Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Kini Terkepung Berbagai Persoalan

8 April 2016   03:27 Diperbarui: 8 April 2016   03:51 2605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang hakim seharusnya memiliki integritas yang tinggi sehingga putusan yang diawali dengan kata kata demi Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dipertanggung jawabkan baik didunia maupun di akherat. Sebelum diambil kesaksiannya, setiap saksi harus disumpah dibawah kitab suci sebagaimana kepercayaanya. Sumpah demi tuhan kita maknai semua yang akan disampaikan adalah kebenaran. Lalu bagaimana kalau seorang hakim merubah kesaksian para saksi dalam putusannya sehingga berubah makna sesuai keinginan pemesan ?

Saya minta kepada seseorang menjadi saksi gugatan saya, dia adalah salah seorang yang menjadi korban sebut saja mafia hukum, dalam kesaksiannya dia menyatakan haknya belum diselesaikan oleh tergugat. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi tapi cukup mengerti akan haknya yang harus diterima mewakili kepentingan banyak orang.

Putusan hakim, gugatan saya ditolak dengan salah satu pertimbangan hukumnya tertulis saksi itu haknya telah dilunasi.  Saya tunjukkan putusan pengadilan kepada saksi itu, gugatan tidak diterima karena anda sudah menerima haknya secara penuh, ini  kata Pak Hakim, jelas saya. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, ini fitnah katanya. Saya cegah dia berbuat anarkis mencari rumah Pak Hakim bersama korban-korban lainnya.

Masih ada upaya banding, kata saya dan meminta mereka untuk membuat pernyataan bahwa  haknya belum diterima tidak sebagaimana yang tertulis dalam pertimbangan hakim yang menyatakan sudah dilunasi. Sayapun berusaha menemui Panitera Pengganti yang mencatat kesaksian dan majelis hakim namun tak satupun ada ditempat yang maksudnya ingin menyampaikan kesaksian yang kebetulan direkam oleh pengacara saya.

Peradilan yang saya temui, jangankan kesaksian, isi aktapun bisa dirubah, majelis hakim menghilangkan kewajiban yang harus diselesaikan oleh tergugat yang jelas disebut didalam akta. Kejadian tersebut saya laporkan kepada komisi Yudisial, setali tiga uang, laporan saya tidak masuk ranah pelanggaran kode etik. Perkara menyangkut tanah ini akhirnya saya bawa ke BPN, dengan bukti yang saya miliki akhirnya sertifikat tanah diblokir padahal tergugat sudah banyak mengeluarkan uang untuk membangun diatas tanah itu. Tak pelak lagi, pelaku harus menanggung derita sendiri, harta bendanya melayang, tanah yang diperoleh dengan membeli legalitas tak dapat dikuasainya karena dua instutusi negara tidak sejalan.

Diatas adalah sebagai ilustrasi apa yang saya hadapi, seorang "pemain" dalam dunia usaha biasa melakukan hal semacam diatas, untuk meraih keuntungan yang besar bisa saja dengan melakukan pembelian legalitas karena transaksi jabatan sudah menggurita disegala lini.

Terkait kasus suap DPRD DKI  oleh PT. Agung Podomoro, SK Gubernur DKI no 2238/2014 mulai masuk ranah pengadilan Tata Usaha Negara yang mulai digelar. Tergugat dan penggugat saling mengeluarkan dalil masing-masing yang menyatakan Gubernur tidak berwenang dan sebaliknya.  Melihat prilaku transaksi jabatan sudah masuk kesegala lini, diperkirakan majelis hakim PTUN akan memenangkan Ahok. Ada tidaknya transaksi jabatan akan menjadi ranah KPK untuk menyelidikinya.

Hukum bisa ditafsirkan sesuai dengan kepentingan, sebuah putusan kontroversil beberapa waktu yang lalu yang membebaskan pembakar hutan dengan dalil, api tidak merusak lingkungan karena tanaman akan tumbuh kembali. Begitu juga terhadap putusan PTUN nantinya, bisa saja hakim menyatakan kewenangan Ahok untuk melindungi kepentingan pemodal.

Kalaupun Ahok mampu lolos dari gugatan PTUN, publik masih menunggu hasil pemeriksaan terhadap Sunny Tanuwidjaja yang disebut oleh KPK sebagai staff khusus Gubernur. Sunny yang disebut oleh Mohamad Sanusi sebagai penghubung antara PT. Agung Podomoro Land dan dirinya telah dicekal oleh KPK bersama boss Sedayu.

Menjelang pilgub 2017 mendatang, kini Ahok dikepung berbagai persoalan mulai dari kasus tanah Sumber Waras yang mulai meredup seiring dengan pemberitaan kasus suap DPRD. Perhatian publikpun terpecah, patah tumbuh hilang berganti yang endingnya entah kemana. Apalagi KPK menyasar tentang kontribusi pengembang yang disebut 15 % oleh Ahok atau 5 % oleh Mohamad Taufik.  

Padahal dalam dunia pengembang kontribusi alokasi peruntukan fasos dan fasum pastinya akan menjadi beban pembeli, selama harga jual diterima alokasi tersebut bukanlah sebuah persoalan.  Sebab, semakin luas ruang terbuka, harga jual tanah semakin tinggi, apalagi kalau dijual dengan rumah siap jual dengan system KPR bank, harga tanah terkamulflase karena menjadi harga satuan tanah dan bangunan.

Melihat karakteristik pedagang dan budaya pamrih didalam kekuasaan, pedagang yang memang mencari tujuan untuk mencari keuntungan, kalau izin harus dibeli maka izinpun akan dibeli mengikuti budaya kekuasaan. Adalah kewajiban pengayom rakyat untuk mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat banyak, tetapi kalau terjadi keberpihakan sebagai mana indikasi yang disampaikan oleh KPK adanya Grand Corruption, agaknya yang disalahkan adalah investor karena melakukan suap.  Padahal, investor hanya mengikuti arus, tanpa mengikuti arus sulit membangun usaha.

Ibarat kata, dunia usaha pengembang kaki kiri berada di sorga, kaki kanan berada di penjara yang tentunya akan mempengaruhi image kepastian hukum yang diperlukan oleh pengasaha yang selama ini dikeluhkan.  Budaya semacam inilah membuat pengusaha harus berada dilingkaran kekuasaan yang sering disebut kekuasaan yang liberal. Liberal dalam pengertian yang bertahan dalam persaingan adalah mereka yang pintar, yang kaya, yang kuat atau bahkan yang licik, pengusaha menjadi penguasa, atau penguasa menjadi pengusaha adalah fakta yang kita temui dalam apa yang disebut era reformasi politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun