Dalam suatu kecelakaan di jalan, posisi siapa benar dan siapa salah dari pihak-pihak yang terlibat kecelakaan, tergantung dari dua sudut pandang. Sudut pandang logika pelangar aturan lalu lintas penyebab peristiwa kecelakaan, dan sudut pandang "sesat pikir jalanan".
Bila seorang pengendara motor melanggar lampu merah, atau melewati marka jalan, lalu terjadi tabrakan dengan pengendara lain yang berjalan setelah lampu hijau atau yang berjalan di jalur yang benar, maka kesalahan ada di pihak pengendara motor yang melanggar aturan lalu lintas.
Bila anak muda mengendarai motor dalam kondisi mabuk, lalu ngebut zigzag di jalan dan menabrak mobil di jalur sebelah kanan, maka pengendara mobil akan disalahkan. Orang-orang yang ikut berkerumun tidak merasa perlu bertanya siapa yang salah secara aturan lalu lintas, tapi langsung merangsek ke pengemudi mobil untuk minta pertanggungjawaban.
Bila ada penyeberang jalan (biasanya wanita) menyeberang jalan dan hanya menengok fokus ke kiri, arus kendaraan seberang jalan, lalu nyelonong saja lompat lari dan ditabrak motor yang kaget tidak sempat mengerem, maka yang salah adalah pengendara motor yang menabrak pejalan kaki.
Jangan macam-macam dengan becak (di kota kecil selain Jakarta, ya). Melaju di jalan sembarangan, tersenggol mobil sedikit hanya goyang, oleng pun tidak, maka pak tukang becak akan menikungkan becaknya hingga ambruk. Lalu tukang becaknya akan menggelosor di aspal terkapar tidak bergerak.
Ya, tukang becak termasuk "raja jalanan" secara hukum dan pengadilan jalanan. Dalam logika sesat jalanan, yang didasari rasa keadilan masyarakat, pihak yang lemah yang harus dibela. Karena kebanyakan masyarakat adalah orang-orang lemah. Mereka otomatis membela yang lemah, tuntunan tak sadar dalam rangka membela diri sendiri.
Karena yang selalu terjadi dalam pengadilan kasus-kasus di gedung pengadilan resmi, yang lemah, rakyat kecil yang selalu dikalahkan. Maka peristiwa di jalanan seperti menjadi ajang pembalasan si lemah untuk bisa memenangkan perkara dengan mengesampingkan penyebab kesalahan yang sebenarnya.
Tukang becak termasuk raja jalanan. Raja-raja yang lain adalah pihak-pihak yang lemah itu. Raja yang benar raja tentu para pejabat dan pembesar. Baik sipil apalagi militer. Tidak hanya dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas. Mereka adalah raja dalam berlalu lintas.
Raja dalam berlalu lintas, mobil ambulance tidak lagi perlu dibahas. Raja lain seperti bus angkutan ugal-ugalan, membuat pengendara lain rela minggir, kalah. Raja yang lain adalah rombongan pengantar jenasah. Dengan rombongan motor yang di depan mengobat-abitkan bendera membuat semua pengendara jalan lain rela minggir. Termasuk bus angkot ugal-ugalan dan pengendara motor besar akan mengaku kalah. Ya sudah, sing urip ngalah.
Rombongan pejabat yang petugas patwalnya sudah berdiri mencegat arus lalu lintas di tiap perempatan yang akan dilalui, bila masih agak lama lewatnya rombongan, akan diterjang pula oleh pengantar jenasah. Kecuali mobil rombongan presiden atau jendral sudah dalam jarak 200an meter, mungkin pengantar jenasah rela berhenti.
Dan raja sekalian raja jalanan adalah kereta api. Kejadian lucu terjadi saat rombongan pengantar jenasah dari suatu kampung preman copet maling begal lewat di suatu jalan yang dilintasi kereta api. Dasar dari kampung preman, pengantar jenasah memenuhi seluruh ruas jalan, pengendara dari arah berlawanan pun harus minggir ke tepi jalan. Eh, sampai dekat rel pas kereta lewat.
Penguasa jalanan pengantar jenasah yang tidak bisa dihentikan ternyata mau tak mau harus berhenti juga. Kecuali mereka semua itu juga ingin menjadi jenasah seperti yang diantar. Suatu moment yang seketika membuat para pengendara yang gondok di pinggir jalan ketawa, hahahaha.....
Ini baru benar-benar raja jalanan. Pejalan kaki, sepeda, becak, motor, mobil, truk, bus ugal-ugalan, rombongan pejabat, bahkan pengantar jenasahpun menyerah kalah dan tunduk untuk berhenti sejenak dengan takzim. Mungkin rombongan presiden pun bila waktu lewatnya pas berpapasan dengan lewatnya sang kereta api, tidak akan ngotot mempertahankan keangkeran wibawa lembaga kepresidenan untuk memaksa melintas. Kecuali mau segera menjadi presiden di dunia lain.
Kejadian 'polisi' preman yang ditabrak bus transjakarta di jalur busway, yang lalu lapor petugas polantas sehingga naik ke bus untuk menilang sopir transjakarta, tidak akan terjadi di jalur kereta api. 'Polisi' preman masuk jalur railway lalu disenggol kereta lewat, lapor ke polisi terdekat, lalu pak polisi mengejar kereta api untuk menilang masinis sambil berucap: "saya petugas, saya berhak.. saya berhak.." Yakin tidak akan terjadi.
Ada yang tidak mengakui kalau kereta api adalah raja jalanan lalu coba melawannya di jalan? Ada sih, tapi mereka sudah pada di dunia lain...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H