Mohon tunggu...
Absah
Absah Mohon Tunggu... -

Mampir ngguyu...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Daging Sapi, Batu Akik, Gelombang Cinta, Ikan Louhan, Hanya di Indonesia

10 Juni 2016   14:47 Diperbarui: 10 Juni 2016   16:44 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Daging sapi harganya mahal di Indonesia, dua kali lipat harga daging sapi di Singapura. Kisaran harga daging sapi di angka 100 ribuan dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak logis bila ditinjau secara ilmu ekonomi. Karena berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan harga daging sapi.

Sepiring nasi di Singapura harganya lebih mahal dari sepiring nasi di warteg Jakarta, karena biaya hidup di Singapura lebih mahal. Tapi kok harga daging sapinya lebih murah? Di sini bisa 110 ribu rupiah, di sana kalau dikurs kan hanya 55 ribu rupiah, di pertengahan tahun 2016 ini. 

Apakah karena terlalu banyak sapi di Singapura, sedangkan warganya tidak terlalu suka daging sapi? Sehingga permintaan kurang sedangkan stok daging sapinya kebanyakan? Banyak padang penggembalaan sapi di Singapura? Silakan di zoom melalui google map, mode citra satelit, tidak ada padang rumput dengan gerombolan sapi di Singapura.

Banyak penjelasan dikemukakan untuk fenomena mahalnya daging sapi di Indonesia. Karena stok sapi di Indonesia memang kurang, usaha swasembada sapi di Indonesia gagal dari dulu. Tapi kan sudah digelontor impor sapi dari Australia? 

Karena adanya kartel daging sapi yang menguasi sejak pengimporan sapi, distribusi daging sapi sampai pengecer di tingkat retail. Tapi kan sudah banyak dilakukan operasi pasar oleh Bulog?

Banyak sekali bahasan tentang fenomena harga daging sapi di Indonesia yang sudah dimuat di media, baik bahasan oleh ahli ekonomi, ahli pertanian peternakan, tapi tampaknya semua membahas dengan kacamata teori keilmuan yang lumrah.

Sedangkan di Indonesia ini kan banyak terjadi fenomena tak lumrah bila ditinjau secara ilmu ekonomi dari perilaku konsumen Indonesia. Fenomena melangitnya harga batu akik, tanaman bunga gelombang cinta, ikan louhan, adalah deretan ketidaklumrahan perilaku konsumen Indonesia. 

Harga sebutir akik, atau satu pot gelombang cinta yang biasanya ratusan ribu, melambung menjadi jutaan sampai puluhan juta. Dan tetap dibeli, dan dianggap sebagai harga yang 'lumrah' oleh pembelinya. Gendeng? Padahal mereka ini waras.

Maka apa bedanya dengan fenomena harga daging sapi ? Bukankah sama saja, sama-sama lumrah ala Indonesia. Fenomena akik, gelombang cinta dan louhan booming dalam rentang waktu setahun dua tahun, dengan lonjakan harga sampai ratusan kali lipat. Sedangkan daging sapi harganya dua kali lipat dalam rentang bertahun-tahun.

Batu akik, tanaman gelombang cinta harganya melangit, dan pembelinya tidak mempermasalahkan, yang punya uang tetap membeli dengan senang hati. Toh bukan barang kebutuhan harian macam bbm atau beras yang dimakan setiap hari.

Demikian juga dengan daging sapi, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia bukan merupakan menu sehari-hari. Rakyat makan daging mungkin hanya setahun sekali saat hari raya, malah gratis dagingnya tak perlu beli. Maka harga daging sapi yang mahal di pasar, bukan suatu masalah besar. Kalau sedang butuh, misal untuk hajatan, ya dibeli. 

Perusahaan makanan. restoran yang menunya menggunakan bahan daging sapi, produknya ikut menjadi mahal, tetap saja habis terbeli. Rendang tetap laris manis di resto Padang. Aneka outlet burger merk manca tetap ramai pengunjung. 

Bila harga daging sapi berhasil diturunkan oleh pemerintah secara drastis seharga di Singapura, belum tentu lalu masyarakat menyerbu membeli daging. Juga belum tentu resto burger berani menurunkan harga produknya. Karena konsumen Indonesia tak melulu membeli kebutuhan, tapi juga membeli gengsi.

Membeli pakaian, tas, sepatu, dan segala macam produk, orang Indonesia mementingkan merk nya. Merk top, merk luar negeri. Barang kawe dengan merk keren meski palsu di kaki lima sekalipun, harganya lebih mahal dari barang yang sama dengan kualitas sama, tapi merk lokal atau tanpa merk.

Apakah urusan membeli gengsi juga berlaku pada produk makanan? Oh, iya. Ada kisah sukses pengusaha roti dan kue yang pernah ditulis di media, suatu ketika usahanya meningkat pesat, justru setelah harga eceran roti-rotinya dilabel mahal. Saat dihargai seribu kurang laku, diberi harga limaribu malah laku keras, wekekek...

Di Indonesia, konsumen yang sedikit berduit saja sudah membeli gengsi. Konsumen yang tidak punya duit, juga tak repot ingin beli daging sapi. Harga daging sapi meroket sampai sekilo sejuta rupiah pun, rakyat tak akan menjerit. Yang menjerit nanti pedagang, dan kartel-kartel itu malah, karena barangnya tak laku.

Saya berani sumpah potong leher kambing saya, bila harga daging sapi meroket menjadi 500ribu, atau satu juta rupiah per kilo, tak akan ada rakyat yang demonstrasi menuntut turunkan harga daging sapi. Harga tinggi tak terbeli, ya tak perlu beli. Gampang.

Rakyat tidak makan daging sapi tidak patheken, tidak panunen. Tidak akan juga jadi kena stroke, kanker, TBC, atau gizi buruk sekalipun. Bukan rakyat konsumen yang demo, malah kemaren pedagang daging yang demo tidak jualan. Itu lumrah di Indonesia, hahaha...

Daging sapi mahal, rakyat tak mampu beli, tidak masalah. Daging bukan menu familier di Indonesia. Konsumsi daging sapi per kapita Indonesia hanya 2,2 kg per tahun. Kalah dari Malaysia atau Singapura yang 15 kg per tahun. Argentina yang belum termasuk negara maju, 55 kg per tahun, mungkin karena penduduknya yang mayoritas keturunan Eropa.

Orang desa yang mengalami masa kecil di jaman enaknya Eyang Soeharto saja, belum tentu pernah makan daging seumur-umur masa kecil sampai remajanya. Sehingga banyak dijumpai orang yang tidak doyan makan daging, karena lidahnya tidak kenal daging sedari kecil. Bila mencoba makan lauk daging, masuk di mulut, tak mampu menelan. Dipaksa menelan, malah muntah.

Setelah dewasa jadi orang sukses baru mulai belajar makan  daging, itupun dengan bumbu yang kental kecap dan pedas, macam sate, atau penuh rempah seperti rendang padang pedas. Dan itupun bukan menu sehari-hari, bukan menu favorit. Eyang Soeharto sang pemimpin jaman enak saja, menu favoritnya sambel kering teri, bukan daging sapi. Jadi orang Indonesia kebanyakan, tidak makan daging sapi tidak masalah. Daging sapi mahal juga tak kan menjerit.

Justru pemerintah yang gaduh meributkan harga daging sapi yang mahal. Watak orang Indonesia yang mementingkan gengsi, menjadi watak pejabat pemerintah juga, merasa gengsi dengan konsumsi daging rakyat Indonesia yang rendah. Karena makan daging sapi itu keren, seperti tuan-tuan Eropah. Maka data statistik konsumsi daging sapi perlu ditingkatkan, minimal jangan kalah dari negeri tetangga dekat. Gengsi, dong..

Seharusnya orang Indonesia kembali ke jatidiri Indonesia. Makan tempe, tahu, apa salahnya? Tempe juga bergizi tinggi, dan sehat. Dan masih banyak ragam jenis makanan berbahan dasar biji-bijian, sayuran dan buah lokal Indonesia yang selama ini telah biasa dikonsumsi. Ilmu kesehatan modern juga menunjukkan banyak efek buruk kesehatan dari konsumsi daging merah.

Dan Indonesia negeri maritim, yang sekarang sedang direformasi oleh ibu Menteri Susi, seharusnya ke depan membentuk rakyat Indonesia sebagai pengkonsumsi ikan. Ikan melimpah di lautan Indonesia yang luas. Ditangkap saja masih berlebih, belum lagi bila nanti juga dikembangkan budidaya ikan di lautan.

Kalau sapi, sudah sulit sekarang untuk menternakkan sejumlah sekian juta sapi agar nanti memenuhi untuk mencapai rasio konsumsi daging sapi per kapita yang diharapkan. Lahan yang ada tak mencukupi. Persawahan saja menyempit banyak beralih fungsi, apalagi untuk beternak sapi dan lahan tanam pakannya. Sapi juga tidak bisa digembala di hutan, hehe..

Maka sebaiknya biarkanlah harga daging sapi semau gua. Biarkan hukum ekonomi pasar nanti yang akan mengatur. Harga membumbung tinggi, rakyat tak suka makan daging sapi, biar nanti berkombinasi melenyapkan konsumsi daging sapi dari bumi Indonesia, kalau perlu. Yang masih perlu makan daging sapi, bisa menikmati dengan harga yang ada.

Kembali ke judul, daging sapi, akik, gelombang cinta, louhan, harganya tidak mengikuti kaidah hukum ekonomi klasik, tapi mengikuti hukum ekonomi klenik tahayul di Idonesia. Harus diakui, tahayul dan klenik masih ada, masih berperan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, dari strata rakyat terbawah sampai strata birokrasi tertinggi.

Jadi, harga itu ditetapkan, lalu dipercayai, diterima dan diikuti oleh semua pembeli, tanpa protes. Akan membuang energi dan biaya bila mencoba mengatur-atur haga daging sapi, tidak efisien dengan hasil yang diraih.

Seseorang membutuhkan daging sapi untuk suatu keperluan, lalu pergi ke pasar, menuju los penjual daging, lalu bertanya,

"Daging sapi sekarang berapa harganya?"

"Harga daging sapi seratus duapuluh ribu rupiah..." kata bakul daging.

"Siap, Gan... beli setengah kilo, tunai, ga pake lama...." kata pembeli, tanpa bimbang ragu.

"Naah.... gitu... yang mantap, jangan percaya isyu-isyu tak bertanggung jawab....." bakul daging tersenyum lebar.

"Kalau mau harga lapanpuluhrebu sekilo, sono beli ke istana........." tambahnya.

Hehehe...

sumber gambar: simmental.com.au

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun