Mohon tunggu...
Kementerian KajianStrategis
Kementerian KajianStrategis Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kementerian Kajian Strategis oleh BEM KM UMY

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peringatan Hari HAM dan Menolak Lupa Masalah yang Belum Tuntas

9 Desember 2022   21:15 Diperbarui: 9 Desember 2022   21:41 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengertian HAM dan Sejarah Penetapan Hari HAM Sedunia

HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak dan kebebasan mendasar bagi semua orang, terlepas dari kebangsaan, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis, ras, agama, bahasa atau status lainnya. Hak asasi manusia meliputi hak sipil dan politik, seperti hak untuk hidup, kebebasan dan kebebasan berekspresi. Selain itu, ada hak sosial, budaya dan ekonomi, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam budaya, hak atas pangan, hak untuk bekerja dan hak atas pendidikan. Hak asasi manusia dilindungi dan didukung oleh hukum dan perjanjian internasional dan nasional. 

Sedangkan undang-undang telah menjelaskan yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan karunia-Nya yang harus dihormati, dihargai dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan segala sesuatu demi kehormatan dan perlindungan manusia harus menjadi hak asasi manusia (Pasal 1 Angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Sejarah Hari Hak Asasi Manusia Sedunia diawali dengan kekejaman Perang Dunia Kedua (1939-1945) yang memberikan pelajaran penting bagi masyarakat dunia tentang pentingnya menjaga hak asasi setiap orang. Untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). Pada tahun 1947, anggota Komisi Umum PBB merumuskan draf asli Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 

Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pada 10 Desember 1950, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 423, menyerukan kepada semua negara anggota dan organisasi PBB untuk merayakan 10 Desember setiap tahun sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Ini adalah pertama kalinya diperingati pada Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.

 Sejak saat itu, masyarakat dunia, termasuk Indonesia, memperingati Hari Hak Asasi Manusia setiap tahun pada tanggal 10 Desember. Ketika Majelis Umum PBB mengadopsi deklarasi yang terdiri dari pembukaan dan 30 pasal tentang hak asasi manusia, 48 dari 58 negara anggota PBB menyatakan dukungannya.

Bagaimana Negara Gagal dalam Melindungi HAM Warga Negaranya

Meskipun cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tertuang di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, negara selaku aktor utama yang seharusnya melindungi berbagai kebebasan dan hak-hak individu malah diciderai dengan melakukan tindakan kekerasan, penjarahan, pembatasan kebebasan serta rancangan undang-undang yang berpotensi menciderai HAM masyarakatnya.

Perlindungan HAM di Indonesia sudah dijamin di dalam UUD 1945 Pasal 28 A-J, UUD 1945 Pasal 27, UUD 1945 Pasal 29, UUD 1945 Pasal 31, UUD 1945 Pasal 33, UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Dengan banyaknya undang-undang tentang HAM yang sudah dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, harusnya sudah menunjukkan bahwa Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi dan menghargai HAM setiap rakyatnya. Namun apakah pemerintah Indonesia sudah mempraktikkan hal-hal yang sudah diatur undang-undang dalam menjaga dan melindungi HAM setiap rakyat Indonesia.

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di masa lalu, sedangkan bagian kedua akan membahas kasus pelanggaran HAM di regional Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan tujuan memudahkan klasifikasi kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Peristiwa G30S/PKI dan Tragedi Setelahnya (1965-1966)

Tragedi G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) yang terjadi pada 30 September 1965 menewaskan 6 jenderal dan 1 perwira serta beberapa orang terbunuh dalam proses perebutan kekuasaan yang 'diduga' dilakukan oleh PKI. Pasca tragedi G30S/PKI tersebut telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM besar lainnya. Polanya antara lain, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa. Korban merupakan terduga PKI dan orang-orang yang memiliki afiliasi dengan PKI atau idelogi kiri lainya.

Secara rinci, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan simpatisan pemerintah diantaranya adalah penangkapan paksa kader-kader PKI dan yang diduga sebagai simpatisan komunis dan ideologi kiri lainnya. Pengusiran dan penjarahan juga dialami oleh masyarakat etnis Tionghoa karena mereka dianggap sebagai 'musuh' nasionalisme. 

BBC News Indonesia banyak memberikan laporan tentang peristiwa salah tangkap dan penyiksaan yang dialami oleh perempuan-perempuan yang dituduh menjadi bagian Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang dinaungi oleh PKI. Sebagian besar tindakan 'pembersihan' ini terjadi di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Menurut beberapa laporan, peristiwa kelam ini merenggut setidaknya 450.000-500.000 jiwa.

Penembakan Misterius atau Petrus (1983-1985)

Petrus atau Penembakan Misterius merupakan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dengan menembak orang-orang yang dianggap menganggu ketertiban seperti preman-preman dan kriminal. Kejahatan HAM ini terjadi dari tahun 1983-1985 yang diinisiasi oleh pemerintahan Orde Baru. Beberapa orang menganggap hal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman pada masyarakat. Namun, dengan kondisi yang seperti ini justru seharusnya masyarakat tidak merasa aman karena negara atau pemerintah yang seharusnya menjadi kawan malah menjadi lawan atau musuh utama.

Sangatlah penting untuk kita yang hidup di era Reformasi untuk membayangkan kelamnya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri. Mungkin kebebasan bertato di era sekarang bisa dijadikan sebagai refleksi karena di era Orde Baru orang-orang yang bertato akan dianggap sebagai preman dan akan ditembak secara misterius. Permasalahan utamanya adalah orang-orang yang ditembak ini tidak diadili sama sekali dan hanya berpatokan pada penampilan yang kemudian dengan mudahnya menghilangkan nyawa yang menurut laporan Tempo, berjumlah lebih dari 10 ribu orang.

Tragedi Santa Cruz (1991)

Operasi Seroja (1975) yang menjadi awal masuknya Indonesia ke Timor Timur dengan dalih mencegah pengaruh komunisme dan menghilangkan kolonialisasi Eropa di daerah itu. Invasi dan kolonialisasi Indonesia di Timor Timur atau yang sekarang disebut Timor Leste telah merenggut setidaknya 185.000 jiwa dari kalangan militer dan warga sipil. Salah satu peristiwa besar tentang pelanggaran HAM disana adalah tragedi Pembantaian Santa Cruz.

Pembantaian Santa Cruz (1991) merupakan peristiwa kekerasan yaitu penembakan terhadap kurang lebih 250 massa pengunjuk rasa yang mendukung atas kemerdekaan Timor Timor dari Indonesia. Peristiwa ini terjadi di pemakaman Santa Cruz di Dili, Timor Timor pada pertengan bulan November tahun 1991. Pelaku dari pembantaian ini adalah TNI atau yang saat itu masih disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Penyebab terjadinya peristiwa pembantaian ini yang mana menjadi salah satu tragedi pelanggaran HAM yang cukup besar ini akibat hadirnya salah satu jurnalis asal Australia, Jill Jolliffe.

Kerusuhan Mei dan Krisis Moneter (1998)

Krisis mata uang yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 telah berlangsung selama hampir dua tahun dan berkembang menjadi krisis ekonomi, yaitu stagnasi kegiatan ekonomi akibat meningkatnya penutupan perusahaan dan meningkatnya pengangguran. Krisis ini sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh krisis moneter, karena sebagian diperparah oleh rentetan bencana nasional yang terjadi silih berganti di tengah kesulitan ekonomi.

Seperti gagal panen padi di banyak tempat akibat untuk apa dan merupakan kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir, wabah hama, kebakaran, penggundulan hutan besar-besaran di Kalimantan dan huru-hara yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 dan sesudahnya. Krisis moneter ini juga terjadi di negara-negara Asia lainnya sehingga peristiwa ini disebut sebagai Krisis Finansial Asia pada 1997.

Kerusuhan dan berbagai huru-hara terjadi di berbagai daerah di Indonesia terutama di kota-kota besar akibat naiknya harga komoditas primer dan sekunder. Di dalam kekacauan yang terjadi di masyarakat, banyak terjadi kekerasan dan penjarahan yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tindakan-tindakan ini diprakarsai oleh kecemburuan sosial kaum pribumi kepada kaum Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian. Stigma buruk terhadap etnis Tionghoa sudah ada sejak masa Hindia Belanda yang kemudian dilanggengkan oleh Orde Baru dengan banyak tindakan-tindakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa. 

Tindakan pemerintahan Orde Baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa diantaranya adalah memaksa mereka merubah namanya menjadi nama yang lebih 'pribumi' dan melarang perayaan Imlek yang merupakan budaya Tionghoa.

Selain itu pemerintah melalui ABRI membentuk sebuah tim dengan nama Tim Mawar pada Juli 1997 menurut laporan berita Tempo. Tim ini dibentuk oleh Mayor Inf. Bambang Kristiono dengan tujuan memburu dan menangkap orang-orang yang dianggap radikal dan 'terlalu berisik'. Jumlah aktivis yang telah berhasil dihilangkan oleh Tim Mawar adalah 22 orang. 9 orang diantaranya berhasil kembali dalam keadaan hidup sedangkan 13 orang lainnya dinyatakan hilang tanpa kejelasan apapun. 13 orang tersebut adalah Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Munandar, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.

Permasalahan HAM di Era Reformasi (1998-sekarang)

Sebelum jauh memasuki pembahasan di periode pemerintahan Jokowi, permasalahan HAM juga sempat terjadi di masa pemerintahan setelah Soeharto, yaitu BJ Habibie. Tragedi Semanggi merupakan kejadian pelanggaran HAM berat yang terjadi di saat demonstrasi mahasiswa yang tidak puas dengan pemerintahan Habibie kala itu. Setidaknya Tragedi Semanggi I menimbulkan 17 korban jiwa dan 456 orang luka-luka.

Kemudian Tragedi Semanggi II terjadi pada 24-28 September 1999 dengan penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap keputusan DPR yang mengesahkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Demonstrasi ini menyebabkan 1 orang demonstran meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Hal yang ironis adalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini masih sangat minim sampai sekarang.

Beralih ke masa pemerintahan SBY, lebih tepatnya ketika terjadinya kematian misterius salah satu aktivis HAM, Munir, pada 2004. Reaksi SBY ketika itu adalah membentuk TPF (Tim Pencari Fakta) untuk mencari fakta apa yang sebenarnya terjadi karena banyaknya kejanggalan. Setelah didapati banyak sekali kejanggalan yang ada selama proses penyelidikan, telah didapati bahwa pelaku pembunuhannya adalah Pollycarpus selaku salah satu kru pesawat yang ditumpangi Munir dalam perjalanannya menuju Belanda. Hal yang patut dikritisi adalah kejanggalan yang muncul dari hasil penyelidikan TPF yang justru menimbulkan keganjalan lainnya. 

Kejanggalan tersebut adalah TPF tidak membeberkan hasil penyelidikannya ke publik sehingga dalang sebenarnya dari peristiwa pembunuhan ini tidak diketahui atau bahkan tidak akan pernah diketahui. Menjelang 18 tahun kematian Munir, saat ini hasil penyelidikan tersebut sudah dinyatakan hilang entah hal busuk apa yang disembunyikan.

Kemudian pada masa kampanye pemilihan presiden, paslon Jokowi-JK menyebutkan bahwa akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM terdahulu seperti Semanggi I, Semanggi II, dan tragedi Trisakti. Namun selama pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo justru memberikan jabatan kepada Wiranto sebagai Menko Polhukam (Politik, Hukum, dan HAM) yang diduga terlibat dalam Tim Mawar. Saat ini pemerintahan Joko Widodo sudah membentuk tim yang dinamai Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu. 

Tim ini sudah menggelar rapat perdana di Surabaya pada 25 September 2022. Hal yang dikritisi adalah kebijakan ini yang baru terlaksana setelah 8 tahun jabatan Joko Widodo sebagai presiden. Terdapat beberapa opini yang beredar di media sosial bahwa hal ini dilakukan Joko Widodo untuk memastikan bahwa orang-orang yang dianggap terlibat atau mendukung tindakan pelanggaran HAM berat di masa lalu sudah tidak memiliki jabatan strategis demi kelancaran pekerjaan tim dapat dicapai dengan efektif. Akan tetapi opini ini dapat disanggah dengan pengangkatan salah satu orang yang namanya sangat kental dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai menteri di kabinetnya.

Dengan begitu banyaknya janji yang hanya janji, pemerintahan era Jokowi melalui kaki tangannya juga telah melakukan pelanggaran HAM berat lainnya semasa periode jabatannya. Pelanggaran tersebut adalah pembunuhan 6 anggota FPI (Front Pembela Islam) di Jalan Tol Cikampek KM. 50. Tragedi yang disebut dengan Tragedi KM. 50 ini dikategorikan sebagai unlawful killing karena pembunuhan ini terjadi di luar proses hukum oleh aparat. Dengan terbunuhnya 6 orang tanpa proses pengadilan, sudah menunjukkan bahwa negara sendiri tidak bisa mengontrol aparatnya dari melakukan tindakan main hakin sendiri. 

Saat itu sudah ditetapkan bahwa pelaku pembunuhannya merupakan sekelompok polisi yang ditugaskan untuk melakukan pengintaian yang kemudian divonis tidak bersalah di pengadilan. Hal ini bisa dicurigai bahwa pemerintah melalui kaki tangannya berusaha untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat warganya yang berbeda pendapat dengan idelogi politik yang dimiliki pemerintah.

Kasus Pelanggaran HAM di Regional DI Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta 

Setelah muak dengan berbagai tindakan negara yang menciderai HAM rakyatnya sendiri, kita akan membahas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di regional DI Yogyakarta yang sering disebut dengan sebutan "Kota Pelajar". Kenyataannya daerah yang istimewa dengan otonomi khusus ini tidaklah seistimewa yang dipikirkan orang-orang pada umumnya, setidaknya bagi mereka yang tidak pernah menetap lama di Yogyakarta.

Pelanggaran HAM yang dapat menjadi topik awal pembahasan adalah warga non-pribumi seperti etnis Tionghoa tidak bisa memiliki hak milik tanah. Kebijakan ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DIY No: K.898/I/A/75 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975. 

Selain etnis Tionghoa, ada juga etnis-etnis lainnya seperti Arab, India, dan Eropa yang tidak diperbolehkan memiliki tanah. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HGB (Hak Guna Bangunan) yang dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah atau bangunan lainnya yang bermanfaat secara ekonomi. Namun, tanah yang kemudian mereka bangun rumah tempat tinggal bisa saja suatu saat diambil oleh pemerintah daerah. Peraturan diskriminatif seperti ini sudah seharusnya dihilangkan dan bukannya melanggengkan narasi yang membuat adanya sekat antara "pribumi" dan "nonpribumi".

Selain konstitusi daerah yang sudah cacat toleransi, terdapat juga tindakan kekerasan yang sudah jelas melanggar HAM di dalam Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta. Komnas HAM yang turun tangan untuk mengusut kasus ini melaporkan bahwa terdapat kasus dugaan kekerasan di dalam Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta oleh oknum petugas lapas. Wahyu Pratama Tamba sebagai pemantau aktivitas HAM menyampaikan bahwa narapidana di dalam lapas menerima tindakan pemukulan menggunakan tangan kosong ataupun dengan alat tumpul dan diinjak menggunakan sepatu PDL. 

Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa narapidana juga dipaksa memakan muntahan dan mencuci muka dengan air seni. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M Choirul Anam menyimpulkan bahwa tindakan ini memang melanggar HAM berupa hak untuk terbebas dari penyiksaan, hak atas rasa aman, hak untuk kehidupan yang layak, dan hak atas kesehatan. Setelah penyelidikan Komnas HAM sudah diteruskan ke Menteri Hukum dan HAM, Kanwil Kemenhukam DIY memohon maaf atas kelalaian oknum petugas dan memindahkan 5 petugas yang diduga kuat terlibat melakukan kekerasan terhadap WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) ke kantor lain.

Kasus penyiksaan terhadap WBP di Lapas Narkotika II A Yogyakarta sempat ramai pada Maret 2022. Tidak lama setelah kasus itu, Yogyakarta diramaikan dengan berita terjadinya tindakan klitih yang terjadi di Jalan Gedongkuning, Kotagede, Yogyakarta pada Minggu 3 April 2022 lalu. Setelah dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, terdapat 5 terduga pelaku klitih yang menewaskan seorang korban berinisial D (17). Namun, terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penyelidikan dan penangkapan oleh polisi. Salah satu kejanggalan yang terjadi adalah dugaan maladministrasi. Dugaan ini disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa AMH, Siti Roswati.

Kejanggalan selanjutnya adalah perang sarung yang dilakukan pemuda-pemuda tersebut tidak pernah sampai di Gedongkuning kata Yogi Zul Fadli selaku bagian dari tim advokasi terdakwa AMH dan HAA. Dugaan salah tangkap ini juga telah dilaporkan ke Ombudsman RI. Pengakuan salah tangkap ini diungkapkan oleh penasihat hukum dan tim advokasi dari masing-masing terdakwa. Selain itu hal yang patut diperhatikan adalah terdakwa FAS menyampaikan pledoi di Pengadilan Negeri Yogyakarta pada Kamis, 20 Oktober 2022 bahwa ia mendapat penganiayaan dari aparat untuk dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan.

Tindak kekerasan yang ia alami di Polsek Sewon diantaranya adalah dipukul, ditendang, dilempar benda keras seperti asbak dan kursi, dan dicambuk dengan selang air. Bukti rekaman CCTV yang ditampilkan juga tidak mampu menunjukkan siapa pelaku sebenarnya. Kepala Pusat Studi Forensik Digital UII, Yudi Prayudi, menyampaikan bahwa bukti rekaman CCTV yang ada hanya bisa menunjukkan jumlah orang yang terlibat, namun tidak bisa menunjukkan secara detail rupa pelaku sebenarnya. Kecurigaan yang muncul adalah hasil rekaman CCTV ini sengaja direduksi sehingga tidak bisa menyajikan data-data yang valid untuk menunjukkan fakta sebenarnya.

Sebuah Kesimpulan

"Harus lapor ke siapa jika aparat melanggar HAM?"

Sejenak pertanyaan ini muncul di benak banyak orang yang kemudian menimbulkan kecemasan jika aparat melanggar HAM dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah membaca upaya pemerintah yang sudah sangat 'maksimal' dalam melindungi HAM rakyatnya, sudah seharusnya kita sebagai sesama masyarakat sipil meningkatkan solidaritas guna mencegah pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah melalui kaki tangannya. Masyarakat mungkin sudah muak dengan janji-janji kampanye politikus yang terus menerus diingkari. Semoga gubernur dan wakil gubernur DI Yogyakarta yang baru bisa menjadi pemimpin yang lebih baik dari gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

 "Seorang pangeran tidak pernah kekurangan 'alasan yang sah' untuk mengingkari janjinya" -Niccolo Machiavelli

Referensi

BBC News Indonesia. (2012, Juli 23). Komnas HAM: Terjadi pelanggaran HAM berat pasca G30SPKI. Retrieved from BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/07/120723_pelanggaranham

BBC News Indonesia. (2021, September 29). G30S: Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, 'Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi'. Retrieved from BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58155183

BBC News Indonesia. (2021, Oktober 1). G30S: Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65 - Pengalaman, kenangan dan optimisme generasi muda. Retrieved from BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58732398

Blau, S. (2011). Dying for Independence: Proactive Investigations into the 12 November 1991 Santa Cruz Massacre, Timor Leste. The International Journal of Human Rights Vol. 15 No. 8, 1249-1274.

CNN Indonesia. (2021, September 7). Jejak Dokumen TPF Pembunuhan Munir yang Masih Jadi Misteri. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210907115738-20-690791/jejak-dokumen-tpf-pembunuhan-munir-yang-masih-jadi-misteri

Hardianti, D. (2016). TANGGUNG JAWAB NEGARA MENYELESAIKAN KASUS PELANGGARAN BERAT HAM MASA LALU MELALUI PROSES REKONSILIASI DI INDONESIA. DIPONEGORO LAW JOURNAL Vol. 5 No. 3, 1-9.

Howie, E. (2018). Protecting the human right to freedom of expression in international law. International Journal of Speech-Language Pathology, 12-15.

LBH Yogyakarta. (2022, Juni 29). Kasus Klitih Di Gedongkuning: Polisi Diduga Salah Tangkap Dan Melakukan Kekerasan. Retrieved from LBH Yogyakarta: https://lbhyogyakarta.org/2022/06/29/kasus-klitih-di-gedongkuning-polisi-diduga-salah-tangkap-dan-melakukan-kekerasan/

Muhid, H. K. (2022, September 13). Mengapa Penembakan Anggota FPI di KM 50 Masuk Kategori Unlawful Killing? Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1633801/mengapa-penembakan-anggota-fpi-di-km-50-masuk-kategori-unlawful-killing

Nurita, D. (2022, Januari 8). Jejak Tim Mawar dan Riwayat Eks Anggotanya. Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1547869/jejak-tim-mawar-dan-riwayat-eks-anggotanya

Panahi, O. P. (2016). The Asian Financial Crisis of 1997-1998 Revisited: Causes, Recovery, and the Path Going Forward. 1-7.

Republika.co.id. (2022, Maret 7). Komnas HAM Ungkap Lima Pelanggaran HAM di Lapas Yogyakarta. Retrieved from Republika.co.id: https://www.republika.co.id/berita/r8dfge330/komnas-ham-ungkap-lima-pelanggaran-ham-di-lapas-yogyakarta

Tempo. (2021, November 29). Menilik Pembentukan Petrus, Penembakan Misterius pada Era Orde Baru. Retrieved from Tempo.co bicara fakta: https://nasional.tempo.co/read/1533829/menilik-pembentukan-petrus-penembakan-misterius-pada-era-orde-baru

Tempo.co. (2021, Mei 14). Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia. Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-pelanggaran-ham-di-indonesia

Tirto.id. (2021, Agustus 26). Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Semanggi I dan II. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/contoh-pelanggaran-ham-di-indonesia-peristiwa-semanggi-i-dan-ii-giYw

Undang-Undang Hak Asasi Manusia 1999 (UU No. 39 Tahun 1999). (n.d.). Jakarta: Sinar Grafika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun