Perusahaan makanan. restoran yang menunya menggunakan bahan daging sapi, produknya ikut menjadi mahal, tetap saja habis terbeli. Rendang tetap laris manis di resto Padang. Aneka outlet burger merk manca tetap ramai pengunjung.Â
Bila harga daging sapi berhasil diturunkan oleh pemerintah secara drastis seharga di Singapura, belum tentu lalu masyarakat menyerbu membeli daging. Juga belum tentu resto burger berani menurunkan harga produknya. Karena konsumen Indonesia tak melulu membeli kebutuhan, tapi juga membeli gengsi.
Membeli pakaian, tas, sepatu, dan segala macam produk, orang Indonesia mementingkan merk nya. Merk top, merk luar negeri. Barang kawe dengan merk keren meski palsu di kaki lima sekalipun, harganya lebih mahal dari barang yang sama dengan kualitas sama, tapi merk lokal atau tanpa merk.
Apakah urusan membeli gengsi juga berlaku pada produk makanan? Oh, iya. Ada kisah sukses pengusaha roti dan kue yang pernah ditulis di media, suatu ketika usahanya meningkat pesat, justru setelah harga eceran roti-rotinya dilabel mahal. Saat dihargai seribu kurang laku, diberi harga limaribu malah laku keras, wekekek...
Di Indonesia, konsumen yang sedikit berduit saja sudah membeli gengsi. Konsumen yang tidak punya duit, juga tak repot ingin beli daging sapi. Harga daging sapi meroket sampai sekilo sejuta rupiah pun, rakyat tak akan menjerit. Yang menjerit nanti pedagang, dan kartel-kartel itu malah, karena barangnya tak laku.
Saya berani sumpah potong leher kambing saya, bila harga daging sapi meroket menjadi 500ribu, atau satu juta rupiah per kilo, tak akan ada rakyat yang demonstrasi menuntut turunkan harga daging sapi. Harga tinggi tak terbeli, ya tak perlu beli. Gampang.
Rakyat tidak makan daging sapi tidak patheken, tidak panunen. Tidak akan juga jadi kena stroke, kanker, TBC, atau gizi buruk sekalipun. Bukan rakyat konsumen yang demo, malah kemaren pedagang daging yang demo tidak jualan. Itu lumrah di Indonesia, hahaha...
Daging sapi mahal, rakyat tak mampu beli, tidak masalah. Daging bukan menu familier di Indonesia. Konsumsi daging sapi per kapita Indonesia hanya 2,2 kg per tahun. Kalah dari Malaysia atau Singapura yang 15 kg per tahun. Argentina yang belum termasuk negara maju, 55 kg per tahun, mungkin karena penduduknya yang mayoritas keturunan Eropa.
Orang desa yang mengalami masa kecil di jaman enaknya Eyang Soeharto saja, belum tentu pernah makan daging seumur-umur masa kecil sampai remajanya. Sehingga banyak dijumpai orang yang tidak doyan makan daging, karena lidahnya tidak kenal daging sedari kecil. Bila mencoba makan lauk daging, masuk di mulut, tak mampu menelan. Dipaksa menelan, malah muntah.
Setelah dewasa jadi orang sukses baru mulai belajar makan  daging, itupun dengan bumbu yang kental kecap dan pedas, macam sate, atau penuh rempah seperti rendang padang pedas. Dan itupun bukan menu sehari-hari, bukan menu favorit. Eyang Soeharto sang pemimpin jaman enak saja, menu favoritnya sambel kering teri, bukan daging sapi. Jadi orang Indonesia kebanyakan, tidak makan daging sapi tidak masalah. Daging sapi mahal juga tak kan menjerit.
Justru pemerintah yang gaduh meributkan harga daging sapi yang mahal. Watak orang Indonesia yang mementingkan gengsi, menjadi watak pejabat pemerintah juga, merasa gengsi dengan konsumsi daging rakyat Indonesia yang rendah. Karena makan daging sapi itu keren, seperti tuan-tuan Eropah. Maka data statistik konsumsi daging sapi perlu ditingkatkan, minimal jangan kalah dari negeri tetangga dekat. Gengsi, dong..