Mohon tunggu...
Absah
Absah Mohon Tunggu... -

Mampir ngguyu...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesalahan Fatal di Survei Prof Thabrany tentang Rokok 50 Ribu

30 Agustus 2016   12:58 Diperbarui: 30 Agustus 2016   16:07 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bila harga rokok sebungkus 50 ribu rupiah, orang-orang miskin dan anak-anak akan berhenti membeli rokok. Benarkah? Penelitian ilmiah tentang ini sudah dilakukan oleh seorang Professor dari Universitas Indonesia. Berarti bisa dipastikan, secara ilmiah, pernyataan tersebut benar.

Lalu kenapa berani menyatakan ada kesalahan fatal di survei Prof Thabrany tersebut? Di mana, di apa atau di siapa letak kesalahan fatalnya?

Suatu penelitian ilmiah, selalu dilakukan dalam batasan-batasan yang ketat atas permasalahan yang diteliti. Seperti melihat melalui suatu mikroskop, hanya fokus pada suatu titik yang sangat sempit.

Prof Thabrany dalam survei awalnya, bertanya kepada warga miskin dan anak-anak, apakah mereka akan tetap membeli bila harga rokok 25 ribu sebungkus. Mereka yang ditanya menjawab tetap akan membeli. Bahkan pada survei berikutnya dengan angka harga rokok 35 ribu sebungkus, mereka tetap akan membeli, dengan berat hati.

Baru pada angka 50 ribu, anak-anak dan warga miskin menyatakan tidak akan membeli rokok. Perhatikan dengan jelas !!! Tidak akan membeli.

Tapi tidak akan membeli rokok harga 50 ribu bukan berarti tidak akan merokok. Bukan berarti mereka tidak akan membeli rokok yang harganya tidak 50 ribu. Juga bukan berarti mereka akan berhenti merokok sigaret produksi pabrik gelap. Bukan berarti mereka akan berhenti merokok.

Mari diperketat dan dilengkapi kesimpulan hasil penelitian Prof Thabrany. Anak-anak dan orang-orang miskin tidak akan membeli rokok resmi produksi perusahaan rokok yang harganya ditentukan oleh pemerintah per bungkus 50 ribu rupiah, yang di dalamnya mengandung komponen pajak dan cukai.

Sampai saat ini masih beredar rokok-rokok tanpa cukai di kios-kios rokok. Bila harga rokok legal melambung ke angka 50 ribu, para pemain rokok tanpa cukai akan semakin melambung pula jumlahnya. Apa mereka tidak takut sanksi peraturan hukum? Wow..., orang Indonesia itu pemberani, dan berjiwa petualang seperti digambarkan dalam iklan-iklan rokok. 

Tentara Inggris, Jepang, Kumpenii saja dulu berani dihadapi. Petugas Bea Cukai saudara sebangsa sendiri, tak seberapa menakutkan. Di Indonesia ada budaya merokok, dan ada pula budaya uang rokok. Ada pula peribahasa: pagar makan tanaman. Tanaman liar itu diberantas, tapi juga dipelihara karena ada hasilnya, dan agar tetap dapat diberantas. Lhoo !!! Hehehe...

Yang tidak terjangkau oleh peredaran rokok tanpa cukai, bisa melinting rokok sendiri. Sekarang pun produk rokok tingwe masih ada. Toko-toko penjual tembakau juga masih ada di tiap kota. Tembakau rasa rokok merk G, rasa merk J, rasa segala macam merk ada. Juga rasa tembakau asli non merk, khas daerah Te, daerah Ke, daerah De, dan lain-lain.

Justru nanti akan muncul peluang baru para pedagang eceran tembakau, dan produk petani bisa langsung dijajakan pengecer kepada konsumen rokok, memangkas rantai distribusi nasional peredaran rokok-tembakau. Petani tembakau akan semakin bergairah.

Yang tidak mampu membeli tembakau, bisa mengumpulkan tekik, tegesan, puntung rokok. Jaman dulu kan ada profesi pemungut puntung rokok. Itu bukan pencinta gerakan kebersihan atau semacam gerakan pembersih paku ranjau jalan raya. Mereka mengumpulkan sisa-sisa tembakau untuk dijual kembali sebagai tembakau.

Yang tidak sempat mencari puntung rokok karena malu atau karena tak mampu, bisa merokok seadanya dari segala macam bahan di lingkungan sekitarnya. Ingat bagaimana dulu anak-anak merokok gabus ketela, atau akar uwi, atau rambut jagung dibungkus klobotnya.

Kembali ke judul : Kesalahan Fatal di Survei Prof Thabrany, yang ternyata bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tidak ada kesalahannya. Lalu di siapa, dan dimana kesalahan fatalnya?

Kesalahan fatalnya ada pada khalayak penerima hasil survei itu, yang salah persepsi menangkap maksud survei. Bukankah secara umum masyarakat menangkap hasil survei Prof Thabrany itu menunjukkan bahwa dengan harga rokok sebungkus 50 ribu konsumsi rokok akan menurun ? 

Yang diartikan oleh kelompok dunia kesehatan sebagai momen peningkatan kesehatan masyarakat, penurunan sumber penyakit dan jumlah orang sakit akibat rokok serta penurunan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara dan oleh masyarakat sendiri. 

Dan diartikan oleh semua pihak yang terlibat dalam ekonomi tembakau sebagai ancaman penurunan penghasilan sampai ancaman kematian usaha dan sumber kehidupan mereka.

Apalagi masyarakat Indonesia yang hobi dengan salah persepsi, pemlintiran berita, penggorengan data dan pemutarbalikan pernyataan para tokoh yang berseberangan. Dalam kasus rokok 50 ribu ini, yang hanya suatu paparan hasil penelitian, oleh sebagian masyarakat telah ditangkap sebagai kebijakan resmi yang akan segera diterapkan pemerintah. Para penjual rokok, petani tembakau menjadi resah, para konsumen ada yang memborong rokok untuk stok pribadi.

Jangan salahkan masyarakat yang salah persepsi dengan hasil survei harga rokok 50 ribu ini. Pelaku penelitian, Prof Thabrany sendiri mengaitkan hasil surveinya dengan penyakit, disabilitas dan kematian akibat rokok, lalu penurunan konsumsi rokok,

Jadi Prof Thabrani dari UI mengaitkan penelitian lewat kacamata sempitnya, dengan suatu masalah kompleks, penurunan konsumsi rokok. Sedangkan air bah yang tak punya logika bisa mencari jalannya sendiri menuju laut saat sungai, selokan, dan saluran air lain bampet. 

Hawa nafsu merokok dari orang-orang Indonesia yang kreatif akan dengan mudah menemukan cara untuk tetap melanjutkan pemuasan rokoknya. Bahkan mungkin nanti malah dengan lebih murah, meriah, dengan nuansa dan suasana baru.

Seorang Profesor Thabrany niscaya tidak akan khilaf logika dengan premis dan konklusi penelitian ilmiahnya. Bila sampai terjadi khilaf, maka terbuka pembenaran bagi dakwaan para pihak yang berseberangan dengannya, bahwa survei Prof Thabrany disetir oleh kekuatan politik-ekonomi farmasi nikotin dunia.

Jadi, benar orang miskin dan anak-anak tidak akan membeli rokok yang harganya 50 ribu sebungkus.

Tapi tidak benar akan membuat perokok berhenti membeli rokok ilegal, atau produk tembakau.

So, harga rokok 50 ribu per bungkus tidak akan membuat orang berhenti merokok.

Maka, tidak akan terjadi penurunan jumlah perokok.

Penurunan penerimaan cukai negara, malah iya, hehehe.......

Mau melenyapkan rokok dari bumi Indonesia, gampang. Haramkan dan larang, seperti di negara-negara Arab atau Islam.

Berani ga ? Saya siap mendukung. lhooo....

hehehe......

sumber gambar: tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun