Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa DP rumah 0 % Menjadi Polemik?

20 Februari 2017   19:22 Diperbarui: 21 Februari 2017   02:41 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti diketahui, pasangan calon Gubenur dan wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno memiliki program rumah dengan uang muka atau DP nol rupiah. Program ini dimaksudkan, agar warga DKI lebih mudah memiliki rumah dengan biaya yang bisa mereka jangkau.

Skema ini mengharuskan yang ingin mendaftar dan ikut program ini harus menabung dulu, untuk kemudian bisa melakukan cicilan DP 6 sampai 12 bulan. Nilai tabungan yang diiur atau dicicil selama 6-12 bulan tersebut akan dihitung setara dengan nilai uang muka perumahan alias DP Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diajukan kepemilikannya.

Gagasan tersebut seperti menohok program unggulan Ahok - Djarot  yang mengedapankan solusi penggusuran dengan membangun rumah susun sewa sehingga media sosial  bersikap apriori dengan gagasan tersebut yang disebutkan sebagai program khayalan.

Padahal jika kita melihat dari sudut pandang keberadaan masyarakat yang digusur, mestinya tidak perlu menjustifikasi masyarakat yang bersalah tetapi melihat mengapa sampai masyarakat bermukim diwilyah yang digusur.

Pemerintah sesungguhnya memiliki andil keberadaan mereka, paling tidak pembiaran karena tidak tegasnya pemerintah dalam menerapkan peraturan telah menjebak masyarakat selama bertahun-tahun bahkan turun temurun bermukim dilokasi itu.

Karena berdalih peraturan, pemerintah tak menghargai hak-hak masyarakat. Pendekatan demikian tentunya mendapat tentangan. Padahal, jika melihatnya secara fair, penggusuran tersebut menciptkan space berupa lahan, wajar kalau pemerintah menyediakan lahan pengganti.

Lahan pengganti inilah sesusungguhnya dapat dibangun pemukiman  bagi warga yang tergusur.  Langkah yang diambil adalah membangun rumah susun sewa dengan menggunakan dana CSR dari pengembang sebagaimana syarat perizinan kepada pengembang besar untuk memberikan kontri8businya. Artinya, langkah tersebut hanya merelokasi  masyarakat yang dinilai bersalah tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat yang tergusur sedangkan asset pemda makin menggembung dengan menerapkan peraturan yang menjadi kewenanganya.  Pendekatan seperti ini lebih tepat dilakukan oleh sebuah koorporsi yang sekaligus penguasa seperti VOC zaman dahulu yang mestinya tidak cocok dengan filosofi sebuah negara dan cita-cita kemerdekaan.

Disinilah sesungguhnya pemerintah daerah harus mendasari langkah yang bertujuan mensejahterakan rakyatnya namun yang terjadi pemerintah menguasai asset dimana rakyat hanya sebagai penyewa asset dari hasil kontribusi yang katanya untuk masyarakat itu. Ahok telah menghitung bahwa untuk membangun 1 unit rumah susun itu bisa seharga Rp 200 juta-250 juta. Namun Ahok tak akan menjualnya melainkan menyewakannya alias dengan skema Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa)

Meski berjudul sewa,, sebenarnya masyarakat yang menghuni rusun hanya akan dibebankan biaya sebesar Rp 5 ribu- Rp 15 ribu/hari saja. Biaya itu dibayarkan untuk biaya pemeliharaan dan kebersihan, jelas Ahok.

Tentang wacana rumah tanpa DP, lantas, mungkinkah program tersebut direalisasikan? Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahaan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah mengatakan, hal tersebut bisa saja dilakukan apabila pembayaran dilakukan langsung ke pengembang. Namun jika dilakukan dengan mekanisme KPR, hal tersebut tak bisa dilakukan karena melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh OJK dan Bank Indonesia.

Sudut pandang peraturan BI dan OJK inilah yang menjadi alasan gagasan  Anies - Sandi sebagai pembohongan publik. Namun dipandang dari sudut mata pengembang, tentunya berbeda. Sebab, penetapan harus ada uang muka adalah sebagai safety margin manakala terjadi  kemacetan sebagai prinsip kehati hatian bank.  Sedangkan kepeutusan pemberian kredit adalah hak prerogatif perbankan yang dinilai dari kemampuan pembayaran penerima kredit, walaupun ada DP dapat dipenuhi, apabila dinilai tidak layak, bank akan menolaknya.

Persoalannya, walaupun korban gusuran mendapat kompensasi yang diperhitungkan dengan uang muka, walaupun syarat uang muka terpenuhi namun kelayakan sebagai kreditur akan lebih menentukan dapat didaknya diberikan kredit. Yang menjadi pertanyaan, apakah wacana Anies - Sandi ditujukan kepada siapa ? Apakah  ditujukan kepada masyarakat wilayah gusuran atau masyarakat DKI pada umumnya ?

Kalau  wacana tersebut ditujukan kepada masyarakat yang tergusur, tak pelak lagi menjadi komoditas politik untuk meraih dukungan sekaligus menohok langkah penggusuran yang telah dilakukan Ahok yang banyak mendapat tentangan tersebut.  Namun jika wacana tersebut ditujukan kepada masyarakat yang kesulitan mendapatkan hunian karena mahalnya harga tanah, bangunan vertikal seperti pembangunan rumah susun menjadi sebuah solusi tanpa mengabaikan prinsip2 perbankan yang berlaku.

Dari sudut pengembang yang terpenting adlah terjual dan dibayar. DP sesungguhnya diterima oleh pengembang yang merupakan safety margin kalau pelunasan penjualannya menggunakan pembiayaan bank. 

Seperti yang pernah saya alami sebagai pengembang di Kota Bandar Lampung, ketika saya membuka lokasi baru yang bukan areal perumahan, banyak pihak mengganggap apa yang saya lakukan tidak prospektif apalagi saya mengambil segment kelas menengah. Faktanya, setelah 20 tahun, wilayah tersebut menjadi daerah mahal, tanah yang sewaktu saya melakukan pembebasa hanya Rp 10 ribu permeter, sekarang sudah diatas Rp 1 juta diwalayah pemukiman sedangkan areal komersial sekitar Rp. 10 juta bahkan lebih permeternya.

Sesungguhnya, harga property itu diciptakan oleh pengembang, ketika  satu unit dagangannya laku terjual, maka seluruh dagangan yang belum terjual mengalami revaluasi dengan sendirinya. Dan inilah sebetulnya merupakan keuntungan dimuka dari investasi pengembang dimana umunya perbankan bekerjasama dengan perbankan seperti yang saya lakukan.  Ketika satu areal kita buka, harga dengan sendirinya melejit berlipat2 melebihi beban bunga bank yang membuat harga property semakin mahal dan sulit terjangkau.

Menghadapi situasi yang demikian, pemerintah menerapkan program subsidy perumahan dengan harga yang sudah dipatok. Namun kendalanya, antara pemerintahan pusat daerah tidak ada sinkronisasi dalam penerapan programnya dimana perizinan dan syarat2 nya menjadi keputusan pemerintah daerah. Mudah dihitung beban pengembang yang harus mensplitzing sertifikat terlebih dahulu sesuai izin lokasi. Tinggal dikalikan saja berapa jumlah persil dikalikan tarif splitzing persertifikat yang dikenakan oleh BPN dan itu harus dibayakan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan transaksi agar uang berputar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun