Kalau dicermati, barangkali sesungguhnya karakter manusia Indonesia adalah karakter masyarakat yang cinta damai dan taat hukum. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan sejarah. Bangsa nusantara bersedia menerima kehadiran setiap bentuk suku, agama, budaya dan dapat hidup rukun di dalamnya. Salah satu contoh: sistem hukum dari kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia (Kediri abad ke IX) sudah menerapkan sistem denda dan kerja sosial bagi para pelanggar hukum, tidak ada penjara. Rekaman ini pernah ditemukan dari catatan ekspedisi pedagang China kuno. Sementara itu, melihat kenyataan saat ini banyak sekali terjadi pelanggaran hukum di setiap jengkal penjuru negeri. Mulai pelanggaran-pelanggaran kecil di sekolah, di jalan raya, sampai menghiasi hampir seluruh berita di televisi kita. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan hukum ini? Saya kira, lebih bijaksana apabila kita semua ikut bertanggungjawab dalam penegakan hukum. Setiap orang tua dapat memulai langkah kecil untuk memberikan ketaladanan taat hukum di rumah. Demikian juga dengan guru di sekolah, pendidikan kewarganegaraan tidak cukup hanya dihafalkan tanpa sosok yang dapat diteladani dalam hal-hal kecil yang terjadi setiap hari di sekolah. Keprihatinan ini hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah konkrit. Gagasan untuk menerapkan pendidikan hukum di sekolah (dalam bentuk kurikulum) perlu dipertimbangkan. Pendidikan hukum harus seimbang, menegaskan setiap kewajiban dan hak warga negara dalam hukum. Jangan sampai berat sebelah, hanya menitik beratkan hak-hak warga negara saja. Bukan perkerjaan yang mudah memang, karena perilaku yang kontinyu dan dilakukan oleh banyak orang telah menjadi budaya. Budaya pelanggaran hukum. Oleh sebab itu, harus ada langkah masif sebagai bentuk investasi dalam bidang penegakan hukum untuk jangka panjang. Setiap anak Indonesia harus memahami dikotomi hitam putih dalam hukum sejak dini, sejak di rumah, sejak di bangku sekolah. Solusi penegakan hukum Indonesia harus sampai ke akarnya, karena budaya pelanggaran hukum ini sudah kronis menjangkiti budaya nasional. Akan lebih berbahaya apabila ketidakhadiran pemerintah dalam kesadaran hukum ini diisi dengan doktrin hukum yang anti perdamaian dan anti kemanusiaan oleh oknum-oknum oportunis. Pemerintah hendaknya lebih dahulu memperkenalkan idealisme hukum sebelum "hukum" yang konon "berbahaya" itu diyakini sebagai sesuatu kebenaran tunggal. www.perpustakaan.depkeu.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H