilang bahwa cerpen-cerpen yang gagal itu dikarenakan ditulis jauh dari kaidah keislaman. Padahal waktu itu saya menulis tentang pengalaman semasa kecil dengan Ibu. Saya tidak paham isi kepala panitia itu, tapi saya tidak sudi untuk mencari tahu. Saya hanya tersinggung dan tidak akan mengikuti lomba di tempat itu lagi.

Setelah itu, tidak terhitung, banyak kekecewaan saya rasa. Gagal dalam perlombaan pun seolah jadi jadwal mingguan atau kadang harian, karena saking banyaknya lomba yang saya ikuti (yang kesemuanya saya tulis di komputer warnet). Awal-awal kecewa, tapi pelan-pelan terbiasa. Saya siap menerima kegagalan. Tapi satu kekurangan saya: saya masih tidak bisa dikritik.

Suatu ketika, saya tunjukkan cerpen saya ke seorang teman. Itu cerpen tentang kisah nyata saya. Kebetulan ketika itu saya sudah menjuarai satu kali perlombaan menulis, tepatnya sebagai juara dua. Karena jadi juara itulah, saya kemudian mengenal teman yang satu ini. Setelah membaca cerpen saya, dia bilang cerita itu terlalu mudah dan kurang istimewa. Saya seketika itu tersinggung dan menampik dia dengan berbagai penjelasan. Sebab, menulis kisah nyata itu harus apa adanya. Saya tidak sadar, bahwa ketika itu saya hanya sedang berkilah, alias tidak mau mengakui bahwa tulisan saya memang dikemas dengan kemasan yang kurang spesial, bahkan buruk.

Koleksi bacaan saya sedikit, tidak banyak. Mungkin itu yang membuat wawasan saya kurang terbuka. Maka, setelah saya membaca beberapa karya yang lebih berkualitas, sekitar seminggu kemudian saya sadar, bahwa kritik teman saya waktu itu benar. Saya malu mengatakan padanya. Tapi saya berjanji tidak akan marah, kesal, atau mengeluarkan ekspresi semacam itu lagi bila suatu hari nanti dikritik.

Dari titik ini saya memulai dengan langkah paling baru. Tidak ada pikiran-pikiran negatif. Saya hanya ingin membawa pemikiran positif. Juli 2012 menjadi garis start pendakian saya dengan pemahaman baru: siap menerima kegagalan dan siap tulisan saya "dihina".

Sejak itu, silih berganti lomba-lomba saya ikuti. Menang kalah sudah biasa, walau jauh lebih banyak kalahnya. Saya pikir tidak apa-apa, sebab kata orang bijak, kesuksesan butuh proses dan proses itu penting. Tanpa proses, manusia tidak akan bisa berkembang kecuali dengan cara menyuap atau menggunakan alat ajaib Doraemon. Tapi saya tidak mau melakukan itu, walaupun benar Doraemon ada di hadapan saya, dan walaupun benar saya punya uang dan celah untuk menyuap. Saya tidak mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun